Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 7

Hari-Hari Bersama | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 7
Tengah hari, kota Medan seakan membara. Tak seperti hari-hari sebelumnya. Kini di tengah tujuh lapis langit, matahari serupa lidah api yang menjulur hendak menjilati permukaan bumi. Tapi tidak menjadi penghalang langkah para kaum lelaki, demi Jum'at yang menjadi kewajiban.

Sosok lelaki berwajah sesegar susu ikut berhambur keluar, sesekali bibirnya melengkungkan senyum kepada jama'ah lain. Tangan panjangnya terulur meraih sepatu, mengenakan di teras masjid raya nan agung. Bangkit usai tali-tali sepatu terikat sempurna. Kaki panjangnya dibawa meninggalkan pelataran, seraya menyalakan kembali Iphone yang sempat di nonaktif.

Tring!
Sebuah pesan muncul di layar.

Nura :
[Ali, kamu dimana? Transaksi si antik lancar. Saya traktir makan, mau?]

Dada si lelaki berdebar, tidak seperti dugaan. Ia masih di terima untuk menjadi bagian dari kehidupan si pengirim pesan. Kedua sudut bibir terangkat, sedang matanya masih mengamati ponsel dalam genggaman. Mengetik balasan. Kemudian berjalan mencari kendaraan konvensional yang lalu-lalang.

Beberapa hari lalu, Nura menunjukkan ekspresi yang sangat tidak dia suka. Ada raut ketakutan dan amarah terpendam. Bukan Ali jika dia tak bisa meyakinkan orang lain. Memutar otak, ia jelaskan bahwa rasa empati yang membawa Ali kepada Nura. Tak ada maksud lain, sebagai sesama Ali merasa memiliki kewajiban untuk menolong. Apalagi, Nura adalah seorang wanita tanpa perlindungan di kota metropolitan.

Meski Ali sempat kebablasan memberi pertanyaan yang mencengangkan. Untung saja logika masih mampu mengendalikan perasaan. Agar tak lumpuh ditelan kecemburuan.

Efek macet, lebih dari tiga puluh menit Ali sampai di tempat yang mereka janjikan. Restoran kecil tak jauh dari lokasi lembaga bimbingan belajar - yang mulai sore ini menjadi tempat baru Nura bekerja. Ia harap Nura tak tersiksa menunggu dengan lapar tertahan.

Di satu meja yang menghadap kolam dan taman, Ali menemukannya dengan mudah. Sosok wanita bergaris muka tenang, mengenakan pashmina menutup punggung hingga dada berwarna merah muda. Sedang membolak-balik buku tebal di atas meja, sesekali ia mencoretkan stabilo di sana.

"Assalamu'alaikum, Mbak Nura."

Nura melongok, si pemilik wajah tanpa ekspresi telah datang. "Waalaikumsalam, Ali!" Nura tersenyum sumringah.

Ali mengambil kursi duduk bersebelahan. Memeriksa sekeliling. Suasana tidak ramai, hanya obrolan-obrolan kecil para pengunjung, juga sendok-sendok yang beradu suara dengan piring. Pilihan tempat yang tepat bagi Ali karena ia benci lokasi penuh suara bising. Mereka lantas memesan makanan, Nura menyengir mengungkap betapa laparnya dia. Ali tersenyum simpul memandang wajah wanita berumur yang masih polos itu.

"Jadwal mengajar kamu kapan saja, Li?" tanya Nura sembari menunggu pesanan.

"Saya ... tidak jadi mengajar, Mbak. Kondisi Papi tidak baik, dan sepertinya Papi tak bisa lagi mengurus bisnis keluarga. Sudah saatnya saya jadi pria dewasa, menggantikan beliau."

"Wah! CEO muda. Akan susah ditemui nantinya."

Ali terdiam, ditemui? Apa Nura masih ingin menemuinya? Satu hal yang ia takutkan jika mengurus perusahaan. Ali akan sulit memiliki kesempatan mencari Nura duluan. Mungkinkah Nura bersedia menemuinya?

"Jangan ragu untuk menghubungi saya, kalau Mbak butuh bantuan."

Nura tersenyum, melempar pandang ke taman berhias aneka jenis dan warna bunga. "Tidak. Saya tidak ingin merepotkan lagi. Dan, ada yang cemburu jika saya sering berurusan dengan kamu." Ia tertawa seakan ingin menggoda Ali.

"Lisa? Anak itu memang begitu, dia selalu menganggap saya miliknya. Demi Om Haikal selama ini saya menuruti mau dia. Om Haikal sendiri tidak memaksa saya membalas perasaan Lisa. Om Haikal tahu saya menyukai wanita lain."

"Hmm. Kalian dekat sekali ya, Dokter Haikal terlihat sangat menyayangi kamu. Oh ya, hubungan kamu dengan Pak Steve sepertinya sudah membaik?"

