Cuaca cerah di minggu pagi. Burung berkicau merdu, terbang dan hinggap dari pohon satu ke pohon lain sesuka hati. Terlihat begitu bebas. | Cerpen Sedih Saudara Kembar Fisiknya Tapi Beda Sifatnya
Bersuka cita menyambut musim semi tiba. Sayangnya, itu tak berlaku pada seorang gadis di sebrang jalan sana. Hampir setiap pagi aku melihatnya duduk di bangku itu. Dengan tatapan kosong, menerawang jauh. Tak memiliki gairah hidup dan hanya menghabiskan setengah hari dengan duduk di sana.
"Apa yang kau perhatikan, Anan?"
"Gadis itu, hampir setiap pagi dia di sana."
Itu Atan, saudara kembarku. Dia datang membawa dua cangkir teh hangat dengan campuran madu. Kesukaan kami. Atan meletakannya tepat di hadapanku, dekat jendela. Menyeret satu kursi dan duduk. Ikut memperhatikan si gadis.
"Dia terlihat depresi."
"Mungkin."
"Ayo kita hibur!"
Tunggu! Anak ini selalu bertindak seenak jidat lebarnya. Menghibur dia bilang? Hah, paling membunuhnya. Aku sudah sangat hapal dengan perilaku menyimpangmu itu, Nataniel Xieravin!
"Caramu menghibur dan caraku, itu berbeda."
"Aku akan melakukannya seperti caramu!"
Aku tak yakin soal itu. Mulut dan isi kepalanya tidak pernah sejalan.
Atan bangkit. Meletakan belatinya di atas nakas. Tunggu, sejak kapan? Ah biarlah, dia memang tidak bisa lepas dari benda itu. Tapi awas saja jika kembali berulah dengan benda itu. Penjara, akan dengan senang hati menyambutmu!
Aku pun bergegas, menyambar jaket merah darah yang tergantung dekat pintu, memakainya serapi mungkin. Ingat, kami akan mendekati seorang gadis. Jadi, penampilan tetap harus diutamakan. Bisa saja, ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Lalu, sedikit melupakan depresinya itu. Tapi setelahnya, mati di tangan Atan. Akhir yang tragis.
Kami berjalan beriringan. Sesekali wajah kami bertemu. Aku merasa seperti tengah bercermin. Atan sangat mirip denganku. Mata, hidung, bibir, bahkan tirusnya pun sama. Yang membedakan hanya warna rambut. Jika rambutku berwarna coklat gelap, rambut Atan berwarna coklat terang. Begitupun saat kami tersenyum. Atan lebih suka memamerkan gigi kapak megalitikumnya. Sementara aku, hanya tersenyum tipis.
Namun yang sangat mencolok adalah perilaku kami yang berbanding seratusdelapanpuluh derajat. Jika diibaratkan, Atan itu titisan Lucifer. Terlihat polos di luar, tapi di dalam otaknya tersimpan berbagai pemikiran kejam yang sangat beragam. Anehnya, semua pemikiran menyimpangnya dapat ia sembunyikan serapi mungkin.
Aku penasaran, mungkin ketika kedua orangtua kami ingin memberi nama panggilan pada Atan, yang ada di pikiran mereka saat itu adalah sosok mengerikan bernama Satan. Lalu tanpa pikir panjang memanggilnya Atan, hanya membuang huruf S saja. Padahal, jika nama panggilannya Natan, mungkin anak ini tidak akan bertingkah seperti Satan. Tapi entahlah, ini hanya pemikiran seorang kakak beda tujuh menit.
Beberapa meter dari tempat si gadis, kami tidak langsung menyapa. Duduk di bangku kosong lain, memperhatikan gerak-geriknya.
"Gadis itu aneh, bukan?"
Tiba-tiba seorang mengagetkan kami. Ah, ternyata anak remaja tetangga. Dia memang seperti ini, muncul tanpa diketahui hawa kedatangannya terlebih dahulu, pergi pun kami tak tahu kapan. Anehnya lagi, meski beberapa hari ini sering mengobrol, aku masih belum tahu namanya. Pun Atan.
"Dia siapa?"
"Itu Ruhi, gadis paling aneh di tempat ini."
"Apa dia memiliki masalah?"
"Kudengar orangtuanya selalu bertengkar di rumah, Ruhi keluar untuk menghindari mereka."
Itu Atan yang bertanya. Dia memang banyak bicara. Tidak sepertiku yang ya ... aku sendiri tak bisa mendeskripsikannya.
