Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah

Dari cinta, hidup tak akan terasa hampa. | Cerpen Kehidupan Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah 

Dari cinta juga perasaan tulus bisa dibalas luka. Menyakiti jiwa, menyesakkan dada, lalu menyatu dengan derita yang bernama duka.

"Maaf!" Serla menundukkan kepala, memperhatikan kedua kaki dengan tatapan kosongnya.

Ale, lelaki itu mendengus, "Maaf? Maaf katamu, La?"

"Ale, kumohon dengarkan aku dulu!" Serla kini berani menatap terang-terangan ke dalam mata Ale.

"Apa lagi yang harus aku dengarkan, Serla? Apa?!"

Serla menepis kedua tangan Ale yang sempat mengguncang bahunya. Air mata Serla mendadak jatuh. Padahal sebisa mungkin ia menahan cairan bening itu sejak tadi. Namun gagal, bukan sikap Ale yang berubah menjadi berang padanya. Tapi sesuatu yang ingin ia sampaikan tak terucapkan lisan.

"Aku-"

"Apa? Apa?! Kamu mau bilang kamu tidak bisa hidup dengan lelaki yang tidak mengenal agama sepertiku, iya?" Kilatan mata Ale menghunus hati Serla.

Serla menggeleng gusar, ia ingin bicara tapi sulit luar biasa. Yang keluar hanya sisa-sisa ketidakberdayaan berbentuk air mata.

"Aku tau, La. Solatku hanya magrib saja, puasaku bolong-bolong. Mendekati Tuhan ketika sedang susah saja. Tapi tak bisakah kamu menuntunku untuk menjadi baik di matamu, di mata keluargamu, di mata Allah, bukan malah meninggalkanku seperti ini, La!" Ale menekankan setiap katanya. Ada Hati yang teriris ketika menyebut Rabbnya. Ia hina, terlalu hina bagi dirinya sendiri. Mungkin orang lain menilainya sama, bahkan lebih.

Bahu Serla bergetar, ia belum mampu bicara. Mengatur napas dengan baik saja ia tak bisa. Hatinya bergemuruh sakit tak terkira.

"Keluargaku Heterogen kamu tau itu kan, La?" Ale menggantung ucapannya, "Lalu pada siapa aku harus belajar ngaji, solat dan puasa. Sementara mereka terus menjejalkan beberapa ajaran kepercayaan padaku, La!" Ale menelan ludah, ucap jujur itu menyakiti dirinya sendiri.

"Ale, dengar, dengarkan aku baik-baik dulu!" Serla semakin terisak.

"Ah, apa yang harus kudengar dari perempuan jahat yang aku cinta? Kamu boleh meninggalkan aku, boleh memilih siapa saja lelaki pilihanmu." Tak sepenuh hati Ale berucap demikian.

Serla menggeleng cepat. Air mata berderai di wajah anggunnya.

"Tapi kenapa harus dengan Arfa, La?" Suara Ale melemah, "dia sahabatku," lanjutnya.

"Ale aku tidak bermaksud-"

"Tidak bermaksud menyakitiku tapi nyatanya kamu telah bersama Arfa. Bahkan dua bulan lagi kalian akan menikah," sanggah Ale cepat, "di mana hati kamu, La" mata tajam itu memantulkan tatapan penuh luka.

"Ale beri aku kesempatan untuk bicara!" Serla menjerit. Ia menahan sakit terus-menerus ketika Ale memotong ucapannya.

Ale menggeleng, "terlalu banyak kekecewaan yang aku terima darimu, La. Kali ini biarkan aku yang bicara."

"Kamu egois!"

"Jika aku egois lalu keputusanmu apa?!" Ale berteriak.

Bahu Serla semakin bergetar hebat.

"Apa yang pantas aku ucapkan ketika marah kepadamu, La? Apa yang harus aku lakukan ketika kamu menyakitiku lagi dan lagi!" Ale menarik dagu Serla, "Aku bisa apa? Mengumpatmu?Memukulmu?"

