Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 5

“Kamu belum jawab, dimana kecelakaan itu terjadi?” | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 5

Si pemuda terhenyak, mulutnya terbuka sebentar namun terkatup kembali. Terlihat memikirkan sesuatu. Tapi beraut wajah tetap tenang.

“Jangan-jangan, kamu....?! Sekali lagi saya tanya, apa sebelumnya kamu mengenal saya, Ali?!”

“Ya! Saya memang sudah mengenal Mbak jauh sebelum kita bertemu di kantor dan apartemen.”

Napas Nura tercekat, kaget dengan jawaban pemuda di depannya. Selaput kaca menggenang di pelupuk mata. Bibirnya bergetar. “Kamu ... anak wanita itu? Kamu remaja yang ada dalam mobil itu? Selama ini kamu senagaja mendekati saya? Kenapa?!”

“Kak Ali!”

Kaki jenjang beralas sepatu hak setinggi 5 sentimeter menyentak lantai tergesa-gesa. Dalam balutan gaun bahan broket sepanjang lutut, ia tampak menawan. Rambut gelombang panjangnya yang pirang dibiarkan tergerai. Lentik jemarinya mengerat pada sebuah pouch, jika ditaksir berharga cukup mahal. Bibir sensual berpoles warna semerah darah kembali meneriakkan satu nama.

“Kak Ali!” Dia berhenti di satu meja berhuni dua orang dewasa.

Lelaki yang merasa namanya disebut memutar bola mata, menghela napas menahan jengah. Suara baritonnya memecah sunyi yang sempat tercipta karena kemunculan si gadis rupawan. “Ada apa?”

“Lisa hubungi kakak berulang kali! Sengaja mengabaikan, ya?!” bibirnya mengerucut, sepasang mata bulat miliknya melirik ke wanita bersama sang pujaan. “Dan lebih memilih berduaan sama tente ini?! Si penyebab kakak kehilangan pekerjaan?!”

“Jaga bicara kamu. Dari mana tahu saya di sini?” Ali kesal, gadis cerdas bernama Lisa yang suka menguntit kehidupannya ini selalu bisa tahu segalanya, bahkan kehidupan pribadi Ali. Entah dari mana. Sebenarnya tidak jauh beda dengan Ali sendiri.

“Kak Ali, Om Steve masuk rumah sakit, kondisinya memburuk!” Lisa mengalihkan pembicaraan. Pernyataan terakhirnya sukses membuat terkejut. Tapi ada keraguan dalam hati Ali agar bergegas menemui ayahnya itu. Malas berurusan dengan pelbagai kemungkinan yang tidak dia sukai.

Ali memandang wajah wanita berhijab di depannya, telapak tangan wanita itu menyeka air mata. Nura bangkit dari kursi sambil merogoh isi tas dan mengambil selembar uang dari dompet, di selipkan ke bawah gelas di atas meja.

“Saya tidak tahu apa rencana kamu sebenarnya, setelah ini kita selesaikan. Temui ayah kamu, si tuan besar bernama Steve itu!” Nura berjalan pelan meninggalkan kantin, tangannya mengepal menekan dada, merasa sakit.

Ali tertegun di tempat, sorot matanya mendadak kosong. Tak terlihat perasaan berkecamuk di dalam sana. Tanpa melirik wajah Lisa, ia bangkit dan mengeluarkan ponsel. Mencari kontak nama, lalu menekan tombol panggil.

“Papi di ruangan mana, Om?”

 “A-Ali....” sebelah tangan besar berbungkus kulit mengeriput terangkat hendak menggapai lelaki di sampingnya. Semula putranya itu diam, melirik dokter yang kini tersenyum dengan air muka terharu. Ia lantas mendekat dan memeluk tubuh sang ayah.

“Papi istirahat ya, Ali di sini.” Ali berbisik di telinga Steve.

Ketika sang ayah mulai terlelap, Ali keluar bersama sang dokter. Meninggalkan ruangan yang kini jadi kamar sementara Steve, pria belasteran itu terpaksa di rawat karena bermasalah dengan pembuluh darah di sekitar otak.

“Syukurlah, Mami kira kamu menolak menjenguk Papi.” Seorang wanita muncul tepat ketika Ali menutup pintu ruang ICU.

“Kapan kamu akan kembali kerumah, sayang?”

“Jangan sok manis.” Nada Ali terdengar menusuk. Membuat wanita yang memasuki usia kepala lima itu tertawa sumbang. Ali berdecih. “Saya akan kembali ke rumah itu setelah berhasil menyingkirkan kalian.”

“Ali....” Dokter Haikal sedari tadi menyaksikan ketegangan antara anak dan ibu tiri itu, merasa canggung. Menggenggam bahu Ali dan membawa anak itu pergi dari sana.

