Seuntai Kasih Dalam Tugas- Menyebalkan! | Cerpen Motivasi Kisah Seuntai Kasih Dalam Tugas
Emosiku hampir meledak. Kesabaranku nyaris nyata tak tersisa. Kalau saja aku tak mengingat bahwa mencari pekerjaan yang layak dengan gaji bagus di kota metropolitan ini bukanlah hal yang mudah, mungkin aku sudah angkat kaki dari sini.
Pria itu, Direktur utama sebuah perusahaan swasta tempatku bekerja. Berstatus duda satu anak dengan penampilan parlente. Rapi dan wangi lengkap dengan jam tangan bermerek melingkar di pergelangan kirinya, membuat dia selalu terlihat menawan. Pak Dirut tampan julukannya. Usianyapun masih muda, 32 tahun. Bahkan lesung pipi dan kulit putih bersihnya membuat ia tampak lebih muda dari usianya.
Dan Aku, aku adalah sekretaris pribadinya selama dua bulan ini, eh bukan, tapi lebih tepat pembantunya. Ya, karena setahuku tugas sekretaris pribadi adalah mengurus segala macam administrasi perkantoran atau apa-apa saja yang dibutuhkan oleh pimpinannya mengenai urusan kantor. Mengatur jadwal rapat sang Dirut mungkin salah satunya.
Bukan malah tugas-tugas yang menurutku jauh dari bidang kesekretariatan. Misalnya beberapa hari lalu dia melarangku --sebagai sekretarisnya-- ikut meeting bersama klien dan malah menyuruh mencarikan tanaman hias untuk dikirim ke rumahnya. Dan hari ini, dia, Bigbosku yang menurut semua karyawan adalah bos paling baik --tapi tidak bagiku-- memberi mandat yang membuatku harus pergi ke pasar pagi-pagi.
[Syabia, besok pagi kamu punya tugas. Buatkan opor ayam untuk saya. Bahan-bahan kamu belikan sendiri dan masak sendiri di pantry.] Pesannya semalam di tengah malam membuatku kesal.
Saya sudah mau tidur Pak. Bisakah sekali saja izinkan saya hidup tenang. Ingin rasanya jemari lentikku mengetik ini, tapi ya sudahlah. Ku urungkan. Kali ini marilah berdamai dengan suhu dada yang mulai meninggi.
[Tidak Mbak Ima saja yang buatkan Pak. Saya takut masakan saya kurang cocok di lidah Bapak.]
[Saya cuma terima jawaban iya. Dan tidak ada option lain. Ini perintah! Paham!]
[Baik Pak Azhar. Besok saya kerjakan.]
Ugh... Aku dongkol. Sedongkol-dongkolnya.
Pagi ini ku awali hari dengan belanja di pasar. Membeli beberapa bahan untuk membuat opor ayam. Resep sudah kuhafal di kepala. Sebelum lulus kuliah dan bekerja seperti sekarang, aku memang sering belajar memasak dengan Ibu. Dan tugasku berbelanja pagi ini aku anggap saja sedang belajar jadi ibu rumah tangga. Bekal untuk jadi ibu dan istri nanti.
Sesampainya di kantor. Pantry jadi tujuan pertamaku kali ini.
Waktu yang ku butuhkan untuk memasak opor ayam tak begitu lama. Setelah jadi, segera ku antarkan ke ruang sang pemberi mandat.
"Ini opornya Pak Azhar." Semangkuk opor ayam hangat telah siap ditanganku. Rasanya lega menghirup bau sedapnya setelah berjuang dari pagi.
"Letakkan saja di meja."
Menyebalkan! Sedikitpun dia tak melihat ke arahku setelah apa yang sudah aku kerjakan sejak pagi ini. Allah... Sungguh sabarkan aku menghadapinya.
"Oh iya Pak. Hari ini jam 10 Bapak ada meeting bersama Pak Adnan dari PT. Prima Sejahtera."
"Iya, saya sudah tau. Bahkan jadwal meeting saya dua hari kedepan juga saya masih ingat."
Lagi-lagi dia tak melihat orang yang mengajaknya bicara ini. Matanya sibuk membaca tiap tinta pada lembaran surat kabar di tangannya. Semakin menyebalkan.
