Aku adalah anggota komunitas pecinta bakso yang baru beranggotakan satu orang. Ya, aku sendiri. Mau jadi anggota berikutnya? Silakan! | Cerpen Lucu Kisah Ada Udang Dibalik Bakso
Beberapa hari ini, iklan warung bakso yang terpampang sebuah surat kabar lokal itu menghantuiku. Mmm ... bulatannya begitu menggugah selera sampai aku berhalusinasi. Ngiler.
Ya, namanya juga cinta, tak pandang bulu. Boro-boro. Habis, belum pernah kujumpai satu biji pun bakso berbulu. Jadi, jarak bukanlah alasan untuk menunda menikmati semangkuk makanan yang amat istimewa itu, tentunya bagi masyarakat bawah sepertiku.
Kutembus semrawutnya lalu lintas menunggangi kuda besi, demi semangkuk bakso. Butuh waktu tempuh sekitar setengah jam perjalanan untuk sampai tempat tujuan. Begitu aku menapaki kaki di area parkir, ternyata warungnya tak seheboh woro-woronya di surat kabar. Ruangannya cukup luas bila dibandingkan dengan warung bakso lain, tapi suasananya seperti tempat pemakaman umum. Sepi. Hanya dua meja saja yang terisi di antara puluhan meja.
Aku masuk. Kupilih meja nomor dua dari pintu lalu duduk di kursi plastik warna biru menghadap dapur. Agar tak melihat televisi yang kebetulan sedang menayangkan acara reality show tak bermutu itu. Dalam hitungan detik selepas aku duduk, seorang wanita cantik mendekatiku.
"Selamat sore, Mas! Silakan, ini daftar menu kami!" sapanya sembari membungkukan badan ala orang Jepang.
Ia menyodorkan selembar kertas dilaminating dan bergambar aneka macam bakso yang diberi nama aneh.
Aku berdecik. "Busyet! Standar pelayanan seperti ini seharusnya diterapkan di rumah makan mewah," ucapku membatin.
"Ya! Terimakasih!"
O ... mai ... gat!
Aku terkejut, merinding ngeri setelah mengetahui harganya. Untung aku bukan penderita lemah syahwat, eh, maksudnya lemah jantung. Jadi tak kejang-kejang seketika. Sungguh, ini mampu membuat pelanggan sepertiku fakir dalam sekejap. Mau kubatalkan, tapi malu dengan bidadari turun dari surga, surganya bapaknya sih.
Dia berdiri menungguku. Aku pura-pura bimbang dalam mememilih menu. Supaya dia tak segera lepas dari pendeknya jarak pandang. Mungkin ini menguji kesabarannya. Mau bagaimana lagi, itulah risiko orang cantik.
Jujur, aku sedikit merasa grogi berdekatan dengan pelayan warung bakso ini. Mirip artis ibu kota. Bukan Tante Omas apalagi Tante Igun, melainkan penggabungan antara Prilly Latuconsina dengan Nabila JKT 48. Lebih cantik dari Mama Dedeh. Apalagi, kalau dibandingkan dengan pasangan ngobrol satpam toko sebrang jalan itu, tukang parkir. Ini jauh lebih cantik meskipun sama-sama gondrong. Kulitnya juga mulus, tak ada bekas luka koreng menodainya.
Selain cantik, caranya melayani juga ramah. Seperti tuan rumah pada acara hajatan tetangga. Senyumannya begitu menggoda, memancarkan aura penjualan yang luar biasa dasyat. Pantas, harganya mahal.
Atas nama gengsi berjambul khatulistiwa, dengan entengnya aku memesan menu termahal. Bakso super. Tak kupedulikan dompet kempis tergilas tanggal yang kian menua. Berharap bisa memunculkan prasangka di benaknya bahwa aku adalah orang kaya. Padahal, hutang pulsa dua puluh ribu saja baru mampu kubayar dengan seucap kalimat janji yang entah kapan bisa kutepati. Karena aku termasuk kaum 'dulngafa'.
Tidak perlu menunggu lama, bakso pesananku sudah diracik. Tak sedikit pun ia memerlihatkan ekspresi malu membawa nampan dengan semangkuk bakso menumpang di atasnya. Benar-benar wanita idaman. Kupanahkan indra penglihatanku ke arah rona wajah ayunya. Eh, hei ... dia tersenyum padaku. Cihuy! Aku melayang-layang, seperti ada bunga-bunga berterbangan. Kubalas senyumanmya tanpa keraguan. Namun ... ia justru menanggapinya dengan membuang muka ke lantai.
"Fitri! Kok lama banget sih? Aku laper tau," keluh Mbak Gendut yang duduk di belakangku. Tepat sebelah pintu.
Oh, Fitri namanya.
"Kamu yang nggak sabaran!" timpalnya.
Ternyata senyum Fitri bukan untukku, baksonya juga, tapi untuk temannya. Terlihat dari keakrabannya. Mereka berbincang sesaat, sedangkan aku nguping di sampingnya. Untung aku termasuk satu di antara ribuan orang 'ndableg' yang pernah lahir. Jadi, tidak terlalu kupikir.
"Fitri, pesananku mana?" tanyaku sok kenal.
Dia menoleh kaget, tampaknya ia heran. Mungkin karena mendengarku menyebut namanya. Sementara kami tak saling mengenal.
"Eh, maaf! I ... iya, Mas. Sebentar!" ucapnya gelagapan.
Fitri berjalan setengah berlari ke dapur meninggalkan Mbak Gendut.
