Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 8

Andaikan kabut | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 8
Tak menyulam hari hingga berlarut-larut
Andaikan hidup ada harapan

Rossa - Bulan dikekang malam

Toko kue bergaya Eropa yang terletak di pusat kota, menjadi pilihanku untuk bertemu dengan Kak Delia sore ini. Melangkah memasuki toko, nyaman mata memandang desain interiornya yang elegan. Beberapa dinding ruangan dibuat menarik dengan pajangan foto-foto hitam putih bahkan juga lukisan-lukisan yang terkesan tua. Menerawang sudut ruangan sebelah kanan, seperti katanya, benar dia ada di sana. Dengan gugup aku berjalan ke meja wanita berkerudung lebar itu, mengucap salam menjabat tangannya.

"Jadi sekarang kamu beralih profesi jadi pengajar?"

Aku tersenyum seraya menggeser kursi berhadapan dengannya. "Hanya mengajar di lembaga bimbel, mungkin untuk sementara."

"Kalau kamu mau, kakak bantu cari posisi dibagian keuangan, gimana?"

Sebelum hijrah, Kak Delia merupakan asisten manajer di salah satu Bank terkemuka. Jaringan dan relasi yang dia punya pasti cukup luas. Akupun pelan-pelan ingin mengikuti jejak hijrahnya, kenapa harus kembali mundur ke belakang?

"Nura punya rencana melanjut S2, mencari peluang menjadi dosen. Berhenti mengurus keuangan," ujarku tersenyum lebar.

"Sebagai langkah untuk hijrah, ya? Alhamdulillah," tebaknya mengerling mata.

Aku tertawa lirih, ada satu pertanyaan yang langsung ingin diutarakan. Tapi ... rasa ragu memaksaku menahan diri sebentar. Tak lama seorang pelayan datang membawa nampan dan meletakkan camilan-camilan coklat yang menggemaskan ke atas meja. Di telepon tadi aku memang sudah titip pesanan lewat Kak Delia.

"Lanjut S2-nya jangan jauh-jauh ya, Yusuf butuh kamu di sini."

Mendengar pernyataan Kak Delia bikin hati tertohok. Aku punya pertanyaan sendiri dan sudah sampai di ujung lidah, tapi bibir masih mengatup enggan terbuka. Kutarik napas lalu menghembuskannya pelan.

"Kakak terlalu sulit ditemui selama ini, ada hal mau Nura tanyakan langsung tatap muka, sepertinya ini waktu yang tepat." Dia termangu, meski mencoba tenang, tetap terlihat air mukanya gelisah.

"Apa ... alasan kak Delia meninggalkan kak Yusuf? Kakak membatalkan pernikahan? Kenapa?" tanyaku perlahan. Setelah bertahun-tahun, hebatnya aku baru menanyakan itu sekarang.

Kak Delia memutar pandang ke arah lain, dahinya mengerut. "Kak? Apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Kenapa bisa tega? Apa salah kak Yusuf?" Akhirnya pertanyaan itu langsung meluncur begitu saja.

Dia tergagap, masih enggan menatap mataku, "Kak Delia! Lihat Nura!"

"Kamu tahu Nura, saya ini anak tunggal. Cuma punya ayah yang tak pernah menikah lagi usai ditinggal mati ibu saya. Beliau mendambakan kehadiran cucu untuk mewarnai hari tuanya. Jika tetap menikah dengan Yusuf, saya sulit bahkan mungkin tidak akan bisa mewujudkan keinginan itu. Saat itu beliau sudah begitu renta, saya takut tak sempat memberi apa yang dia angankan."

"T-tunggu, maksud kakak?" Kali ini dia menatap mataku, tersenyum getir.

"Sebelum pesta pernikahan, kami menjalani tes kesehatan. Sebelumnya Yusuf bilang hasil pemeriksaan dia bagus. Hingga tiba-tiba, malam menjelang hari-H, dia menelepon dan mengaku satu hal. Dia bermasalah dengan kesuburan. Infertil. Malam itu saya kebingungan, lalu merutuki tidak jujurnya Yusuf. Kami bertengkar lewat telepon. Yusuf mengira saya tidak bisa menerima dia apa adanya. Saya mencintai Yusuf, tapi saya lebih mencintai Ayah saya yang sudah berkorban banyak demi anaknya ini," jelas Kak Delia menunjuk dirinya sendiri.