"Baiklah kalau begitu. Ada tugas lain yang harus saya kerjakan Pak ?"
"Tidak, silahkan keluar dari ruangan saya Syabia."
Buru-buru ku langkahkan kaki keluar dari ruangan beruang kutub itu.Tahukah dia, dibalik pintu bertuliskan 'Direktur Utama' itu kukepalkan tangan dan ingin sekali kutonjok wajah tampannya. Tapi lagi-lagi, ya sudahlah. Kembali, berdamai dengan suhu yang semakin panas di dada. Ugh!
Pukul 10.00 WIB, ponselku berdenting, tanda sebuah pesan diterima. Bertuliskan sebuah nama pengirimnya. Seperti biasa, membuatku bertanya, tugas apa lagi kali ini?
[Syabia, saya mau meeting dengan klien sebentar lagi. Saya minta tolong jemput anak saya di sekolahnya dan bawa dia ke kantor yah. Sekarang!] Tanda seru itu semakin membuatku sebal membayangkan wajah tampannya.
[Baik Pak.]
Segera ku telfon Pak Rudi, sopir pribadi Pak Azhar untuk mengantarku ke sekolah si kecil Ibrohim. Ini adalah pertama kali aku harus ke sekolah si kecil menggemaskan itu sendirian. Biasanya memang Pak Azhar sendiri yang menjemputnya. Dia memang terlihat seorang Ayah yang baik.
Kudengar dari karyawan lain, Istrinya meninggal saat melahirkan Ibrohim. Membuat dia menjadi orangtua tunggal bagi anaknya, dibantu dengan Ibunya yang kini juga telah ditinggalkan suaminya, Bapak Direktur Utama yang lama. Jadi Ibrohim kecil hanya hidup bersama Ayah dan Neneknya.
Ibrohim juga tumbuh menjadi pria kecil yang sopan dan pandai. Beberapa kali kutemui wajah tampan yang mewarisi ketampanan Ayahnya itu tiap kali tangan kecilnya di gandeng erat oleh sang Nenek bertandang ke kantor sang Ayah. Kaki kecilnya berlarian di ruang kerja sang Ayah. Memainkan dan bertanya nama benda yang ia temui di ruang itu. Manis, manis sekali. Rasanya ingin kucium pipi gembilnya tapi selalu kuurungkan tiap mengingat bahwa dia adalah anak dari pemimpin perusahaan besar ini. Bigbosku.
Ku lihat sosok kecilnya duduk di kursi tunggu dekat gerbang sekolah dan segera kuhampiri.
"Assalamualaikum... Hai ganteng yang Sholeh. Sudah lama menunggu?"
"Waalaikumsalam... Tante. Tante temennya ayah kan. Ayah mana?" Ada sedikit bingung menyusup wajah polosnya. Mencari-cari sosok sang Ayah.
"Iyah, Tante temennya ayah. Ayah sedang ada urusan. Jadi anak yang sholeh ini pulang sama tante dulu hari ini. Nggak papa kan?" Ku duduk berjongkok, bicara sambil menatap mata bulatnya.
Dibalas anggukan kepala dan senyum manis dari bibir kecilnya.
Sepanjang perjalanan menuju kantor ia lebih banyak diam. Menjawab seperlunya saat kutanyai kegiatan sekolahnya hari ini.
Di lantai dasar gedung kantor, ponselku kembali berdenting. Sudah kuduga pesan siapa yang masuk. Dan... aha! Dugaanku benar.
[Saya belum selesai meeting. Ajak Ibrohim ke ruangan saya. Temani dia bermain disana. Terimakasih Syabia.]
Wah... Rupanya ada yang berbeda pada pesan kali ini. Meski ini lumrah bagi yang lain. Untukku ini jarang-jarang bukan? Ucapan terimakasih di akhir pesan sang Dirut terasa lebih manis meski tak disertai emotion senyum atau yang lainnya.
[Iya. Baiklah Pak. Sama-sama]
Ku gandeng kembali tangan kecil Ibrohim. Langkah kakinya sudah hafal betul akan kemana. Sambil berjalan sesekali ia bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara yang menggemaskan.
"Kita sampai. Kau ingin makan sesuatu?"
"Tidak. Aku bermain saja disini Tante."