Ali mengangguk. Ia tidak langsung menjawab karena saat itu juga pramusaji membawakan pesanan mereka.
Usai makanan tersaji rapi, siap menyantap. Pemuda itu melanjutkan pembicaraan.

"Saya tahu, seumur hidup meski berulangkali dikecewakan, Mami sangat mencintai Papi. Tugas saya sekarang sebagai anak, menyadarkan beliau bahwa tak ada wanita lain yang pantas duduk di hatinya selain Mami. Pelan-pelan, wanita dan anak lelakinya itu akan saya buka kedok yang sebenarnya."

Hati Nura tersentuh dengan kedewasaan pemuda didepannya. Jauh berbeda dengan sosok remaja pemarah yang bernafsu menghajar ayahnya sendiri tujuh tahun lalu. Waktu dan pengalaman, benar-benar dapat merubah seseorang.

"Perjalanan hidup kamu jauh lebih menyakitkan dibanding kisah penantian saya. Semoga kamu mendapatkan kembali apa yang menjadi hakmu."

"Aamiin. Oh ya, Mbak. Maaf, boleh saya bertanya ... alasan mantan Yusuf membatalkan pernikahan mereka?"

Deg!

"A- untuk itu, alasannya...." Nura terpaku, gerakan sendok makan di tangannya terhenti. Lidahnya seketika pahit mengecap makanan. Ada air menggenang di pelupuk mata, dan dia hanya bisa menundukkan wajah, mencoba menyembunyikan.

"Astaghfirullah. Mbak...." kini pemuda didepannya, dalam lubuk hati terdalam lagi-lagi merutuki kecerobohannya. Sesal menggerayangi rasa, berdosalah dia jika sampai kembali membuat wanita yang ingin dilindunginya justru terluka.

***

Wanita itu meletakkan mushaf kembali ke dalam lemari buku. Menghela nafas panjang, dadanya hingga kini masih terasa sesak. Duduk dipinggir ranjang, ia melirik jam yang tergantung apik di dinding kamar. Menunjuk angka jam sembilan kurang. Lewat jendela kaca yang tirainya tersingkap, tampak gulita telah menyelimuti malam tanpa bintang. Ngilu dan sunyi.

Dengan wajah sendu dia berjalan mendekati jendela, telapak tangan menyentuh permukaan kaca terasa dingin seperti hatinya. Perih. Bahunya naik turun, pelan ... kemudian berguncang hebat. Tangisan memecah sunyi dalam ruangan.

Kakinya tak lagi kuat menopang badan, ia terjatuh duduk lantas bersadar pada dinding. Memeluk kedua lututnya yang tertutup rok hitam panjang.

"Sampai kapan? Apa tujuh tahun tidak cukup? Apa cinta harus semenyedihkan ini?"

Terngiang semua yang telah ia lalui selama tujuh tahun, mengabaikan banyak lelaki demi seorang Yusuf yang masih tak sadarkan diri. Hingga kini bahkan dia tak tahu - tepatnya tidak perduli - alasan mengapa dulu Delia meninggalkan Yusuf tiba-tiba.

Beberapa bulan lalu ia bertemu Delia di sebuah toko roti langganan. Sayang, waktu tak mengizinkan mereka untuk bicara banyak. Pertanyaan Ali masih terngiang di benak Nura. Pertanyaan yang selama ini juga dia simpan sendiri, karena yang bisa ditanya tak pernah menampakkan diri. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 7

Nura menyeka air mata. Tiba-tiba teringat pada suatu hal, sambil memegangi perut dan merapikan jilbab dia berjalan meninggalkan kamar. Meninggalkan apartemen. Sampai pelataran ia berjalan, mulai terasa dinginnya malam. Angin berseliweran menusuk hingga ke tulang. Agak menyesal tidak mengenakan pakaian lapis tebal.

Tapi malas jika harus berbalik ke apartemen, ia terus menggerakkan kaki dengan langkah pelan, semakin jauh. Seorang diri di jalanan yang hanya sesekali dilewati orang dan kendaraan.

Tak lama Nura tersadar, ada suara memanggil-manggil namanya. Menoleh kebelakang, tampak sesosok tinggi menjulang memburu jalan, ke arahnya! Lampu penerang yang remang-remang membuat Nura kesulitan melihat siapa sosok itu. Bulu kuduk meremang, jantungnya berdebar. Dengan gemetar Nura berjalan tak kalah cepat menuju tempat yang lebih ramai.