Serla menarik diri agar dagunya terlepas dari cekalan Ale.

Ale menggelengkan kepala,"aku tidak bisa melakukan apa-apa karena terlalu cinta, La." Lirihnya dalam.

Serla menahan napas, sakit Ale sampai pada palung jiwanya.

"Darimu aku akan belajar menjadi lelaki yang berada di jalan yang benar. Inginnya muslim sejati yang taat pada Allah." Ale mengepalkan tangannya.

Sementara Serla, bereuforia dengan segala cambuk hati yang tak bisa dijelaskan betapa sakitnya. Sebab pun ia sama cintanya kepada Ale.

"Lelaki yang baik akan bersama dengan perempuan baik pula kan, La? Kamu pernah bilang itu, benar kan, La?" Ale memasukkan kedua tangan ke dalam celana jeans-nya.

Tak ada jawaban dari bibir Serla. Untuk menatap Ale saja berat rasanya.

"Aku akan berusaha menjadi baik, agar tidak bersama dengan perempuan jahat sepertimu, La, ya, dirimu!" Ale berjalan meninggalkan Serla.

Serla mendongak, ia menatap punggung lebar Ale. Menggigit bibir sekeras-kerasnya. Lalu menangis sejadi-jadinya.

Tak adakah kesempatan untuk bisa menjelaskan. Mana sebuah cinta yang dipaksakan dan tulusnya sebuah perasaan yang siap menanti datangnya perubahan seseorang. Ya, seseorang yang selalu Serla harapkan adalah Ale. Ale yang kini menjadi mantan kekasihnya. Ale yang telah menemaninya dari bangku SMA hingga sama-sama dewasa.

Ale mengusap wajah kasar, sejak tadi ia mundar-mandir di kamar tak karuan.

"Berpikir, Le!" Ale mengetuk-ngetuk dahi dengan kepalan tangannya.

Ia duduk di tepi ranjang, kemudian berdiri, berjalan menuju jendela kamar lalu balik lagi ke tempat semula. Begitu seterusnya sampai ia merasa muak sendiri.

"Tuan Ale, keluarga menunggu di meja makan ...!"

Ale yang berdiri di jendela terbuka itu menelengkan leher. "Bilang aku akan makan di luar!" Teriaknya pada asisten rumah tangga yang sudah lima belas tahun mengabdi pada keluarga Widjaya.

Ale menghembuskan napas dengan berat, ia berjalan menuju lemari besarnya. Mengeluarkan sarung juga baju piyama. Menarik ransel lalu menjejalkan pakaian itu ke dalamnya.

"Beli apa aja gue bisa, masa belajar agama gue gak bisa?" Ale mengailkan ransel pada kedua bahu dan melenggang dari kamarnya.

Kaki-kaki jenjang Ale menuruni anak tangga, ia mengabaikan terikan di belakangnya.

"Kamu mau kemana kutanya, Ale?"

Ale hanya mengangkat tangan tanpa menjawab atau sekedar menatap sang Paman.

"Ey, budak itu tak tau mau kemana dia malam ini."

Suara Farhat, Pamannya, masih bisa Ale dengar samar-samar. Lelaki itu menuju garasi, membuka pintu mobil belakang dan melemparkan ranselnya. Lalu ia masuk ke dalam mobil lewat pintu kemudi. Menyalakan mesin dan menjalankan mobil, meninggalkan rumah bak istana negara.

"Ale ... Ale, anak muda zaman now. Belajar ilmu agama hanya karena wanita." Pria paruh baya itu terkekeh meledek Ale. | Cerpen Kehidupan Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah 

Ale berdecak, "demi Allah saya belajar untuk diri saya sendiri Pak Ustad. Tau diledek gini mending gak usah cerita tadi," ia memelankan suara di akhir kalimatnya.

Ustad Jev, pemuka agama yang tidak diragukan kualitasnya. Penyampaiannya yang gokil dan jiwa mudanya cukup terkenal di mana-mana. Bahkan penampilannya tidak kalah gaul dengan anak SMA yang sebaya dengan anak bungsunya. Kini akan menjadi guru bagi Ale Rendra Widjaya.