"Baiklah kalau begitu, Tante temani Ibrohim disini."
Senyum yang lebih lebar dari yang pertama di sekolah tadi, kudapati di wajahnya. Membalas tawaranku menemaninya bermain di ruang kerja sang Ayah.
Sejam bermain membuat Ibrohim kelelahan. Pria kecil itu terlihat mengantuk. Kududukan dia di pangkuanku, kubacakan sebuah dongeng dari buku bersampul gambar kancil dan kura-kura yang kudapat dari tas sekolahnya. Di akhir cerita kutengok wajahnya. Si pipi gembil dengan bulu mata lentik itu telah lelap dengan tidurnya, masih di pangkuanku.
Ku pindahkan tubuh mungil itu di sofa ruang kerja ayahnya. Ku pastikan ia terlelap dengan posisi yang nyaman sebelum aku tinggalkan untuk kembali ke ruang kerja. | Cerpen Motivasi Kisah Seuntai Kasih Dalam Tugas
Kubalikan badan menuju pintu. Sepasang mata elang berhasil menghentak relung. Kulihat ia menatapku kemudian tersenyum tipis terlihat manis.
Deg! Ada sesak yang datang tiba-tiba. Ada detak yang lebih cepat terasa. Ada suhu badan yang semakin meninggi yang biasa datang ketika aku sedang marah. Tapi kali ini jelas aku sedang tak marah, jadi entahlah... Dan mungkin jika berkaca ada rona warna buah tomat di dua sisi wajah. Astagfirullah... Apa-apaan ini! Segera kubuang muka, mewaraskan isi kepala, kembali pada tumpukan tugas di meja kerja.
Pagi yang cerah. Secerah hatiku kah? Ah, nyatanya biasa saja seperti hari yang sudah-sudah. Jilbab syar'i berwarna ungu muda dengan motif bunga-bunga, kemeja longgar berwarna ungu juga dan rok lipat berwarna coklat muda yang melingkar rapi di pinggang, menemani aktifitas hari ini.
Pagi ini beberapa map tugas sudah siap kuserahkan kepada Pak Azhar diruangannya. Ku langkahkan kaki beralasan sepatu flat menuju ruangan sang Dirut.
Gadis berambut lurus sebahu, berpakaian rapi layaknya wanita kantoran berjalan menuju pintu yang sama denganku. Badannya tinggi, langsing dan kakinya jenjang.Tali panjang tas minmalis bertengger manis di bahu indahnya. Suara ketukan sepatu high heels, beradu dengan lantai terdengar begitu jelas di telinga. Dan kini, gadis yang sering terlihat menemui Pak Azhar selama aku menjadi sekretarisnya itu tepat di depan pintu ruangan sang duda. Kami berada pada titik yang sama.
"Pak Azharnya ada kan di dalam?" Dengan gaya mengangkat satu alis, gadis itu bertanya padaku.
"Iya, beliau ada di dalam Bu Nania."
"Ok. Terima kasih."
Sosok itu kemudian berlalu dari depanku. Memasuki ruangan Pak Azhar.
Bu Nania, gadis cantik dan sukses. Seorang manajer di sebuah Perusahaan mitra bisnis kami. Pasangan yang serasi. Sama-sama berhasil di karirnya masing-masing. Yang pria tampan dan gadisnya rupawan. Ah, sudahlah... Ayo kembali ke meja kerjamu. Bisikku dalam hati.
Menunggu sampai urusan Bu Nania selesai dengan Pak Azhar, baru akan ku serahkan tugas di tanganku ini.
Pukul 12.00 WIB. Menunggu cukup lama membuat mata terasa berat. Hampir saja terlelap saat ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk, tertulis nama pengirimnya dengan jelas. Pak Azhar.
[Syabia. Ke ruangan saya sekarang!]
Spontan jariku menjawab, [Baik Pak.]
"Ikut saya sekarang?"
"Kemana Pak? Tugas saya harus saya serahkan ke anda dulu Pak."
"Sudah, itu gampang nanti. Sekarang ikut saya!"
"Iya. Tapi kemana Pak?"
"Syabia! Jangan banyak tanya!"
"Iya."