"Allahu Akbar!" bibirnya gemetar terus berdoa memohon pertolongan Sang Maha. Terus berjalan tak lupa sesekali menoleh ke belakang, sosok itu sudah tak jauh darinya. Yang ia lihat hanya tubuh tinggi serba gelap, wajahnya tertutup topi jaket.
Setitik air jatuh dari langit, menembus jilbab yang ia kenakan. Lama kelamaan bulir-bulir basah itu semakin ramai menyentak bumi.

Nura menjerit. "Ya Allah tolong hamba!" dia mulai histeris ketakutan, tak tahu ke mana harus berjalan, hujan pula semakin deras.
Nura berjalan cepat sedangkan pikiran sudah kemana-mana, hingga dia tak sadar ketika ada tangan yang menarik lengannya. Ketika tubuhnya diputar, baru Nura menjerit sekuat tenaga.

"Mbak!"

"K-kamu?!" Sebuah jaket besar membentang menutup tubuhnya yang mungil. Tanpa aba-aba Nura di tarik ke halte kecil tak jauh dari tempat mereka. Nura selamat dari siraman hujan. Sedangkan lelaki yang tadi mengekori hampir kuyup, tangannya mengibas bulir-bulir yang menempel di rambut dan kaos panjangnya.

"Mbak kenapa jalan sendirian? Malah main hujan?!"

"Siapa yang main hujan?! Semua gara-gara kamu, Ali!"

Ali terdiam, berjalan agak ke samping sedikit menjauhi lengkingan suara Nura. "M-maaf, saya tadinya bermaksud menemani Mbak supaya tidak jalan sendirian. Dipanggil malah lari."

Karena masih merasa terkejut, Nura meluapkan emosi sampai air matanya kembali tumpah. "Meski hujan semakin deras saya tetap berlari, dari pada berteduh bisa habis riwayat saya! Saya ketakutan mengira kamu penjahat!"

Ali terdiam, mengamati wajah Nura. Matanya memerah, air mata ikut mengalir di pipinya. "Saya memang bodoh. Maafkan saya, Mbak!"

Tangisan Nura terhenti. Menormalkan pernapasan yang sempat putus-putus, dia melirik ke samping kiri tempat Ali berdiri. Pemuda itu membuang mukanya, malu. Nura tertegun sesaat, lantas tertawa kecil. Hatinya tergelitik.

"Hahaha! Ali?! Kamu menangis?" Nura menyembunyikan tawa di balik jaket besar yang kini membungkus tubuhnya.

"Mbak tadi mau kemana?" Ali mengalihkan pembicaraan.

"Em ... lagi kepengin makan batagor, di ujung jalan situ ada. Enak!" Nura menunjuk dengan dagunya. Sontak membuat Ali geleng-geleng kepala.

"Kenapa tidak pakai jasa pengantaran online? Tinggal tunggu di apartamen."

Nura menghela napas panjang. “Apartemen sunyi."

Keduanya kemudian diam. Nura duduk di bangku panjang halte, sedang Ali tetap berdiri. Di ruang sempit itu mereka memberi jarak satu sama lain. Sesekali mengobrol, kemudian melempar pandang pada hujan yang tak kunjung berhenti.

"Mulai besok, saya kembali ke rumah dan masuk perusahaan."

Nura berdehem menanggapi. Ali kembali melanjutkan, "Mbak, bolehkan saya tetap mengunjungi?"

Deg!

'Mengunjungi? Kenapa?' Di ujung lidah pertanyaan Nura tertahan.

Ia tak mengerti ketika tiba-tiba ada gemuruh di balik dada. Kali ini bukan karena rasa takut atau gugup. Debaran ini tidak biasa. Jika sebelumnya ia mampu bersikap wajar menanggapi para pria. Kali ini berbeda. Setelah sekian lama, perasaan itu kembali menyapa. Persis ketika ia pertama kali bertemu lelaki yang telah menggenggam hatinya. Yusuf.

Nura segera bangkit, saat yang sama Ali menoleh kebelakang. Pandangan mereka bertemu. Nura tersentak. Kakinya bergerak begitu saja meninggalkan halte. Menembus hujan.

“Mbak?” Ali yang tak mengerti apalagi yang salah, mengejar wanita itu. Memanggil nama Nura meski terus diabaikan. Karena Nura tak juga berhenti, Ali segera memotong langkah kakinya. Berdiri tepat di hadapan Nura. Menutup jalan yang akan Nura lalui.

“Ada apa, Mbak? Apa yang salah?” Ali mengencangkan suara. Tak ingin tenggelam dalam desir hujan dan gemuruh yang bersahut-sahutan.

“Jangan pernah berharap bisa melewati batasan itu, Ali. Jangan!” suara Nura tak kalah kencang, matanya menyipit disiram air hujan. Sukses membuat Ali tak mampu berkata apa-apa. Lelaki itu hanya mematung, membiarkan Nura mengambil jalan yang dipilihnya. Semakin jauh. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 7

- Bersambung -