"Setelah memikirkan matang-matang, keesokan paginya saya membuat keputusan. Akad nikah saya pinta dibatalkan, padahal semua persiapan sudah matang. Situasi saat itu rumit, Nura. Yusuf marah, saya pun marah, tapi juga prihatin."

Aku terdiam. Mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seolah tak percaya, benarkah yang dia bilang? Serumit apa situasi mereka dulu? Termenung, hingga akhirnya aku tertawa sumbang karena kami terbungkus kebisuan.

"Apa kamu menyesal Nura?" Kak Delia menundukkan wajahnya. "Saya tidak menceritakan ini sejak awal, maaf. Waktu kamu sudah terbuang banyak demi Yusuf, apa kamu menyesal? Bertahan menanti orang yang koma dan dia tidak sempurna."

Kali ini ... kesetiaanku kembali diuji. Bodoh? Apa aku bodoh? Mengambil lembaran biru dari dompet, kuletak di atas meja. Tak ada selera menyentuh apa yang sudah tersaji di hadapan. Aku ingin menenggelamkan diri sekarang juga. Air mata sudah tak mampu lagi jadi penyejuk luka. Gersang. Kering-kerontang. Hati retak tidak karuan. Mendadak tuli, aku tak mampu lagi mendengar apapun yang keluar dari mulut kak Delia. Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan tempat itu. Terus berjalan menyusuri jalan, kemana? Aku akan kemana?

Bumi berputar-putar, bukan ... bukan bumi, apa ini? Kepalaku?

"Argh!"

BRUK! Gelap.

***

Urat-urat kepalaku nyeri. Pandangan berkunang-kunang. Menahan napas, sekuat tenaga aku melawan rasa sakit yang hinggap di kepala. Kubuka mata pelan-pelan, yang tampak adalah langit-langit kosong, juga dinding-dinding, tirai yang menutup separuh jendela. Semua serba putih, bersih. Ini?

"Alhamdulillah Mbak sudah sadar," suara bariton yang muncul tepat di samping kanan membuatku hampir melompat karena kaget. Kukira tak ada siapapun di sini. Anak itu ... apa dia yang membawaku kesini?

Bagaimana bisa? Aku kenapa? Banyak pertanyaan ingin aku lontarkan, tapi teringat apa yang terjadi beberapa malam lalu, ada rasa malu bahkan untuk sekedar meliriknya. Dia menggeser kursi kecil di samping ranjang, duduk dengan tenang. Rasa canggung membuatku segera bangkit duduk bersandar. Saat yang sama aku menyadari ada saluran infus tertanam di atas pergelengan tangan.

Mana perawat? Mana petugas kesehatan? Kenapa kami ditinggal berdua?

"Mbak," dia menatap ke arahku, menimbulkan degup tak wajar di dalam sini. Menoleh ke arahnya sekilas, kali ini penampilannya tidak biasa. Sangat rapi bergaya ala eksekutif muda.

"Maaf ... saya tidak bisa meninggalkan Mbak begitu saja, diam-diam saya menyuruh seseorang untuk mengawasi. Kata Om Haikal Mbak demam dan dehidrasi, juga ... tertekan."

"Memangnya kejiwaan seseorang bisa diperiksa di sini juga, ya? T-tunggu, kamu menyuruh orang untuk menguntit saya?!"

"Mbak...."

"Kenapa?!"

"Beri saya kesempatan untuk membahagiakan, Mbak."

Deg! Tanpa sadar, tanganku mengepal dan menekan ke tengah dada. Ingin menyadarkan benda hidup di dalam sana agar jangan berdebar seenaknya! | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 8

"Mbak harus realistis, lihat kenyataan yang ada sekarang. Sampai kapan Mbak bertahan menunggu yang tidak pasti?"

Sesaat aku termenung. Ya. Sampai kapan? Mungkin ... Ali benar, sudah saatnya aku mengikuti alur yang lebih nyata. Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Apa Allah telah membalik perasaanku. Aku tak mengerti kenapa di jalan takdir ini, Allah menghadirkan Ali.

"S-saya ...." suaraku tercekat, dering ponsel memecah konsentrasi. Itu ponselku. Aku mencarinya dan ternyata berada dalam tas di meja yang tak jauh dari ranjang.