Kupandangi molek tubuhnya dari belakang. Rambut lurusnya melambai mengkikuti ayunan kaki melangkah, seolah memintaku untuk segera membelainya. Hm ... tak ingin menjadi duta sampo lain rupanya.
"Silakan, Mas!"
Nah, ini baru punyaku.
"Terima kasih, Fitri!"
"Ada tambahan lain? Jus alpukat mungkin?"
Eit ...! Apa-apaan ini? Asli, kecantikan memang membawa petaka. Aku kan tidak bisa menolak tawaran wanita cantik. Jangan-jangan, dia tahu kelemahanku. Kuhela nafas panjang, tanpa sadar aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Nanti aja ya, Fit!"
"Ya, Mas."
Sungguh, mendengar Fitri memanggilku 'Mas', aku ingin memanggilnya 'Dek'. Mungkinkah ini pertanda bahwa aku ... mata keranjang? Entahlah, orang lain yang menilai. Aku hanya melampiaskan kegelisahan akan jomblo akut menahun yang kuderita. Sakit. | Cerpen Lucu Kisah Ada Udang Dibalik Bakso
Hingga setiap kali menjumpai wanita cantik langsung berdoa, semoga dia jodohku. Aku yakin, suatu saat aku akan menjadi imamnya Fitri. Karena namaku Imam.
"Fitri, toilet sebelah mana ya?" tanyaku.
"Lurus, di ujung sana, Mas! Sebelah kanan." Fitri menunjuk ke arah yang dimaksud.
Aku langsung ke sana, bukan mau buang air. Hanya mengintip sisa uang dalam dompet kulit sintetis kumal kebanggaanku. Ah, mudah-mudahan cukup. Dan sekembalinya dari toilet, aku nekad memesan jus alpokat tanpa bertanya harga. Modus.
Makanan kelas bawah harga selangit, menurut keuanganku, telah siap santap. Jus alpukat dan semangkuk bakso berisi lima biji yaitu; satu biji ukuran terbesar; dan empat biji ukuran kecil. Biasa saja. Yang membedakan, ukurannya sedikit lebih besar daripada bakso pada umumnya. Dan dilayani oleh calon Bu Imam. Amin ....
Gara-gara Fitri, aku menjelma menjadi sosok lain. Biasanya kalau lapar, aku makan dengan cepat. Kali ini berbeda. Sengaja kuperlambat cara makanku agat terlihat berwibawa. Setiap suap, kutuntun mataku untuk menatapnya. Mulai potongan bakso terkecil dan seterusnya sampai pada bakso terbesar yang berisi daging sapi giling sebagai penutup.
"Mas, kamu temannya Fitri ya?" tanya Mbak Gendut tiba-tiba.
"Iya, teman sekolah," kujawab seenak jidat.
Mbak Gendut menyatukan alis tebalnya, tampak bingung mencerna ucapanku barusan.
"Masa sih, kok aku nggak pernah liat? Aku juga teman sekolahnya."
Arrgh! Goblok! Kenapa aku harus bohong sih?
"Oh, berarti bukan, he he ...!"
"Huuu! Dasar, kirain Masnya kenal."
"Ah, kan aku tau nama Fitri dari Mbak Gen ... maksudnya dari Mbaknya. Tadi." Hiiih .... hampir saja keceplosan untuk kedua kalinya.
Kusebut dia Mbak Gendut berdasarkan bentuk fisiknya yang tambun.
Pukul empat sore, aku harus pulang. Sebetulnya masih betah di sini, seperti Mbak Gendut yang sedari tadi menikmati wifi gratis. Tapi aku tidak bisa, karena hapeku masih biasa. Bukan smartporn, smartpron, peh peh peh ... smartphone.
"Bu, berhitung! Bakso super, minumnya jus alpukat, nambah ketupat satu dan kacang dua. Berapa?"
Ibu kasir pencet-pencet tombol pada kalkulator.
"Empat puluh ribu, Mas."
Alhamdulillahirobbil alamien. Rasa syukur tak terkira aku panjatkan kepada Tuhan. Uangku yang kumiliki hanya empat puluh ribu. Pas. Aku terhindar dari kejadian memalukan. Huh, nyaris.
Setelah membayar, aku menghampiri Fitri yang sedang berbincang dengan Mbak Gendut.
"Fitri," sapaku.
"Iya?"
"Aku amati, Fitri karyawan baru di sini ya?"
"Iya. Kenapa, Mas?"
"Nggak apa-apa. Baru berapa bulan?"
"Seminggu, Mas."
"Oh, pantas aku nggak pernah liat. Aku sering makan di sini lho. Terakhir sekitar dua bulan yang lalu."
Fitri melemparkan senyuman termanis kepadaku, lalu kepada Bu Kasir yang sepertinya dia pemilik warung bakso ini. Bu Kasir pun tersenyum juga sambil geleng-geleng kepala.
"Oh iya, aku pulang dulu ya! Jangan khawatir, aku pasti kembali!" bisikku genit.
Fitri melongo, tampak seperti orang bingung. Sedangkan Mbak Gendut cengengesan.
"Iya, Mas. Terima kasih!"
"Sama-sama!"
Hmm, kalau ada rejeki, aku harus ke sini. Pikirku ketika melangkah pergi.
"Eh, Mas. Tunggu!"
"Iya. Gimana Fit?"
"Aneh yah? Terakhir makan di sini dua bulan yang lalu tapi warung ini baru buka seminggu yang lalu." Fitri tertawa bersama Mbak Gendut. | Cerpen Lucu Kisah Ada Udang Dibalik Bakso
Arrrgh! Aku ketahuan bohong lagi ....
- Bersambung -