Senja menggoda agar tetap kunikmati sunyi dengan duduk di bangku kayu panjang, menghitung daun berguguran, seperti derai harap yang tak lulus seleksi perwujudan. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 9
Sebuah buku dalam genggaman menjadi saksi bisu, atas rindu yang dengan paksa harus lebih menunggu.
Pernahkah kau ... menanti selama aku?
"Nura...,"
"Ya Umi?" Wajah itu tampak kuyu, bibir di antara kulit keriputnya masih dipaksakan tersenyum.
"Kamu pulang saja, Nak. Umi tidak bermaksud mengusir, kamu pasti sangat lelah beberapa hari ini. Istirahatlah."
"Tapi Umi ...," Paru-paru seperti terhimpit, sesak.
"Nura, bukankah kesembuhan Yusuf adalah yang paling utama bagi kamu? Biarlah dia menenangkan diri dulu."
Ini ... tidak adil. Ya Allah, aku salah apa?
Dari taman rumah sakit, terlihat jingga menghampar langit. Menarik napas, kuhembus pelan. Mengumpulkan kekuatan berpamitan pada Umi. Tanpa kak Yusuf. Dua hari ini wajah yang kurindukan itu enggan menampakkan senyum.
Apa lagi harus kuberi, Kak? Nyawa ini tersisa satu-satunya. Apa harus dengan ini aku membuktikan? Kenapa kau selalu membuatku seperti orang bodoh?
Berjalan gontai melewati setiap lorong, meninggalkan rumah keduaku sejak tujuh tahun lalu. Tepat kaki menginjak pelataran, ketika itu pula cakrawala bergemuruh. Angin kencang menerbangkan debu-debu, kutepis dengan tangan agar tidak memasuki mata.
Oh tidak. Seperti jarum-jarum, dingin air jatuh menembus kulit. Berlari kaki mencari tempat berteduh. Tapi satu tangan tiba-tiba menahan, aku menoleh ke belakang.
Wajah bersih itu menaikkan sedikit sudut bibir. Masih menahan tanganku, dia menatap angkasa. Rinai hujan semakin deras menghantam bumi.
Wajah bersih itu menaikkan sedikit sudut bibir. Masih menahan tanganku, dia menatap angkasa. Rinai hujan semakin deras menghantam bumi.
"Ali! Lepas!"
Tenaganya lebih kuat, tidak goyah meski sekuat mungkin kutarik tangan yang dia genggam. Bahuku bergetar, melihat tingkahnya tetap tenang. Orang-orang berlarian menepi dari hujan, pandangan mereka mengarah pada kami. Ada yang tersenyum geli, menggeleng kepala, dan sebagian tidak perduli.
"Ali ..." Suaraku melemah tertelan perpaduan gemuruh dan hujan.
"Menangislah," suara baritonnya begitu lembut.
Aku ... bimbang. Menatap wajah itu, luka yang disembunyikan justru semakin menganga. Sakit. Dia membuat keadaan semakin sulit.
Menangis. Aku menangis. Menumpahkan segala beban selama ini menggelayut jiwa.
Dia diam. Genggamannya pada lenganku mulai merenggang. Lepas. Memberiku ruang lebih untuk mengeluarkan kesedihan.
Dia diam. Genggamannya pada lenganku mulai merenggang. Lepas. Memberiku ruang lebih untuk mengeluarkan kesedihan.
Kak Yusuf, luka ini darimu ... seharusnya kau juga yang menyembuhkan.
***
Sudah lebih seminggu kak Yusuf menjalani terapi jalan, juga berbagai perawatan untuk membuat fungsional tubuhnya kembali normal. Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pria usia 35 tahun itu baik-baik saja.
Kondisi psikisnya agak terguncang. Sadar dari koma, ia seperti memasuki kejungkirbalikan dunia. Sang Ayah telah tiada, keuangan keluarga mengalami kemelaratan. Banyak aset telah terjual. Bahkan satu-satunya bangunan toko yang menjadi tempat penghasilan, ternyata sudah lama tergadai.