Ale menggelengkan kepala melihat Ustad Jev yang belum juga berhenti tertawa.

"Istigfar kamu, Ale!" Ale tergelonjak kaget saat Ustad Jev memukul meja dengan peci dari kepalanya.

"Kan pak Ustad yang ketawa," Ale mengusap-usap dadanya.

"La iya gue lupa, ya." Cengirannya tanpa dosa.

Memang benar, sultan mah bebas mau apa juga. Pikir Ale.

"Jadi gini, Le." Setelah menghentikan tawa. Ustad Jev berubah menjadi serius seketika. Membuat Ale membenarkan posisi duduknya siap mendengarkan nasihat dari sang Guru.

"Gue lupa belum nyeruput tuh kopi dari istri," Ustad Jev membuka tutup cangkir kopi lalu menyesapnya.

Sementara Ale menghela napas melihat tingkah Gurunya.

"Ngopi ngapa ngopi, diem-diem bae!" Bahu Ustad Jev bergetar menertawakan Ale yang mulai kesal oleh ulahnya.

"Eh, Tong. Belajar mah kudu sabar, rileks .... " alisnya dinaik turunkan dengan cengiran yang cukup mengesalkan Ale.

"Iya, saya dari tadi sabar, Pak Ustad." Ale memaksakan senyuman.

Ustad Jev terkekeh, "ngambil wudhu sana, kita mulai memperbaiki solat dengan benar."

Ustad Jev berdiri dari kursi kebesarannya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ale ikut berdiri dan berjalan membuntuti.

Hari ini, besok, dan seterusnya, Ale akan belajar menjadi muslim yang benar-benar muslim. Bukan hanya sekedar Islam di KTP. Ia ingin membenahi diri, jika bisa, ia harap mampu mengajak keluarganya menjadi muslim seperti dirinya.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, Ale sudah rampung dengan pelajaran pertama hari ini. Menguras tenaga tapi menyenangkan. Siapa yang bosan dengan Guru humoris seperti Ustad Jev?

Tin ...!

Ale berdecak saat seseorang menyebrang sembarangan, ditambah gadis itu malah memperhatikan smartphone di tangan bukan melihat kiri kanan.

Tin ...!

Sekali lagi Ale membunyikan klakson lebih panjang.

"Mau tuh cewek apa, sih?" Ale keluar dari mobilnya.

"Eh, Mbak. Punya ajian apa sih sampe berani mainin hp di jalan?" Tanya Ale ketika menghadang gadis yang masih asik dengan ponselnya.

"Mas, ngomong sama saya?" Anin menunjuk dirinya.

Ale mengernyit, "sama bahu jalan!" Tukasnya.

"Owh," Anin manggut-manggut.

Membuat Ale geleng-geleng kepala, "Mbak itu niat nyebrang apa ngukur jalan, sih?"

"Aduh Mas, maaf. Saya salah, ya? Haha." Anin malah tertawa dengan sengaja.

"Wah parah, gila. Pantes gue klakson dia gak perduli."

"Tadi klakson?" Lawan bicara Ale terkekeh sambil memegang perutnya.

"Saya klakson dua kali, Mbak. Kenceng lagi, masa iya gak denger? Itu kuping apa daging jadi, sih?" Tandas Ale.

"Bukan dua-duanya, ini mah bentol." Anin memutar bola mata lalu berjalan meninggalkan Ale yang sudah dibuatnya tumbuh tanduk dua di sisi kepala.

Ale menggeleng-gelengkan kepala, "sabar ... sabar, Ale sabar bisa balikan sama mantan." Ia kembali pada mobilnya.

Jika saja jalanan ini tidak lengang, sudah pasti Ale dan Anin diteriaki pengguna jalan lain karena perdebatan singkat mereka yang tak berfaedah. | Cerpen Kehidupan Perdebatan Singkat Yang Tak Berfaedah 

- Bersambung -