Potret Buram Kesehatan Di Desa

"Mau ke kampung idiot ya, Mbak?" Seorang pria kekar khas petani memastikan alamat yang kucari.

"Mas tahu tempat nya?" Kuberikan sekaleng biskuit padanya dan iapun mengangguk cepat.

"Mari saya antar, Mbak. Kebetulan saya lewat kampung itu." Pria pengemudi mobil bak itu membukakan pintu untukku. | Cerpen Sedih Potret Buram Kesehatan Di Desa

"Terima kasih, Mas."

"Karyo! Berangkat!" Serunya pada seorang pemuda berkulit gelap yang langsung melompat ke atas tumpukan karung jagung di bagian belakang mobil.
Sebuah gerbang desa terbuat dari tumpukan batu bata merah menyambutku. Tak ada nama desa atau penanda alamat yang jelas. Kampung Idiot, terdengar ganjil di telingaku. Entah mengapa masyarakat tega menamainya demikian. Bahkan banyak yang menganggap itu adalah kutukan yang tak akan hilang.
Jalan desa ini tidak terlalu lebar. Masih berupa tanah dan kerikil. Di kiri dan kanan jalan ditanami jagung dan ketela. Sejauh mata memandang, hanya beberapa batang pohon besar terlihat.

"Mau kemana?! Nakal kamu ya!" Terdengar teriakan diikuti suara lengkingan dari sebuah rumah di sisi kiri jalan. Bergegas kuhampiri.

"Ampuun, Mbak! Jangan pukul!" Seorang wanita tanpa pakaian yang layak, bersimpuh di kaki perempuan yang lebih tua dan sedang mengacungkan sebatang kayu.

"Bu! Jangan dipukul, kasihan dia!" Kucoba menghalangi wanita itu, iapun berlalu ke dalam rumah sambil menggerutu.

"Ampuun ..." tubuh kurus itu masih tertelungkup di tanah merah.

"Bu, sudah." Kubantu untuk duduk, mata kami bertemu. Ya Tuhan, tatapan matanya kosong dengan bola mata menonjol. Pilu merambat di hatiku.

"Mandi ...," ucapnya sambil menunjuk ke samping rumah. Dari postur nya berusia sekitar tiga puluh tahun. Tapi cara bicaranya seperti anak usia tiga tahun. Disabilitas Intelektual.

"Tak bisa mandi! Tak ada air!" Kembali terdengar teriakan dari perempuan yang kuduga kakaknya.

"Namamu siapa?" Kuamati wajah tanpa ekspresi itu.

"Atun ..." jawabnya lirih sambil mencakar cakar tanah.

"Masuk dulu, nanti mandi kalau sudah ada air ya." Kuajak masuk ke dalam rumah. Langkahnya tertatih dengan lutut gemetar.

"Bu, dimana sumurnya biar saya bantu ambil air?" Kudekati wanita yang sedang meniup bara api untuk mengukus jagung.

"Di sungai." Jawabnya pendek terkesan tak acuh.

"Saya Anggie dari Jakarta, boleh tahu nama ibu?" Kusentuh bahunya.

"Rusmi." Kedua tangannya sibuk menyusun batang kayu di dalam tungku agar api tetap menyala.

"Makan! Mbak! Makaan...!" Suara seruan seorang laki-laki terdengar dari samping dapur.

"Itu siapa, bu Rusmi?"

"Wagiyo." Masih dengan jawaban singkat. Segera kumasuki ruangan berdinding bilik tanpa daun pintu.

"Pak Wagiyo mau makan?" Tanyaku pada seorang lelaki yang duduk diatas dipan kayu tanpa alas. Ternyata tuna netra.

"Iya, mau makan," Jawabnya sambil menggapai seolah mencari sesuatu. Disabilitas ganda. Kesedihan makin mencengkeram batinku.

Kutitipkan ranselku dirumah bu Rusmi. Sambil menjinjing kaleng bekas yang berubah fungsi menjadi ember, kuayunkan langkah mencari sumber air. Di setiap rumah yang kulewati, hampir seluruhnya memiki anggota keluarga yang mengalami keterbelakangan mental. Duduk di bagian depan rumah memandang dengan tatapan hampa.

Tiba di tepi sungai di ujung jalan desa, kulihat beberapa wanita paruh baya sedang mencuci pakaian.

"Kamu siapa, Nduk?" Tanya seorang ibu bertubuh gemuk.

"Saya Anggie, Bu."

"Waahh... dari kota ya?" Seorang ibu yang lain berseru sambil tertawa.

"Ya, Bu."

Riuh bersahutan saling menggoda, bercanda tanpa beban. Padahal kutahu berat tekanan batin yang mereka rasakan. Memiliki anggota keluarga dengan tingkat kecerdasan jauh dibawah rata-rata yang mereka sebut dengan idiot, seperti siklus yang tak pernah putus.

"Apa rasanya? Segar?" Suara nyaring bertanya saat kucecap sedikit air sungai.
"Tawar sedikit pahit." Benar dugaanku, sumber air di desa ini tidak mengandung yodium. Tanaman yang kurang subur di sepanjang aliran sungai ini mengindikasikan demikian. Tanah beryodium di permukaan mungkin saja hanyut terbawa air hujan.

"Saya pamit ya, ibu-ibu. Mau kembali ke rumah bu Rusmi." Kubawa dua kaleng berisi air menapaki jalan berkerikil. Banyak pasang mata menatap di kiri dan kanan jalan. Sebagian besar berciri sama, bola mata menonjol dan tubuh kerdil.

Ya Tuhan, apa yang bisa kulakukan untuk membantu warga desa ini? Kusadari tak akan mampu jika sendiri. Harus banyak pihak ikut serta membenahi masalah ini. Kekurangan yodium bukan hal sepele, tapi hal penting yang wajib mendapat perhatian pemerintah.

"Mandii...!" Seruan gembira dari Atun membuatku tersenyum. Kubiarkan ia meluapkan suka cita dengan sedikit air yang bisa kubawa. Seandainya ada sumur disetiap rumah, pasti makin banyak senyum dan tawa di desa ini.

"Makan sampai habis!" Ujar bu Rusmi menyuapi adiknya, Wagiyo, dengan sabar. Kakak yang baik, meskipun dia sendiri penyandang disabilitas.

Air mata haru mengiringi doaku untuk seluruh warga desa ini. Semoga berkesempatan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Karena setiap orang tak bisa memilih di bumi mana dilahirkan. Namun berusaha meningkatkan kualitas diri adalah keniscayaan. | Cerpen Sedih Potret Buram Kesehatan Di Desa

*catatan kecil Just_anggie, di sebuah desa di kabupaten Ponorogo.