Kak Yusuf dulu bertubuh tegap proposional, piawai, berbahu kokoh. Kini tampak kurus, lesu seperti pria malang. Mataku basah. Dengan cepat kuseka air yang melelehi pipi. Kak Yusuf berjalan agak terseok menuju tempatku dan Umi.
"Cuacanya memang lagi bagus untuk olahraga pagi," aku bangkit dari kursi taman mempersilakan dia tempat duduk.
"Yusuf duduk di sini saja, Nak. Umi mau mengambil handphone, menelepon Yunda." Umi berdiri menuntun kak Yusuf duduk. Kemudian pergi meninggalkan kami yang saling bisu.
Aku menunggu, dia bersuara lebih dulu. Nyatanya dia hanya diam. Menatap langit biru, juga burung-burung di atap gedung rumah sakit. Tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.
Meremas tangan, aku merasa gemas. Miris.
"Kenapa tiba-tiba belakangan kak Yusuf menghindari Nura?"
Aku salah apa?
Tapi pertanyaan kedua kutahan di ujung lidah.
Ya Allah. Dia tidak merespon. Apa dia bermasalah dengan pendengaran? Aku khawatir.
"Usia kamu sudah 32, kenapa belum menikah?"
Deg!
Jantungku seperti dilempar batu. Bahkan pertanyaan itu juga keluar dari dia yang selama ini menjadi alasan.
"Kak Yusuf...,"
"Siapa yang kamu tunggu?" tanyanya dengan nada tegas.
"Pertanyaan apa itu?"
"Apa yang kamu harapkan dari pria melarat yang banyak kekurangan ini?"
Subhanallah! Masya Allah. Aku tak tahu harus mengucap yang mana. Di satu sisi senang dia menyadari penantianku, tapi di sisi lain hal ini terdengar akan menjadi buruk.
"Umur kamu tidak lagi muda, Delia saja dengar-dengar sudah mengandung anak ketiga."
Argh! Kenapa dia bawa nama itu! Apa dia masih mencintai kak Delia?
Kak Yusuf, kau jahat.
Kemarin saat baru sadar dari koma, dia tidak sedingin ini. Kenapa berubah? Apa karena tahu selama ini aku menunggu dia? Dia tidak suka? Dia ... risih?
"Laki-laki muda yang sering menemui kamu ke sini, dia tampaknya lebih layak kamu jadikan suami," ujarnya gamblang.
Terpaku. Kepala seperti berputar-putar. Pernyataan dia barusan bisa-bisa membuatku pingsan.
"Jangan buang-buang waktu kamu lagi, Nura."
Tangannya menumpu gagang kursi berusaha bangkit, melangkahkan kaki-kakinya kaku, dia berjalan meninggalkan aku. Tanpa sedikitpun menoleh. Dia terus menatap ke depan. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 9
Ini ... adalah penolakan paling kejam.
Apa ketika kecelakaan dulu, bagian bernama hati itu terlepas dan hilang? Membuatnya begitu tak berperasaan seperti sekarang.
Ini ujian paling berat. Menangkup muka, memukul dada. Berharap sakit itu bisa reda. Tapi yang ada aku semakin terluka. Tangis itu semakin memekakkan telinga.
Ya Allah ... aku salah apa?
***
Sehabis dzuhur dan merapikan mukena, aku memeriksa smartphone. Mencari kontak seseorang, melakukan panggilan tapi tak bersambut.
Justru sebuah SMS yang muncul. Anak itu ...
Ali :
Mbak, orang tua jadi datang jam berapa? Saya ingin berkenalan, boleh?
Ali ... kamu selalu saja berusaha. Teringat pembicaraanku dengan Ibu dua hari lalu, membuat tak tenang.
Mbak, orang tua jadi datang jam berapa? Saya ingin berkenalan, boleh?
Ali ... kamu selalu saja berusaha. Teringat pembicaraanku dengan Ibu dua hari lalu, membuat tak tenang.
Aku khawatir ...
