Sebuah Memo | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 6
217 hari sebelumnya....
Sebuah pusara menjadi alasan kembali ke Indonesia. Tak ada sebab lain untuk berlama-lama, selain demi melepas rindu atas satu masa yang tak bisa kembali terjamah. Melepas masa remaja, ia putuskan terbang ke salah satu negara industri terbesar di dunia, Inggris. Lima tahun lebih beberapa bulan kemudian, pencapaian terakhirnya adalah gelar MBA lewat salah satu institusi tertua, London Business University.
Usai bernostalgia dengan luka ia segera memesan tiket untuk keberangkatan malam, meninggalkan tanah air, tak sabar menjajahi berbagai peluang profesi di pijakan yang penuh pilar-pilar menawan di Eropa. Sisanya karena merasa muak jika harus berlama-lama menghirup fakta-fakta yang menyesakkan dada.
Tapi Dokter Haikal malah berencana merusak semuanya, segala cara Dokter Haikal lakukan agar anak itu berhenti mengadu nasib di negeri orang. Dan mulai menyadari bahwa ia lebih berharga untuk tinggal di tanah kelahirannya sendiri.
“Ini sangat mendadak, Om. Barang-barang, bahkan saya belum mengucap salam perpisahan sama keluarga baru saya yang ada di sana. Saya bilang Cuma pulang ke Indonesia sebentar, lalu kembali ke mereka. Ada projek besar yang sudah mantap untuk saya jalankan.”
“Halah! Apa itu. Di tanahmu sendiri ini, kamu bisa jadi Bos Besar yang tinggal mengatur ini-itu, repot sekali di negara orang Cuma jadi pesuruh. Kamu mau posisi itu nantinya dikuasai sama adik tirimu?” Dokter yang rambutnya sudah memutih semua itu memberi jeda, “Apa saya bukan keluarga kamu, Ali? Tidak ingin kamu dekat dengan saya di sini?”
Lidah Ali berdecak, ia menyadari Dokter Haikal begitu menyayanginya, kasih sayang itu lebih kentara dari pada ayahnya sendiri. Selama menjajaki bangku perkuliahan di London, Dokter Haikal yang selalu memberi dia semangat dan dukungan. Selalu menelepon dan menanyakan kabar duluan. Sepertinya bukan hanya karena Dokter Haikal tak punya anak laki-laki, pria bertubuh mungil itu memang menyayangi Ali setulus hati.
“Begini saja, Om. Saya tetap kembali ke London malam ini. Mengambil barang-barang yang saya perlukan, setelah mengurus beberapa hal saya akan langsung kembali ke tanah tercinta ini.” Ujar Ali dengan mantap.
Dokter Haikal tersenyum, senyum kian melebar merasa senang. Diusapnya kepala Ali dengan lembut, matanya berkaca-kaca. Tak perlu lagi dia memendam kerinduan, tak lama lagi ia bisa setiap saat berbagi cerita dan banyak hal, melakukan perdebatan-perdebatan dengan anak berotak encer itu. Hati Ali agak ngilu melihat wajah Dokter Haikal, ekspresi yang tak pernah ia temukan pada wajah sang ayah.
“Hei Nura, buru-buru sekali?” pekik Dokter Haikal mendapati seorang wanita keluar dari lift dan berjalan di lobi tergesa-gesa.
Ali ikut memperhatikan, alisnya terangkat sebelah. Wajah yang sangat ia kenali, meski lupa siapa namanya. Wanita yang pernah mengiba di hadapan Steve setelah kecelakaan mobil yang ia alami bersama sang ibu dulu.
“Iya Dokter, saya harus ke Lampung malam ini. Urusan pekerjaan. ” Wanita itu melirik jam mungil yang melingkari pergelangan tangannya, pukul enam sore. Dokter Haikal membulatkan bibir. Si wanita tersenyum, “titip kak Yusuf, Dokter.”
Tanpa banyak berbasa-basi ia langsung meninggalkan rumah sakit dengan taksi. Meninggalkan laki-laki yang tanpa dia sadari mengekori kepergiannya.
“Yusuf?”
Dokter Haikal mengangguk. “Laki-laki itu belum sadar dari koma, dan Nura selalu bertahan menemaninya. Luar biasa, pedahal calon istri Yusuf sendiri meninggalkan dia dan sudah menikah dengan orang lain. Enam tahun lebih dia tetap menunggu Yusuf, tak perduli orang-orang memandang statusnya sebelah mata. Kata ibunya, Nura dikatai perawan tua.”
Ali mengerutkan dahi. “Aneh.”
Dokter Haikal tertawa, “Cinta itu memang aneh, Li. Kelak kamu akan merasakan sendiri keanehannya.”
***
97 hari sebelumnya....
Polemik yang terjadi di perusahaan mengharuskan Steve menitipkan Ali di kantor akuntan publik yang biasa menganalisis keuangan perusahaan mereka. Penempatan Ali pun secara khusus sebagai junior auditor untuk perusahaannya sendiri.
Tak ada yang tahu bahwa anak muda itu bakal jadi calon penerusnya. Kecuali Marcell si pemilik kantor. Yang memang rekan akrab Steve.
Tak ada yang tahu bahwa anak muda itu bakal jadi calon penerusnya. Kecuali Marcell si pemilik kantor. Yang memang rekan akrab Steve.
