Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah Part 2

Dari cinta, hati bisa terluka kapan saja. Bisa ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Bisa juga ditinggal nikah sama mantan tercinta. | Cerpen Kehidupan Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah Part 2

Bayangkan betapa sakitnya?

========

"Lu, Tong. Tiap hari mikirin jodoh, lupa lu kalo yang deket ntu mati?" Ustadz Jev mengunyah pisang goreng.

"Saya ingin menjadi yang lebih baik, biar jodoh saya juga baik, Ustadz."

"Heh, Ale!" Ustadz Jev mengibaskan sorbannya pada bahuku, "niatan lu salah!"

"Loh, kenapa disalahkan, Pak Ustadz?"

"La iya, atuh. Emang bener, lelaki yang baik akan dipasangkan dengan wanita yang baik pula, begitu sebaliknya."

"Jadi?" Tanyaku.

"Gini dah, kalo lu demen sama cewek, bikin Allah jatuh cinta sama elu, rayu. Tapi, elunya kudu jatuh cinta lebih dulu sama Allah. Karena sebaik-baik cinta ya Allah semata."

Aku manggut-manggut.

"Tikung di sepertiga malam, sebut dalam do'a demenan lu ntu. Tapi sebelum lari ke soal cinta, tobat nasuha duluin."

"Iya, Tad,"

"Ngopi ngapa ngopi, kendorin, tegang amat lu, Tong."

Aku sedikit menjauh karena cipratan air dan sisa gorengan dari mulut Ustadz Jev loncat pada wajahku. Yup, tertawa sambil ngunyah itu kurang baik, terutama kalo lagi ada orang di depannya. Ya jadi korban semburan kita.

"Lu mesti tau, Le. Model kaya elu, yang gak jauh dari ketampanan gue jaman muda dulu. Itu gampang cari cewek, apalagi kalo kita paham agama. Beuh ... dikejar-kejar."

"Dikejar apaan, Tad?"

"Dikejar wanita berkonde!" Celetuk Ustadz Jev.

"Hah?"

"La kira-kira aja lu, Tong. Ya wanita berhijab, Le!"

Aku manggut-manggut lagi.

"Dimakan tuh," Ustadz Jev mengedikkan dagu ke arah goreng pisang.

Kuraih satu gorengan itu.

"Heh!"

Aku mengernyit, tanganku dikeperet tangan Ustadz Jev yang lumayan tebal.

"Lah, katanya suruh dimakan, Tad?"

"Ya tapi kaga pake tangan kiri juga, Ale ... Ale .... " Ustadz Jev menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Oh, iya ... iya."

"Menurut gue, lu kudu misah rumah dulu, Le."

"Pisah rumah?" Tanyaku.

"La iya, masa pisah ranjang." Ustadz Jev terkekeh.

"Memang kenapa, Tad?"

"Biar makanan lu gak kecampur makanan yang gak halal. Nah, di rumah lu juga pan ada guguk, Le."

"Jadi saya harus nge-kos kali ya, Tad?"

"Ya ... kalo mau tinggal di sini juga gak apa, Le. Asal perbulannya lima juta aja, haha ..."

Ustadz Jev tertawa, sementara aku? Ikut menarik bibir ke kanan dan kiri. Merasakan kehangatan sosok orang tua yang beberapa waktu ini hilang begitu saja di kehidupanku.

===

Bukan Tuhan kita yang tak sama, hanya saja cara kita yang berbeda menanggapi Tuhan itu seperti apa dan dalam bentuk apa. Yang kutahu, Tuhanku satu, dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Dia Dzat, bukan makhluk, bukan benda apalagi binatang.

Sebenarnya tanpa kita tahu, kita adalah sama-sama manusia yang memiliki satu Tuhan yang sama. Hanya saja, cara kita yang beda menjalankan perannya sebagai hamba.

Ya, selama seminggu belajar dengan Ustadz Jev. Itulah yang berhasil meyakiniku bahwa, sebenar-benar Agama adalah Islam. Mengingat itu hatiku sakit lagi. Terlalu sakit hingga tak bisa dijelaskan dengan cara apapun.