Lagi, lagi, lagi dan lagi mengalah menuruti perintahnya. Berjalan mengekor mengikuti langkah kaki jenjang pria itu.
Mobil Fortuner hitam yang ia kemudikan sendiri melaju dengan cepat. Aku diminta duduk di depan, di samping ia mengemudi. Dan setelah di depan sebuah butik pakaian muslim modern bernama "Humaira Collection", ia berhenti dan memparkirkan mobilnya.
"Ayo turun." Perintahnya kembali dan lagi-lagi aku patuhi.
Sudah seperti tawanan yang patuh kepada tuannya saja aku ini. Dan seperti biasa, ku ikuti langkah kakinya.
Di dalam butik berjajar pakaian muslim dengan berbagai model dan warna. Pak Azhar membawaku ke sudut barisan gamis yang cantik-cantik. Banyak gamis dengan pilihan model, bahan dan corak disana.
"Pilihkan satu untukku."
"Untuk Bu Nania ya Pak?"
"Ya."
"Kalau begitu yang itu saja. Gamis dengan motif bunga berbahan katun lembut warna peach cocok untuk warna kulit Bu Nania yang putih."
"Baiklah. Saya ambil yang itu."
Setelah membayar untuk gamis yang dibeli. Kami segera kembali ke kantor.
Pukul 07.15 WIB. Aku masih dalam perjalanan. Pagi ini tak seperti biasanya aku bangun kesiangan. Telah kusiapkan mental dan kebalkan telinga ketika sampai di kantor nanti Pak Azhar mengeluarkan amarahnya atas keterlambatanku.
Duh! Di tengah buru-buru kudengar ponselku berdering. Firasatku tak enak. Dan benar... Sebuah nama terpampang jelas pada sisi paling atas pesan yang kubuka. Pak Azhar.
[Syabia. Saya harus keluar kantor untuk suatu urusan. Ada memo diatas meja kerjamu. Baca dan kerjakan segera. Paham! Ini perintah!]
[Baik Pak.]
Kali ini aku tak akan banyak tanya. Selamat dari amarah sang Bigbos atas keterlambatanku pagi ini saja aku sudah sangat bersyukur.
Pukul 07.40 WIB aku sampai di depan gedung kantor. Segera aku menuju ruang kerjaku.
Duduk di kursi dan kuambil kertas putih yang terlipat di atas meja.
Kubaca dengan seksama tugas yang diberikan Pak Azhar kepadaku hari ini. Memastikan aku juga tak akan melakukan kesalahan kali ini.
Kertas putih itu kubuka...
'Syabia Hanun...
Ada tugas untukmu.
Tugas ini tidak hanya untuk hari ini tapi kau harus mengerjakannya setiap hari.
Tugas memasak untuk saya setiap hari.
Tugas mengantar dan menjemput Ibrohim setiap hari.
Tugas memilihkan baju untuk saya setiap hari.
Tidak hanya itu
Saya ingin kau mengajari anak saya setiap hari. Membacakan dongeng dan mengajarinya mengaji setiap malam, mengajarkannya alif ba ta tsa...
Tenang, kau tak sediri. Kau punya rekan kerja untuk melakukan tugas itu bersama-sama. Bersama saya...
Syabia, dengar ini. Ini perintah!
Kau paling paham apa yang harus dilakukan atas perintah bukan?
Tapi perintah yang kali ini akan saya ikuti dengan pertanyaaan.
Syabia, maukah kau menjadi istri bagi saya dan ibu untuk Ibrohim?'
Azhar
Dan tunggu! Apa ini? Sebuah kotak manis berwarna ungu muda berpita pink berada di atas mejaku. Dan setelah kubuka berisi gamis warna peach yang menjadi pilihanku di butik Humairah kemarin lengkap dengan khimar dengan warna senada. Gamis yang kuduga dibeli untuk Bu Nania.
Kemudian, sosok bermata elang itu kutemui telah bersandar santai di daun pintu ruang kerjaku yang terbuka. Tepat di hadapanku. Tersenyum manis.
Menyebalkan!
Sejak kapan dia disana?
Hei! Jika tugas darimu ini benar. | Cerpen Motivasi Kisah Seuntai Kasih Dalam Tugas
Silahkan meminta izin saja kepada waliku. Paham! Ini perintah!