Dan Ali menganggap ini sebagai ketentuan Tuhan, ketika dirinya bisa dipertemukan lagi dengan wanita yang sempat membuatnya penasaran. Dari jauh sesekali ia mengamati dalam diam, cara wanita itu bercengkrama dan menyelesaikan persoalan pekerjaan. Diam-diam ia juga menyimpulkan seperti apa Nura di mata orang-orang.
“Mas Ali ini katanya punya gelar MBA ya? Kok lari ke KAP sih?”
“Wah beneran? Masih muda udah dapet gelar MBA, ya? Dari mana?”
Ada garis senyum dipaksakan pada wajah Ali, ketika beberapa rekan kerja wanita mengusik ketenangannya di jam makan siang. Ini adalah sesuatu yang baru bagi Ali. Ia harus mulai belajar untuk berbagi dengan siapa saja dan membuka diri. Tapi ia yakin ini untuk sementara, selanjutnya tak perlu lagi dia banyak-banyak bersandiwara.
“Alhamdulillah, ada rezeki saya bisa kuliah di luar negeri. Saya anggap tempat ini sebagai wadah untuk mempertajam skill sebelum memasuki level yang lebih tinggi.”
“Hm ... Seperti jadi batu loncatan, ya?”
Ali mengangguk. Berharap dua wanita didepannya tak akan mengorek informasi apapun lagi.
“Keren, ya! Mas Ali belum menikah 'kan? Sudah punya pacar?”
Akhirnya Ali hanya tertawa, pertanyaan itu memang sudah biasa. Pemuda yang suka mengenakan jaket kulit itu menggelengkan kepala. Membuat mata dua wanita didepannya berbinar.
“Oh iya, mbak berdua mengenal mbak Nura?”
Salah satu wanita dengan semangat menjawab, “tentulah! Selain sebagai senior auditor, dia 'kan artis kantor kita.”
“Maksudnya?” tanya Ali ditengah kegiatan mengunyah makanannya.
“Mbak Nura sering terlibat masalah pribadi tapi terbawa-bawa sampai ke kantor, pernah beberapa kali kena labrak istri klien karena dikira pelakor, digosipin LGBT karna suka nolak cowok mentah-mentah, terakhir ... desas-desusnya Mbak Nura punya masalalu yang bikin dia parno sama laki-laki.”
Jawaban itu membuat Ali berhenti sebentar, tak berselera makan lagi. Dia meletakkan sendoknya, menenggak air berulang kali. Nura memang aneh, dia seperti pasrah saja atas semua yang menimpa dirinya karena status perawan tua itu. Dan anehnya, justru Ali yang merasa tak terima wanita itu bertahan dalam kebodohannya. Ya. Ali benci betapa tidak realistisnya Nura melihat kenyataan. Bertahun-tahun larut dalam harapan yang tak berujung pasti.
***
7 hari sebelumnya....
Nura hanya wanita biasa, sekilas jika mata memandang. Tidak sejenius Lisa anak bungsu Dokter Haikal – si gadis penguntit yang suka ikut campur, secantik putri kerabat orang tuanya, atau semenawan wanita-wanita Eropa yang pernah dekat dengannya.
Awalnya karena rasa penasaran pada sosok si wanita setia dan iri pada Yusuf meski lelaki itu kini tak berdaya. Tapi ada sesuatu tak bisa ia hentikan dengan logika, ketika simpati itu membuat Ali ingin mengenal lebih jauh siapa Nura. Hingga ketika keadaan membuat Ali ingin meninggalkan rumah, ia memutuskan mencari tempat tinggal yang sama dengan Nura.
Kesempatan belum berpihak padanya, berbulan-bulan Nura tak juga menyadari keberadaan Ali.
Kesempatan belum berpihak padanya, berbulan-bulan Nura tak juga menyadari keberadaan Ali.
Hingga malam itu tiba, malam yang bisa jadi petaka bagi Nura. Jika telinga Ali yang jeli gagal menangkap suara jeritannya. Ia kira tinggal dia seorang di kantor. Ternyata masih ada Nura, yang ketika ditemukan dalam keadaan didekap secara paksa oleh si bos jalang.
Emosi Ali tersulut, kebetulan sudah lama kepal tinjunya tak menyentuh wajah orang.
Buk! Buk!
Beberapa pukulan berhasil membuat lelaki itu tumbang.
Matanya mengamati air muka Nura, pandangan kosong itu tak boleh ia biarkan. Maka sejak malam itu Ali percaya, keadaan takkan lagi sama. Pelan-pelan pemuda itu ingin membuat Nura merasa percaya bahwa Ali bisa melindungi wanita itu kemudian membuatnya perlahan berpaling dari Yusuf.
Dosakah dia? Aneh. Cinta memang aneh.
Dosakah dia? Aneh. Cinta memang aneh.
Entahlah, Ali belum bisa mendeteksi dengan jelas perasaan yang mengisi hatinya.
Tapi tak ingin juga menunggu lama-lama, jika hanya memperhatikan Nura dari kejauhan. Dan sekarang dia mencoba membaca peluang, bisakah posisi kosong itu diisi oleh nya? | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 6
"Sebenarnya apa alasan Mbak bertahan mencintai laki-laki itu?"
- Bersambung -