Mendengar obrolan Atan dengan pemuda itu, dapat kusimpulkan. Ruhi yang malang. Meski aku tidak pernah mengalaminya, tapi sudah kupastikan rasanya menyebalkan. Kenapa tidak dia bu- ah tidak, maksudku ... kenapa ia tidak berusaha melerai pertengkaran mereka? Dengan cara melayangkan belati ke arah mereka, misal? Tunggu! Kenapa pikiranku jadi seperti Atan? Tidak tidak tidak!
"Apa otakmu bermasalah? Kenapa menggeleng sedari tadi?"
"Tidak ada."
Benar. Otakku sedikit melenceng sepertinya. Pulang dari tempat ini aku akan segera membuka kitab suci dan meminta bantuan Tuhan agar perilaku Atan tidak menular padaku. Benar, seperti itu.
"Dia pergi."
Lagi-lagi suara Atan membuyarkan lamunan. Netraku segera tertuju pada Ruhi. Dia sedikit merapikan penampilannya dan berlalu.
Atan menyeret lenganku, mengikuti si gadis. Menelusuri jalan setapak dengan pohon berjajar di setiap sisi. Rute asing bagi kami. Tak berapa lama, sampailah di tepi sebuah danau.
Wow, sangat indah. Aku bahkan tidak menduga jika di kota kecil ini ada sebuah danau. Air jernih dengan pepohonan rindang di sekitarnya. Menambah suasana sejuk. Bahkan ada beberapa pohon sakura yang bunganya sudah mekar. Luar biasa indah.
Aku terus memperhatikan gadis itu dari bawah pohon, bersandar pada batangnya dengan kedua tangan dilipat di dada, tak jauh dari tempatnya berada. Dia duduk di tepi, beralas rumput yang masih sedikit berembun. Kakinya dicelupkan ke dalam air. Memejamkan mata, menikmati sensasi dingin di kakinya. Sepertinya air itu begitu menyejukan.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Eh? Tunggu, Atan! Sejak kapan dia di sana? Ishhh, dasar anak itu!
Ruhi menoleh, tapi acuh. Netranya kembali menatap hamparan air di depannya. Poor Atan.
"Ingin kami temani?"
Aku menghampiri mereka. Berdiri tepat di samping Atan. Ada rasa penasaran juga dengan gadis ini. Ruhi kembali menoleh dengan tatapan kesal, namun lenyap seketika. Amarah yang ingin ia keluarkan, terganti dengan mimik penuh tanya.
"Siapa kalian?"
"Atan! Anan!"
Lagi, mata bulat itu semakin dibuat membulat oleh kami. Seolah ingin keluar dari sarangnya. Haha, lucu sekali. Jadi ingin mencongkelnya keluar ... eh? Tidak! Tidak!
Atan duduk di sampingnya. Ikut mencelupkan kaki ke dalam air, "sejuk. Anan, ayo lakukan!" ajaknya.
Aku hanya berdiri di belakang mereka. Enggan meniru. Bagiku, ini terlalu kekanakan.
"Jadi, siapa namamu?"
Atan memulai pendekatannya. Menanyakan nama, hal paling utama. Ya ... meski kami sudah tahu siapa nama gadis ini. Tapi, ada baiknya berpura-pura tak tahu saja. Daripada membuatnya curiga.
"Apa maumu?" tampaknya Ruhi merasa terganggu, "dan siapa sebenarnya kalian ini?" sambungnya.
"Kami warga baru di kota ini. Aku Atan dan dia kembaranku Anan. Dia lahir tujuh menit sebelum aku."
Ruhi memandang kami bergantian. Dahinya mengkerut, mungkin masih bingung. Mengingat, wajah kami yang sangat mirip.
"Kalian terlalu mirip."
Benar bukan?
"Gampang saja membedakan kami. Aku normal dan dia aneh. Sebaiknya jangan terlalu dekat dengannya.
Apa? Bukankah itu terbalik? Dasar titisan Lucifer! Hanya karena aku jarang berbicara, bukan berarti aku tidak normal. Justru dia yang bermasalah. Atan juga yang seharusnya dijauhi. Belati menancap di lehermu, baru tahu kau!
"Apa mau kalian?"
"Kami selalu melihatmu duduk di bangku sebrang jalan itu, kau terlihat depresi."
"Lalu?"
"Anan menyarankan untuk menghiburmu. Kau juga tampak sangat kesepian."
What the ....
Dengan beraninya dia menjual namaku. Si kurang ajar Ini!
Atan menatapku dengan tatapan polosnya, seolah tak melakukan kesalahan apa pun. Oh Tuhan, ingin rasanya kubanting dia ke dalam danau. Tenggelam dan mati. Eh? Lupakan! Aku tidak akan rela jika ia mati. Itu, hanya sebuah gertakan tanpa arti.