Ali bangkit mengambilkan tas itu, segera kurogoh isinya dan mengeluarkan si ponsel pintar, nama Yunda terpampang di layar. Perasaanku lagi-lagi gelisah.

"Assalamualaikum ... Yunda, kenapa, Dik?" tanyaku dengan suara parau, tenggorokan sakit.

"Waalaikumsalam warahmatullah. Kakak dimana?!" suaranya dari sana penuh penekanan.

"Y-ya? A-ada apa? Kakak sekarang ada di ...."

Belum sempat aku melanjutkan, dia langsung memotong entah apa. Suara isak tertahan lebih mendominasi percakapan. "Kak Yusuf bangun!"

Sunyi. Terlalu sunyi di dalam otak sini, sampai aku tak bisa mendengar jelas apa yang Yunda katakan. "Yunda?"

"Kak Yusuf bangun, dia sadar! Cepat kesini!"

Jantungku mau meledak saat ini juga! Aku masih tak mengerti, belakangan ini segala sesuatu sulit untuk aku cerna dalam pikiran. Kata-kata berulang terdengar dari seberang, hingga akhirnya aku tersadar. Bibirku menjerit menyerukan pujian untuk-Nya. Seperti ada letupan kembang api di balik dada. Aku ingin segera berlari ke sana. Kak Yusuf?!

"Mbak? Ada apa?"

"Infus ... infus ini?" Celingak celinguk aku berharap perawat datang, lama! Tak ingin menunggu. Pelan-pelan rekatan jarum infus kubuka. Bangkit dari ranjang, tanpa sadar aku mengabaikan Ali. Meninggalkannya begitu saja.

Masih menggenggam ponsel aku berlari menyusuri lorong. Seperti lupa pada dunia. Aku hanya ingin satu hal, memastikan kebenaran itu. Mencari lift, kutekan tombol ke lantai dua. Sepanjang jalan hanya lirihan tasbih dan tahmid lewat bibir ini yang mampu aku dengarkan.

"Mbak Nura!" Yunda menungguku di depan ruang ICU yang selama ini mengurung kak Yusuf, darahku berdesir. Jantung di dalam sana seakan siap meletus seiring gerak langkah kaki semakin dekat ke tempatnya. Air mata meleleh di pipi Yunda, dia memelukku. Mengiringiku memasuki ruangan itu.

Dunia mungkin berhenti berputar, waktu bergerak lambat. Terlupa segala hal, hanya satu yang mengisi pikiran, pandangan, juga perasaan. "Kak Yusuf?"

Dari tempatnya, kak Yusuf bersandar di kepala tempat tidur. Kelopak matanya terbuka, nampak iris mata kecoklatannya mengamati dari sana. Semula dia diam, aku berdiri tepat di depan ranjangnya.

"Nak, kamu ingat Nura?" Umi yang matanya masih basah menepuk-nepuk punggung anak lelakinya itu.

Kak Yusuf masih diam, tatapannya belum berubah sedikitpun. Hangat dan lembut. Bibirnya yang pucat lantas bergerak, sedikit gemetar. Ujung bibirnya terangkat, suaranya ... aku tak sabar mendengar suaranya.

"Si gadis kaku ...."

Umi menangis, mengucap hamdallah, begitupun Yunda. Aku? Ragaku di sini, tapi nyawaku seperti melayang ke angkasa ... terbang lalu siap berhambur ... kepelukannya, jika aku bisa.

Kak Yusuf masih tersenyum, saat yang sama seseorang muncul dan berdiri tepat di samping kananku. Menoleh sebentar ke arahku, ia lantas menatap Yusuf yang masih tersenyum di tempatnya. Ada banyak wajah di tempat ini, wajah penuh haru, potret senyum hangat, dan ada dia ... yang datang membawa kebekuan, Ali.

Dari atas ranjang, kak Yusuf masih memandang wajahku, tampak lugu. Kelopak matanya berkedip pelan, senyum manis tak jua lepas menghias wajah perseginya. Senyum yang selalu mampu melelehkan dinginnya hati, kini kembali menyapa dunia. Hangat seperti lembayung senja. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 8

"Kak Yusuf ...," bisikku dari sini, seperti dulu ... seperti biasa, aku selalu berbisik memanggil namanya.

- Bersambung -