Berawal dari Ibuku yang dengan nekad menjadi seorang mualaf. Meski sembunyi-sembunyi dan hanya aku yang tau. Bahkan beliau sudah bercadar, anggun, berkali lipat cantiknya. Itu yang kulihat. Sebelum Ibu meninggal setelah enam bulan mendalami agama, beliau memberikan kartu nama. Ustadz Jev Pamungkas. Ya, yang kini juga telah menjadi guruku.

Kuakui, aku mengikuti jejak Ibu hanya karena titah. Bukan gerakan hati, pikirku belum sejauh itu tentang kepercayaan yang harus aku pilih. Tapi karena sadar juga bahwa Serla kekasihku dulu adalah seorang muslim. Semenjak itu, aku menjalankan tugas sebagaimana orang muslim biasanya.

Sekali lagi karena lingkungan, tak ada yang mendukung selain pesan almarhumah ibu. Beragam kepercayaan berada di rumahku. Banyaknya keyakinan, hanya aku saja yang Islam. Itulah yang membuatku malas solat, ngaji, apalagi puasa.

Ah, terlalu rumit. Membuatku kadang menyesal, kenapa harus terlahir dari keluarga heterogen. Astagfirullah.

Kupejamkan mata, yang kuyakini bisa menenangkan. Mencari-cari sesuatu ketenangan yang belum kugapai, entah di mana? Entah seperti apa? Entahlah! Tapi hatiku kosong menginginkan hal demikian. Tapi apa? Apa? Aku tidak tau apa-apa.

"Di sini, nih!"

Brugh.

Bahuku bertabrakan dengan punggung seseorang. Ia memasang wajah kesalnya, sementara aku menatap ia seksama. Sedetik kemudian aku memaksakan senyuman. Wanita ini lagi.

"Di sini ada orang, Mbak. Tempat selfi di sini luas, tuh sana, atau ... itu tuh," kataku masih menyunggingkan senyuman kelewat malasku.

"Heh, Mas!" Alis wanita itu bertautan, wajahnya sudah tidak bersahabat, "emang Pantai ini udah di beli sama, Mas?! Sama-sama ngontrak setengah hari seratus ribuan aja sok-sokan!" Celetuknya sambil memamerkan keindahan wajah galaknya. | Cerpen Kehidupan Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah Part 2

Sekali lagi aku terpaksa tersenyum, "wanita selalu benar," kataku lalu meninggalkan wanita itu yang kudengar masih mengomel di belakang. Dan aku berpapasan dengan seseorang yang kutahu adalah tukang foto atau mungkin kekasih si wanita jutek tadi.

Aku memilih duduk di bibir Pantai setelah tempat yang kuanggap akan memberi ketenangan telah direbut oleh seseorang. Ya, sekarang aku sedang berada di pantai. Orang menyebutnya ini adalah Bali kedua ujung kulon, Anyer namanya. Memilih liburan sendiri kupikir hal menyenangkan.

Seketika kurasa tanganku menyentuh benda, entah apa. Kuangkat tanganku setinggi wajah yang sudah menggenggam ID card. Anin Nersa Aries, begitu namanya. Ini adalah ID card kerja sesuai dengan keterangannya. Menariknya, wajah yang tercetak di kartu ini adalah wajah yang sama dengan orang keras kepala tadi. Entah ini kebetulan atau apa?

Kuperhatikan kegiatan wanita yang berada beberapa meter dari tempatku. Mungkin ini jatuh dari ransel mungil yang ia pakai di punggungnya tadi atau memang lepas dari tangan atau apa aku tidak tau. Tapi ID card ini cukup penting untuk bisa masuk ke Mall macam karyawan seperti dia.

Tiba-tiba saja tanganku meraih smartphone lalu memotret kartu nama ini. Entah apa untungnya bagiku. Aku menyunggingkan senyum melihat kartu yang kupegang ini dan wanita di depan sana. Bangkit, dan berjalan meninggalkan Pantai.

