Bulan ketiga setelah kematian Mak Sonah. Malam diiringi rintik kecil gerimis saat pintu kayu rumah kami di ketuk seseorang dari luar. | Cerpen Kehidupan Persaudaraan Itu Jangan Sampai Mati Obor
Aku meninggalkan cangkir kopi di meja, melangkah membukakan pintu. Lalu menemukan wajah kusut milik Dimas, tetanggaku, salah satu putra dari Mak Sonah.
Dia mengucap salam, lalu kupersilahkan masuk ke dalam. Dari wajah kusutnya bisa kuperkirakan dia akan membicarakan keluhan. Mengingat sebelum ini dia hampir tidak pernah datang ke rumahku.
"Bikin minum, Bu!"
Terdengar sahutan ibunya anak-anak dari ruang dalam. Sedangkan Dimas seperti memasrahkan kehadirannya akan disuguhi apa.
"Kerjaan lancar, Bang?" Akhirnya dia membuka percakapan.
"Alhamdulillah, lancar." Aku mengangguk, masih mencoba menebak maksud kedatangannya.
"Alhamdulilah ..." Dia ikut tersenyum, lalu berdehem sebentar.
Istriku keluar membawa secangkir kopi dan makanan ringan di piring. Lalu menghilang kembali masuk ke dalam setelah mempersilahkan.
Dimas berdehem lagi. Ternyata dia memang hanya menunggu istriku pergi agar percakapan tidak terganggu. Mungkin karena merasa tak enak hati.
"Ehm- begini, Bang ..." Dia menggeser sedikit duduknya, "saya cuma mau menanyakan apa kontrakan rumah masih ada yang kosong?"
Aku sedikit mengernyit. Dimas menanyakan kontrakan kosong?
"Kebetulan ada satu yang kosong, Mas."
Dia mengangguk-angguk, terlihat sedikit kelegaan di wajah kusutnya.
"Ngomong-ngomong siapamu yang ingin mengontrak?" tanyaku.
Dia menarik napas. Tersenyum singkat, lalu menjawab. "Saya sendiri, Mas ..."
Aku menatapnya. Agak tak percaya. Karena yang kutahu Mak Sonah punya rumah besar dengan rentetan kamar di dalamnya.
"Kamu?"
"Betul, Bang."
"Lah kenapa? Bukannya enak tinggal di rumah sendiri?"
"Rumah mendiang ibu itu, Bang ..."
"Iya memang rumah mendiang ibumu. Tapi selama ini kan memang kamu di sana. Menemani masa tua sampai mengurus ibumu sakit selama bertahun-tahun."
Dimas mengalihkan pandangan ke telapak tangannya yang terselip di antara paha. Seperti penuh beban.
"Rumah itu ... mau direnovasi dan dikontrakan sama Mas Denan ..."
Aku menatapnya. Mengamati kecewa dan terluka tersorot dalam manik yang sama.
Memang semenjak kematian Mak Sonah kami mulai mendengar desas-desus itu. Bahwa anak pertama Mak Sonah yang bisa dikategorikan sebagai orang terpandang di kotanya datang dan mulai mengurus rumah peninggalan orangtua mereka.
Dia membereskan hutang-hutang peninggalan Almarhumah yang saat sakit membutuhkan banyak biaya. Setelah itu mulai merasa berhak atas rumah dan segala isinya.
Padahal jelas sekali dulu Mak Sonah bicara tiap kali bercakap dengan kami, para tetangganya.
"Sengaja kami membuat rumah besar dengan banyak kamar di dalamnya. Agar nanti rumah itu bisa jadi tempat berkumpul saat lebaran, atau rumah bersama kalau memang ada anak yang belum mampu punya rumah sendiri."
Saat itu kami melihat tanggung jawab dan harapan seorang ibu yang sangat besar untuk putra putrinya. Tapi sekarang yang ada di hadapanku seperti sangat jauh dari keinginannya.
Pantas saja sejak Mak Sonah menginggal dunia, Dimas dan istrinya semakin jarang keluar rumah. Sementara Denan berkali-kali datang dan memanggil tukang.
"Apa tidak bisa dibicarakan dulu? Takutnya nanti Mas Denan merasa tak enak hati tahu kamu mengontrak di tempatku ..."
"Tidak, Bang. Karena ini memang hasil pembicaraanku dan Bang Denan ..."
Tidak terbayang pembicaraan macam apa yang akhirnya membawa keputusan bahwa sang adik harus keluar dari rumah mereka. | Cerpen Kehidupan Persaudaraan Itu Jangan Sampai Mati Obor
Dalam keadaan bingung mencari rumah mana yang bisa dijadikan tempat tinggal.
Aku menarik napas. Entah kenapa merasa ikut miris melihat keadaan mereka. Tapi hanya bisa mengangguk-angguk karena tidak ingin menyakiti perasaan pria di hadapanku dengan mengomentari tindakan keluarganya.
"Ya sudah, mulai besok kamu bisa langsung pindah ke rumah yang letaknya paling pojok utara."
"Maaf Bang, kalau saya bayar DP nya dulu bagaimana? Nanti sisanya saya bayar setelah gajian untuk satu tahun ke depan."
Aku tersenyum, "Boleh, Mas."
"Terimakasih, Bang. Terimakasih!" Dia menyalamiku. "Kalau begitu saya permisi dulu, langsung beres-beres barang malam ini."
"Ya, ya." Aku menganggukan kepala.
Masih mengamati punggung itu bergerak keluar rumah. Lalu menutup pintu dengan hati-hati.
"Ada apa, Yah?" Istriku muncul dari balik pintu kamar.
Aku melangkah ke ruang dalam. Dimana tiga anakku sedang asyik menonton tivi sambil bercanda.
"Dimas, mau mengontrak rumah."
Istriku mengangguk-angguk, terlihat tidak kaget.
"Memang sudah sebulanan ini kami dengar Mas Denan itu selalu mengungkit rumah yang ditinggali Dimas. Kasihan, Yah. Sampai istrinya Dimas merasa nelangsa. Karena keadaan mereka akhir-akhir ini kan memang lagi jatuh. Makanya masih bertahan di rumah itu karena tanah jatah mereka sudah dijual beberapa tahun yang lalu ..."
Aku hanya diam, tidak ingin menghakimi karena mereka masing-masing pasti punya dalih sebagai pembenaran. Mas Denan yang merasa pantas mengambil hak rumah karena sudah membayarkan hutang-hutang. Lagipula dia berpikir bahwa Dimas memang sudah pernah diberi jatah warisan tapi malah terjual.
Melihat kejadian nyaris sama dalam keluarga yang berbeda membuatku selalu berpikir. Apa yang salah? Cara didikan orangtua kah? Atau karena ada pihak-pihak lain yang ikut berpetuah? Entah.
Tapi sepertinya memang sudah banyak kejadian dimana persaudaraan hanya sepanjang masa hidup orangtuanya. Mungkin akibat kerasnya hidup dalam mengurus keluarga kecil mereka, atau karena kedewasaan membuat mereka tak bisa membedakan antara wangi uang dan wangi surga. Entah apa alasan disebaliknya, semoga keluargaku tidak akan mengikuti cara yang sama. | Cerpen Kehidupan Persaudaraan Itu Jangan Sampai Mati Obor