“Om terlalu berlebihan mengabarkan kondisi Papi.” Gumam Ali.

“Saya kehabisan akal, buktinya kamu muncul juga. Steve merindukan kamu, selalu berharap kamu dapat berdiri di sampingnya, memberi kekuatan dan dukungan. Harapannya begitu besar terhadap kamu.”

“Bukannya ada anak dari wanita itu? Saya yakin wanita itu akan berusaha mati-matian demi mendapat kekayaan.”

Dokter Haikal menghela napas berat. “Kamu akan biarkan semua itu terjadi?! Kamu ingin membuat Mami kamu semakin tersiksa di sana? Melihat anaknya tumbuh menjadi pria tak berguna?!”

Ali diam menanggapi. Mereka duduk di salah satu kursi tunggu. Ali mengamati lorong rumah sakit yang tenang dan damai namun berisi banyak kenangan ia benci. Memorinya berputar, pada sosok almarhumah wanita gemulai yang begitu dia rindukan.

“Mi, kenapa kita malah pergi? Seharusnya perempuan sialan itu kita tendang dari rumah!”

Wanita cantik di balik kemudi tak menghiraukan anak semata wayangnya. Air mata terus mengalir, tanpa suara. Caranya luar biasa untuk dapat bertahan selama ini. Tanpa ada yang tahu ia memendam rasa sakit atas pengkhianatan itu seorang diri.

“Sekarang kita mau kemana? Mi, biar Ali yang nyetir.” Mami menyetir dalam kecepatan normal, sorot mata jelas menunjukkan pikirannya sedang kemana-mana, jauh dari kata fokus. Ali merasa ngeri tak ingin ambil resiko jika Mami dibiarkan terus menyetir.

Wanita itu tetap diam, telinganya seperti tak lagi dapat mendengar. Pikirannya melayang pada setiap momen palsu yang diciptakan sang suami, juga wanita jahat yang tanpa tahu malu berbangga diri karena berhasil merayu lelakinya. Hatinya teriris-iris perih. Dia menangis. Tanpa suara, karena memang nasibnya sejak dulu. Bibir mungil itu tak pernah dapat mengucap sepatah kata. Dia bisu. Steve menikahinya hanya demi status yang ia miliki, sebagai pewaris tunggal setiap bisnis dan kekayaan kakek Ali.

Bola mata wanita itu membelalak, wajah menegang. Sebuah sepeda motor melaju menerobos lampu merah dari arah kanan. Panik. Bukan menginjak rem, kakinya justru menginjak gas. Banting setir ke kiri berharap sempat menghindar.

BRAAK! Terlambat!

Mobil dan sepeda motor saling adu kepala. Mobil di hentak terlalu keras hingga terbalik. Sunyi. Seolah tak mampu menangkap suara apa-apa. Ali mengerang, tubuhnya gemetar menahan sakit, pecahan kaca menyayat kepala, darah mengalir. Perlahan ia memutar wajah ke kanan. Jantungnya seperti di tombak berulang kali, ada perasaan lebih menyakitkan dari luka di kepalanya. Napas Ali tersenggal, dia hendak menangis meneriakkan sang Ibu. Tapi kemudian semua gelap.

“Saya mohon jangan membawa permasalahan ini ke meja hijau, Pak. Sekarang Yusuf juga sedang tidak sadarkan diri, kondisinya buruk. Bagaimana Anda bisa membuat tuntutan?! Kalaupun dia sadar nanti, ada banyak bagian dari tubuhnya yang juga jadi tidak normal. Semua ikut menderita akibat kecelakaan itu.” seorang wanita usia dua puluhan mengiba di depan muka Steve.

Tongkat jalan menyempil di ketiak kiri Ali. Dengan langkah kaki terpincang-pincang dan wajah geram, dia mendekat ke tempat perdebatan sang ayah yang tak pernah mengunjunginya sudah berhari-hari.

“Brengsek!” Ali bernafsu untuk menerkam lelaki bertubuh besar itu, kedua tangannya mencengkeram kerah baju Steve. Tongkatnya terlepas, Ali hampir terjatuh. Tangannya semakin erat seperti hendak mencekik.

“Astaghfirullah! Ali! Istighfar, nak.” | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 5

Dokter Haikal berlari buru-buru menarik Ali sebelum lepas kendali menghajar ayahnya sendiri. Ali memberontak, berteriak mengeluarkan serapah kebencian. Kaki kanannya tetap menendang-nendang berharap tendangan itu sampai mengenai tubuh Steve.

Kenyataannya semua hanya sampai di situ. Ali tak bisa berbuat apa-apa, dengan dingin Steve berbalik badan meninggalkan si buah hati yang kini menyala bagai api.