Begitupun dengan Ruhi. Dia menatap dengan tatapan aneh. Aku tak bisa mengartikan maksud dari pandangannya itu. Sulit terbaca. Tapi beberapa detik kemudian, tersenyum. Manis.
"Terima kasih."
"Untuk apa?"
Atan bodoh!
"Untuk ... memperhatikan dan peduli padaku."
Lagi-lagi dia tersenyum. Sangat manis dan penuh kehangatan. Jika aku es, mungkin sudah meleleh melihat senyumannya itu.
Tak terasa, siang menyapa. Telah lama waktu yang kami habiskan di sini. Mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Dari ceritanya, hidup Ruhi sangatlah rumit. Ia gadis dari keluarga sederhana. Ibunya bekerja sebagai buruh harian dan ayahnya pedagang. Karena kebutuhan ekonomi yang sulit terpenuhi, kedua orangtuanya selalu bertengkar, hampir setiap hari. Ia muak. Bahkan kakak satu-satunya yang dimiliki, tak bisa dijadikan sandaran. Hanya memperkeruh suasana, katanya.
"Sudah siang, aku ingin pulang. Di rumah pasti sudah sepi."
Dia bangkit, sedikit merapikan baju dan berlalu. Sesekali menoleh, melambaikan tangan tanda perpisahan, "namaku Ruhi," teriaknya dari kejauhan. Lalu berlari. Lucu sekali tingkah gadis itu.
"Dia tidak sedepresi yang kupikir."
Tepat! Bahkan, bisa dibilang sangat terbuka pada orang asing. Ah, mungkin karena pengaruh rasa kesepiannya? Kurasa begitu. Terkadang mereka yang kesepian, ketika ada yang memperhatikan akan merasa sangat bahagia. Lupa jika ia berhadapan dengan orang asing.
"Ayo pulang."
Atan menyeretku, lagi. Seharusnya aku yang melakukan ini. Lebih tepatnya, menyeret telinga anak ini. Jujur aku masih kesal. Sedari tadi dia menjual namaku ketika mengobrol dengan Ruhi. Membuat gadis itu menghujaniku dengan senyumnya yang menawan.
Satu bulan berlalu sejak hari itu. Suasana masih aman. Atan tidak melakukan hal gila apa pun. Belati masih tersimpan rapi di atas nakas. Sepertinya Atan tidak menyentuhnya semenjak mengenal Ruhi.
Namun aku masih sedikit khawatir, mereka sangat sering bertemu akhir-akhir ini. Bahkan sudah begitu akrab. Jika melihat Ruhi duduk di bangku itu, Atan akan menemaninya. Menghibur selayaknya sepasang kekasih. Seperti hari ini, dia sudah rapi dengan penampilannya.
"Ingin bertemu lagi dengan Ruhi?"
"Kemarin aku mendengar jika orang tuanya bercerai. Lihat mimik wajahnya itu! Dia sangat terpuruk."
Selesai mengatakan itu, Atan berlalu. Hmm, apa Atan jatuh cinta pada Ruhi? Dia sangat perhatian pada gadis itu. Padahal dulu ketika awal kenalan, dia selalu menjual namaku. Jika pun ia jatuh cinta padanya, aku tak tahu harus senang atau menderita.
Memperhatikan keduanya dari balik jendela, seperti biasa. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, hanya saja tubuh Ruhi terlihat sedikit bergetar. Sebelah tangan ia gunakan untuk membekap mulut sendiri, setelahnya menghambur kepelukan Atan.
Ada yang mengganjal dalam dada. Ditambah, Atan membalas pelukannya. Mengusap-usap punggung Ruhi. Sangat romantis. Aku merasa seperti tengah menonton adegan dalam sebuah drama. Dimana ending keduanya menjadi sepasang kekasih.
Selang beberapa menit, keduanya beranjak. Menuju danau kurasa. Jujur, rasa penasaran membuatku ingin mengikuti mereka, tapi terlalu gengsi. Alasan apa yang harus kuberikan jika tiba-tiba muncul di hadapan mereka? Yang ada, Atan akan mengataiku penguntit. Sebaiknya aku melakukan aktifitas lain saja. Tidur, misal?
Jam berdenteng menandakan waktu sudah tengah malam. Aku terbangun bukan karena itu, tapi derit pintu kamar yang dibuka. Atan baru pulang ternyata.
"Apa saja yang kau lakukan hingga pulang selarut ini?"
"Ruhi banyak bercerita dan ingin ditemani lebih lama."
"Apa yang menimpa gadis itu?"
"Orangtuanya bercerai dan kekasihnya meninggal tiga hari yang lalu. Ia sangat kesepian."
"Kekasih?"
"Mereka baru berpacaran lima hari. Namun Ruhi sudah ditinggal mati olehnya, gadis malang."
