Panggil Saja Aku Dengan Nama Mariana

Panggil saja aku Mariana. Usiaku masih muda nan cantik, badan sedang dengan bentuk aduhai. Tinggiku 155 cm dan aku luwes dalam berteman. | Cerpen Sedih Panggil Saja Aku Dengan Nama Mariana

Aku tinggal dengan seorang kakak perempuan yang berprofesi sebagai dokter dan suaminya seorang bupati yang cakap dalam bidangnya. Anak mereka sudah 3. Yang paling besar sudah SMA, yang ke 2 kelas 4 SD sedangkan yang masih kecil kelas 1 SD.

Tugasku sehari-hari membersihkan rumah, memasak dan sederet pekerjaan rumah lainnya. Selain itu aku juga bertugas mengantar jemput keponakanku.

Tapi sebulan ini ada sesuatu yang berbeda saat mengantar jemput keponakanku yang nomor 2 itu. Dia setiap sore sekitar pukul 2 kuantar menuju sebuah madrasah tempat mengaji yang mana diajarkan seluruh ilmu-ilmu agama seperti fiqih, tauhid, tarikh islam, bahasa arab dan lain-lain. Madrasah dimulai selepas pulang dari sekolah dasar (SD).

Lalu saat pulangnya kujemput tepat di depan madrasah pukul setengah 5 sore. Itu sudah menjadi rutinitasku setiap harinya.

Adalah seorang pria yang berparas tampan sekali dengan body oke wajah teduh menyejukkan seperti pohon rindang yang banyak cabangnya dipenuhi daun dan buah yang manis. Sosoknya yang kupikir mungkin inilah calon surga dan seandainya akulah yang mendampinginya tentu pasangan yang paling ideal sejagat raya ini.

Pria itu tidak kuketahui namanya dan bagiku dia seperti sosok calon imam yang kuharap-harapkan yang telah lama kuimpikan kedatangannya. Senyumnya yang menambah semangatku kala menjemput Isyana, keponakanku yang bersekolah di madrasah itu.

Selepas menunaikan kewajiban fardhu asharnya, dia sering duduk di depan mesjid yang berseberangan dengan madrasah Isyana. Senyumnya yang manis bagai buah apel melambungkan anganku ingin sekali memilikinya. Tidak sekedar senyum tentu lebih dari itu.

Sayangnya, dia tak pernah memberikan lebih dari sebuah asa yang terpendam. Tatapan kami hanya sebatas senyum yang menambah keruwetan hatiku bergejolak.

"Isyana, lihat abang itu ganteng kan?" Kukatakan pada keponakanku setelah dia menghampiriku untuk segera di bawa pulang.

"Iya, katanya orang sholeh Kak." Isyana membenarkan.

"Sikapnya sopan, dia gak suka bergaul dengan perempuan." Isyana menambahkan ceritanya.

"Nanti dia gak normal?" Kataku.

"Apalah kakak ini!"

Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Isyana. Andai dia minta nomor hapeku maka takkan kupelitkan. Akan segera kuberi agar kami menyambung tali silaturahmi sekalian tali kekeluargaan.

Sayang, lagi-lagi dia hanya memberikan senyum yang semakin dan makin menambah gejolak hati tak menentu. Walaupun temannya sering mencandainya tentang tatapannya yang begitu serius yang hanya tertuju padaku, namun dia tetap pada posisi istiqomahnya.

Duhai ikhwan nan sholeh sudilah kiranya kau memberikan ruang lebih kepadaku untuk memperpanjang waktu agar bercengkrama denganmu. | Cerpen Sedih Panggil Saja Aku Dengan Nama Mariana

Sekalian wahai ikhwan, sebutlah selalu namaku dalam setiap bait doamu.