Bahu Ali gemetar menahan geram, kemudian tangisan pecah. Urat-urat lehernya bermunculan ketika suaranya di paksa menggema meneriakkan seruan.

“Mami....!”

 “Ali ... nak!” Dokter Haikal menepuk paha Ali, membuat lelaki itu tersadar. Dia bangkit dari sandaran. Teringat pada seseorang yang harus ia temui.

“Om ... Saya harus pergi,”

“Ali....” suara lembut dari balik punggungnya sontak membuat Ali terkesiap. Pandangan yang semula kuyu kini tampak lebih bernyawa. Ali berbalik badan, sosok yang meninggalkannya beberapa jam lalu kini berdiri tepat di hadapan. Menundukkan wajah.

“Baru Om mau bilang Nura di sini. Dia nyamperin duluan.” Dokter Haikal berjinjit berbisik di telinga Ali yang jauh lebih tinggi. Matanya mengerling jahil.

“Dokter Haikal sepertinya dekat sekali dengan Ali.” Nura tersenyum.

“Dia ini sudah seperti anak sendiri. Ayahnya teman saya semasa kuliah.” Jawab sang dokter merangkul bahu Ali. “Wajah kalian kaku sekali, kebanyakan minum es ya? Haha! Ya sudah, supaya tidak mengganggu. Saya permisi.” Lanjutnya membenarkan jas kerja kemudian beranjak dari sana.

Nura mengenal Dokter Haikal dengan baik, tujuh tahun Yusuf di rawat di rumah sakit. Dokter Haikal memperlakukan mereka seperti keluarga sendiri. Dan ia baru tahu, Dokter Haikal ternyata kerabat dekat keluarga Ali, Steve yang dulu sempat menuntut Yusuf, adalah teman seperjuangan Dokter Haikal. Tuntutan Steve dicabut, melihat seiring berlalunya waktu Yusuf tak juga membuka matanya.Di sisi lain sang anak kesayangan justru melimpahkan kebencian pada dirinya. Di mata Ali, Steve adalah pembunuh yang sebenarnya.

“Bagaimana keadaan Pak Steve?” tanya Nura mengambil tempat duduk di kursi tunggu. Ia masih ingat wajah lelaki itu meski bertahun-tahun mereka tak pernah lagi bertemu. Tapi dia sempat tak ingat sedikitpun tentang Ali, anak SMA yang terperangkap dalam kecelakaan mobil, anak yang hampir memukuli ayahnya sendiri.

Hari ini, setelah merenung cukup lama di samping ranjang Yusuf, ingatan itu kembali. Ada perasaan bersalah menjalari hati, Ali si anak malang yang kehilangan ibunya karena kecelakaan mobil. Sedangkan ayahnya tampak tidak perduli. Dan sekarang anak itu sudah dewasa, membawa rasa trauma.

Setelah berpikir cukup lama, ia berencana menemui Ali. Memperbaiki keadaan dan berusaha bijaksana. Semua harus diperjelas, termasuk alasan Ali muncul tiba-tiba ke dalam hidup Nura. Nura sempat khawatir. Apa mungkin Ali masih ingin membalaskan rasa benci atas penderitaannya?

“Saya ingat siapa kamu, saya rasa kamu sengaja muncul ke kehidupan saya. Kenapa Ali? Kamu ingin membalaskan penderitaan?” suara Nura begitu lirih. Tak berani menatap lelaki yang ikut duduk agak jauh di sampingnya, memberi jarak.

“Saya tahu ... dalam kejadian bertahun-tahun lalu kak Yusuf memang salah, lalu bagaimana cara untuk menebus kesalahan kak Yusuf?”

Ali tertawa sumbang. Tubuhnya condong ke depan, telapak tangan di atas paha menopang dagu. Ia melirik wanita yang wajahnya dipenuhi rasa bersalah.

“Yusuf itu suami, mbak? Tunangan? Abang? Saudara sedarah? Kenapa dia begitu istimewa di mata, mbak?”

Alis Nura bertautan, agak bingung karena pembicaraan justru lari ke arah lain. “Kenapa kamu malah menanyakan itu?”

Ali menarik napas, suaranya terdengar kecewa. “Kenapa para pembunuh itu malah bernasib untung? Papi bahagia dengan kehidupan barunya, Yusuf mendapatkan ketulusan dari seorang wanita luar biasa. Tidak adil.”

“M-maksud kamu?”

"Saya mau tanya apa alasan Mbak bertahan mencintai laki-laki itu?"

Jantung Nura serasa berhenti berdetak, otaknya lumpuh. Mendadak terhipnotis mata elang lelaki muda yang tengah mencoba menelisik perasaannya. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 5

- Bersambung -