=====

Kamu tahu hal menyakitkan selain patah hati? Ditinggal nikah pas lagi sayang-sayangnya. Berpacaran sejak bangku SMA ternyata tidak menjamin bahwa Serla adalah jodohku. Ikhlas? Entah.

"Ini keputusan dua belah pihak keluarga, Le," Arfa Sugiarto, sahabatku mulai berbicara.

"Kami minta maaf," kudengar suara Serla menimpali.

Sementara aku, belum sudi menatap kedua orang ini. Membuang wajah ke arah lain, daripada melihat sepasang calon pengantin. Ya, mantan dan sahabatku, kurang sakit apa hati ini?

"Le, demi Allah tidak ada niat mengkhianati," lagi, suara Arfa mencoba meyakinkanku.

"Kami hanya tidak ingin menjadi anak durhaka, Le," tambah Serla.

"Tidak berniat menghkianati dan tidak ingin dilaknat Allah karena menolak permintaan orang tua, begitu?" Kali ini aku menatap Arfa dan Serla bergantian.

Arfa membalas tatapku, sementara Serla menunduk. "Lalu bagaimana dengan perasaanku?" Tak sadar aku mengetuk-ngetuk dada sendiri.

"Maaf .... " Lirih Serla.

"Maafmu tidak akan menyembuhkan luka, La," kataku menatap dalam wajahnya yang terus menunduk.

"Jangan terlalu menyalahkan Serla, Le,"

"Tau apa kamu tentang sakitku, Fa?" Tukasku.

"Aku paham-"

"Paham tentang penderitaan yang akan aku alami ketika kalian bersanding nanti?" Sanggahku, "omong kosong!"

"Baiknya kamu dengarkan kami dulu, Le," Serla mengangkat wajahnya.

"Kumohon dengarkan, sebentar," kata Arfa.

Kupalingkan wajah, terserah mereka mau bilang apa. Aku muak, sakit, sakit sekali rasanya.

"Kami sudah dijodohkan sejak dulu, Le .... " Terdengar suara Serla gemetar. "Ketika Bapakku memiliki hutang pada Kakek Arfa, jumlahnya yang besar tidak sanggup kami bayar. Melihatku, Kakek Arfa melunaskan semua hutang asalkan aku menjadi istri cucunya, ya, itu Arfa."

Aku memejamkan mata ketika kutahu Serla menangis. Aku tahu masih ada cinta Serla untukku, ya cintanya masih bisa kulihat dari caranya bicara, menatap, dan menangis menyesali perjodohan ini.

"Berapa hutangnya?" Kutanya.

Serla menggeleng, "sekalipun kamu sanggup membayar, semua terlambat, Le. Perjanjian itu sudah di tanda tangani di atas materai sepuluh tahun lalu, tidak bisa diganggu gugat lagi. Karena Bapak juga Kakek Arfa telah tiada."

"Kenapa dulu kamu gak bilang, Serla?!"

"Apa kamu pikir aku tahu? Enggak, Ale! Demi Allah aku dan Arfa tidak tahu sama sekali,"

Aku menatap mata Serla, tak tahan melihat ia menangis seperti ini. Tanganku gatal ingin menghapus air matanya, tapi sekarang? Aku bisa apa selain diam.

"Le ... ikhlaskan Serla untukku, ya? Ikhlaskan Serla,"

Aku tertohok, kutelan saliva, dadaku bergemuruh sakit. Kudengar Serla terisak, ya Allah.

"Tolong ikhlaskan pernikahan kami," kata Arfa lagi.

Aku geming, tak berani berkata apa-apa. Selain menikmati sakit yang teramat sakit, apa yang terbaik selain merelakan?

"Menikahlah, aku ikhlas .... " Kataku sebelum beranjak.

"Terimakasih, Le."

Masih kudengar samar suara Serla.

Selamat tinggal, La. Selamat tinggal, biarkan aku menuntut hati agar tau diri. Bahwasanya jodoh itu sudah suratan takdir illahi. | Cerpen Kehidupan Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah Part 2

- Bersambung -