Ah, kasihan sekali. Baru saja hendak memadu kasih, namun ajal memisahkan. Aku tahu rasanya seperti apa, menyakitkan.
Aku ingin bertanya banyak hal sejujurnya, tapi Atan sudah terlelap. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Anak ini, mudah sekali tidurnya. Tapi biarlah, aku bisa melanjutkan obrolan besok hari.
Terbangun mendengar suara gaduh di luar. Seperti suara sirine mobil polisi dan ambulance. Sejenak kulirik jam di dinding, pukul enam kurang. Sembari mengumpulkan kesadaran, aku berjalan gontai menuju jendela dan membuka tirai. Melihat ada kejadian apa di sebrang jalan. Dua buah mobil polisi terparkir di sana, pun sebuah ambulance.
Rasa penasaran menggelayut dalam jiwa, memaksaku untuk keluar dan memastikan. Tentu setelah mencuci muka terlebih dahulu. Suasana masih sedikit gelap di luar. Aku menghampiri seorang paruh baya, hendak bertanya. Namun, baru saja mulutku ingin berucap, suara seolah tercekat di leher. Dada terasa sesak. Mata memanas melihat sosok gadis tergeletak bersimbah darah di atas bangku tempat Ruhi menghabiskan kesehariannya. Mataku semakin membola saat mengetahui jika gadis itu memang Ruhi, terbaring dengan darah mengalir dari leher dan pergelangan tangan kirinya. Tangan kanan memegang pecahan kaca berlumur darah. Tak jauh dari kepalanya, sebuah ponsel canggih tergeletak dengan earphone yang masih menyambung ke telinga.
Mundur beberapa langkah, tak percaya dengan apa yang terjadi. Bergegas masuk kembali ke rumah. Mencari Atan. Pasti dia yang melakukan ini semua.
"Atan!"
"Atan, bangun!"
Kugoyahkan tubuh tanpa selimutnya, kasar. Memaksa Atan terjaga dari mimpi.
"Bangun!"
"Ada apa? Kau mengganggu tidurku."
Dia mengucek mata yang masih setengah terbuka. Membiasakan diri dengan cahaya yang memasuki retina.
"Atan! Katakan padaku jika kau tidak membunuh gadis itu!"
"Memang tidak," Atan berucap dengan nada seraknya.
"Lalu, kenapa pagi ini dia ditemukan tewas dengan luka sayat di leher?"
"Di mana?"
Kuseret dia menuju jendela. Kali ini, mayat Ruhi sudah dimasukan ke dalam kantong khusus jenazah. Dibawa oleh ambulance menuju rumah sakit. Pun kerumunan itu mulai melonggar. Hanya beberapa orang yang diduga saksi mata dan para polisi.
"Itu Ruhi! Ia ditemukan mati pagi ini."
"Lalu?"
"Aku tahu kau bertemu dengannya semalam, jadi jangan mengelak!"
"Aku tidak!"
"Lalu apa yang kau lakukan dengannya semalam?"
"Hanya mengobrol."
"Dan?"
"Aku merekomendasikan sebuah lagu untuknya. Lagu yang sangat mewakili apa yang tengah ia rasa. Seperti yang selalu kau lakukan untuk menghibur orang lain."
Perasaanku mulai tidak enak. Jika pun ia menghibur Ruhi dengan caraku, mengapa gadis itu berakhir setragis ini?
"Lagu apa?"
"Gloomy Sunday."
Sial!
"Kau tahu nama lain dari lagu itu?"
"Hungarian Suicide Song."
Tepat!
Siapun yang mendengar lagu itu ketika mengalami depresi, ia akan mati. Bunuh diri. Di masa jayanya, ratusan orang meninggal bunuh diri setelah mendengar lagu Gloomy Sunday. Dan Atan merekomendasikan ini pada Ruhi saat dia kehilangan belahan jiwanya? Benar-benar cara membunuh yang halus. Eh? Tunggu!
Kualihkan pandangan pada Atan, dia menatapku dengan wajah polos tak berdosa. Hanya beberapa menit, wajah polos itu kini dihias dengan seringai buas penuh kemenangan.
Aku hanya manatapnya datar. Dugaanku di awal tentang otak dan mulutnya yang tidak pernah sejalan, ternyata memang tidak melenceng. Atan tidak akan pernah menjadi sepertiku. Meski meniru, hanya di awal. Pada akhirnya tetap menggunakan caranya sendiri.
Satan yang menjelma dalam tubuh Atan. Selamanya akan tetap seperti itu. Oh Tuhan, kenapa aku memiliki saudara kembar seperti dia? | Cerpen Sedih Saudara Kembar Fisiknya Tapi Beda Sifatnya