Laila namanya. Seorang gadis berkulit kuning langsat dengan mata bulat nan berbinar indah. Sama seperti kebanyakan gadis Melayu lainnya, Laila pandai mengaji. Suaranya sungguh merdu saat melantunkan ayat-ayat Alquran, fasih pula makhraj dan tajwidnya. | Cerpen Ibu Azimatnya Laila Di Dunia
"Laila, usiamu sudah mendekati kepala tiga. Bila lagi?"
"Bukan Laila tak mau, Mak. Jodoh Laila belum datang. Mak doakan saja, ya?"
Perempuan yang dipanggil Mak terdiam sejenak.
"Besok ikut Mak. Kita ke rumah Tuk Karim. Mak rasa, engkau terkena guna-guna. Sebab itulah, jodoh tak datang-datang."
"Astaghfirullah, Mak. Laila bukannya ingin menentang kehendak Mak. Tapi kalau ke dukun, Laila tak mau."
"Itulah! Kau degil sangat. Tuk Karim bomoh paling hebat di kampung kita. Semua penyakit bisa dia obatkan. Termasuk penyakit sial tak datang jodoh."
Suara Mak menggelegarkan isi rumah. Laila terdiam, menahan sedih dalam hati.
"Adik-adik sudah menikah. Sampai kapan kau ingin tinggal di bawah ketiak Mak? Tak malu, Laila? Mak malu dengan seisi kampung sebab kau jadi perawan tua."
Sial dan perawan tua adalah dua kata yang tak asing di telinga gadis bermata indah itu. Setiap membahas tentang jodoh, Mak selalu naik darah dan tak peduli sama sekali bila amarahnya menggoreskan perih di hati Laila.
Dengan sepeda tua peninggalan ayahnya, Laila mengayuh sekuat tenaga menuju pinggir pantai. Di sanalah ia meredam semua sedih. Laut kebiruan serupa pualam, daun nyiur yang menghijau, ombak yang menghantam batu karang, perahu-perahu nelayan yang ditambatkan adalah pelipur hatinya.
"Belum juga pulang, Laila? Lembayung sudah muncul di langit. Sebentar lagi magrib."
Laila mendongak ke asal suara. Ternyata, lelaki perahu. Gadis bermata indah itu tersenyum. Lalu, berjalan ke arah sepeda tuanya dan mengayuh menuju rumah. Sementara, lelaki perahu menyaksikan bayang Laila menghilang perlahan-lahan.
"Semalam Mak ke rumah Tuk Karim."
Laila memalingkan wajah. Ia tak mau bersemuka dengan Mak. Pastilah Mak tak suka melihat wajahnya yang masam.
"Pasang gelang ini di tangan kanan."
Mak menyerahkan gelang besi yang dilapisi kain putih. Di atasnya, dirajah dengan huruf ain, lam, dan nun, tanpa arti sedikit pun.
Laila bergeming. Ia menatap Mak dengan pandangan tajam, menandakan ketidaksukaannya.
"Jikalau ayah masih hidup, tentu ayah pun tak setuju dengan sikap Mak seperti ini. Laila tak perlu azimat, Mak."
"Tak usah membantah, Laila! Apa susahnya? Tinggal sarungkan saja gelang ke tangan."
"Persoalan gelang azimat semacam ini bisa merusak akidah, Mak. Bagaimana mungkin Mak percaya jika dukun bisa mendatangkan jodoh? Urusan jodoh, maut, dan rezeki adalah urusan takdir. Hanya Allah yang punya kuasa. Maafkan Laila, Mak."
Kemudian, gadis itu mengambil gelang azimat pemberian bomoh dan membakarnya di belakang rumah.
"Kau memang keras kepala, Laila. Sama macam mendiang ayah. Jika memang Tuhan adil, ayah tak akan pergi meninggalkan kita."
Mak menggerutu, menggugat takdir yang menurutnya sudah tak adil, dengan sumpah serapah yang menyakitkan telinga.
Laila sudah paham tabiat Mak. Menggerutu, mengomel, dan mengamuk adalah hal biasa bagi Mak. Sejak ayah meninggal, Mak menjadi sosok berbeda dari yang dikenalnya, tak bisa mengontrol amarah, dan sering bersumpah serapah. Seingat Laila, ia tak pernah lagi melihat Mak bertelekung, bersujud di atas sajadah, atau mengaji selepas kepergian ayah.
Mak lebih suka menghabiskan waktu di luar, bertandang ke rumah tetangga, atau bepergian berhari-hari dengan tujuan berziarah. Sementara, makam ayah Laila tak pernah diurus oleh Mak, bahkan hanya untuk menyiangi rumput-rumput liar yang menutupi makam, Mak tak mau.
Sejak Laila membakar gelang azimat, Mak tak pernah lagi menyapanya. Berkali-kali Laila mencoba berbicara, perempuan tua itu hanya diam. Pernah ia memasakkan kepurun, bubur dari tepung sagu, dan asam pedas sembilang, makanan kesukaan Mak, yang sedikit pun tak disentuh hinggalah makanan itu terbuang begitu saja.
Kini, sudah empat hari Mak tak pulang. Biasanya, hanya pergi dua hari. Laila bertanya-tanya pada orang kampung. Tak seorang pun tahu ke mana Mak pergi. Laila cemas bukan kepalang. Kedua adiknya sudah dihubungi. Mak tak pernah menjejakkan kaki ke rumah mereka.
Baru saja hendak memejamkan mata, ia tersentak mendengar pintu rumah diketuk dengan sangat keras berulang kali.
"Lailaaaaa!"
Laila bergegas mengenakan kerudung, memasang kaos kaki, dan membuka pintu.
"Ikutlah, Laila!" Suara lelaki perahu terdengar parau.
"Ke mana?"
"Jumpa dengan Mak. Ikutlah cepat!"
Tanpa lengah lagi, Laila mengambil sepeda tua ayahnya, mengayuh dengan laju, mengikuti lelaki perahu yang berlari secepat kilat.
Di dalam perahu, Mak terbujur kaku.
"Ya Allah! Mak!" Laila menangis sejadi-jadinya sambil memeluk jasad Mak.
"Beberapa hari lalu, ia minta diantarkan ke gua sempit di teluk pesisir. Tanpa minta dijemput pulang. Setelah mendengar kau mencarinya berhari-hari, aku menyusul ke sana. Sesampai di gua, aku berteriak memanggil-manggil. Lalu, kutemukan ia tersepit di celah-celah karang. Dugaanku, ia terpeleset saat akan keluar gua.
Tangis Laila tak jua reda. Gadis bermata indah itu tak berhenti menciumi Mak yang telah tertidur panjang. Dipegangnya tangan perempuan yang telah merawatnya selama dua puluh tujuh tahun. Ada sesuatu di genggaman perempuan yang paling dicintainya. Laila mengambil benda dari genggaman Mak. Sebentuk cincin yang dilapisi kain putih kekusaman karena terendam air garam, dirajah dengan tinta hitam yang memudar, bertuliskan huruf lam, ya, lam, dan alif. | Cerpen Ibu Azimatnya Laila Di Dunia
Untuk semua kasih yang kau terima dari perempuan bernama Ibu. Adakah cinta lain yang mampu menyaingi?
Sambil seruput kopi dingin,