"Yusuf sudah bangun? Lalu bagaimana?"
"Yusuf sudah bangun? Lalu bagaimana?"
Suara Ibu di seberang telepon terdengar menggerutu. Kenapa setiap orang membawa ego masing-masing? Ayolah. Aku berusaha mengendalikan diri.
"Kak Yusuf masih harus menstabilkan raga, emosi dan pikiran, Bu. Jangan terburu."
"Ada kemungkinan dia akan menikahi kamu?"
Astaghfirullah! Rasanya aku ingin kembali menangis. Dadaku sesak. Dunia semakin sempit rasanya. Aku butuh ruang bernapas.
"Ibu akan ke kota, ingin melihat lebih jelas semua."
Mendengar dering telepon, tersadar aku dari lamunan. Ibu.
Mendengar dering telepon, tersadar aku dari lamunan. Ibu.
"Assalamualaikum ... iya, Bu? Kapan sampainya? Kok enggak bilang? Ya Allah. Ibu sama Ayah doang?"
Membenarkan kerudung, aku bergegas meninggalkan musala rumah sakit. Gawai masih menempel di telinga. Tak berapa lama, panggilan dengan ibu terputus.
Tapi telepon langsung berdering kembali. Kali ini dari Ali. Saat-saat menegangkan seperti ini, setidaknya Ali jangan menampakkan diri. Perasaan sungguh tidak enak.
Mengabaikan panggilan Ali. Aku lanjut berjalan mencari lift. Menuju lantai kamar kak Yusuf.
Maaf Ali, tidak sekarang.
Perlahan aku mengetuk pintu kamar rawat kak Yusuf, seraya mengucapkan salam aku masuk.
Melihat wajah-wajah senyum terpaksa mereka satu persatu. Sedang Ibu, sungguh ... dinding ini kalah jauh jika dibandingkan datarnya wajah Ibu.
Aku ... melemah.
Di ruang berisikan Ayah, Ibu, Umi, aku dan Kak Yusuf, kami mengobrolkan hal-hal yang kaku. Entah apa yang terjadi sebelum aku datang ke mari. Seperti ada satu hal membuat Ibu marah.
"Sudah sore, belum ashar pula. Mungkin sebaiknya kami pamit," cetus Ayah tersenyum ramah. Berbasa-basi sedikit lagi, kami kemudian pergi meninggalkan Umi dan kak Yusuf.
Ibu tidak mengatakan apapun. Ayah pun juga. Setidaknya ayah tidak terlihat setertekan Ibu.
Tanganku hendak menekan layar ponsel, membuka aplikasi jasa kendaraan online. Tapi gerakan terhenti ketika tanpa sengaja mata menangkap sosok berkaki panjang itu melangkahkan kakinya di lorong rumah sakit. Tubuh tegapnya berjalan penuh wibawa.
Setiap mata tertuju pada dia. Pengunjung lain rumah sakit, perawat, termasuk Ayah dan Ibu, ketika sosoknya semakin dekat ke tempat kami berdiri.
Dengan sopan dia mengucap salam. Ayah dan Ibu menyahut, mereka saling berpandangan. Juga menatapku lama. Sorot-sorot mata penuh penasaran.
"Saya Ali, Om ... Tante. Teman mbak Nura." Ali mengulurkan tangan berjemari lentiknya pada ayah. Lalu menangkup tangan ke depan dada ke arah Ibu.
Mata ibu berbinar. Senyum yang tak kulihat sejak tadi, kini merekah di bibirnya.
Kepalaku pusing. Entah harus berbuat apa. Kenapa dia selalu muncul secara tak terduga? Di waktu yang tidak aku inginkan?
Kepalaku pusing. Entah harus berbuat apa. Kenapa dia selalu muncul secara tak terduga? Di waktu yang tidak aku inginkan?
Ya Allah, kenapa menghadirkan dia? Kenapa bukan kak Yusuf saja?
Aku harus apa?
Wajah mereka menunjukkan raut penuh harap. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 9
- Bersambung -