Aku Ingin Memeluk Bunda Sebentar Saja

“Bunda, Ami berangkat sekolah dulu ya”, aku mencium tangan bunda sebelum berlari mengejar teman-temanku yang berangkat bersama ke sekolah. | Cerpen Sedih Aku Ingin Memeluk Bunda Sebentar Saja

Sekolahku tidak jauh dari rumah kami yang berada di kaki gunung Selok.

Bunda hanya tersenyum lalu melambaikan tangan. Senyumnya itu adalah sesuatu yang selalu kukagumi. Senyum penuh kesabaran dan ketulusan. Tidak pernah kulihat bunda marah atau terucap kata kata kasar dari bibirnya yang mulai keriput.

Saat ini aku menginjak kelas 6 SD. Berarti sudah 10 tahun kami pindah ke desa ini. Desa yang tenang dengan pemandangan hijau gunung selok. Sebetulnya mungkin lebih tepat disebut bukit. Tapi penduduk di sini menyebutnya gunung. Gunung inilah yang menyelamatkan desa kami dari tsunami 9 tahun yang lalu. DI balik gunung ini memang terhampar samudra hindia yang pernah bergejolak menjadi gelombang raksasa saat terjadi gempa di Pangandaran. Gelombang raksasa ini membentur gunung selok dengan suara laksana guntur. Dan selamatlah desa kami.

Kata bunda, dulu kami tinggal di ujung pulau Sumatera. Tapi semenjak perceraian bunda, bunda memboyongku tinggal di kota kecil ini. Lebih tenang, kata bunda. Aku bahkan tidak pernah tahu seperti apa ayahku. Bunda tidak pernah menceritakan tentang ayah. Jika aku bertanya, bunda selalu berkelit dan berkata “Apa bunda saja tidak cukup?Bunda akan jadi ayah dan bunda terbaik bagi Ami”. Ada nada getir dari kata-kata bunda. Matanya berkabut sekejab. Aku tak ingin bunda sedih. Sejak saat itu, aku berhenti bertanya tentang ayah.

Dan memang bunda membuktikan itu. Bunda adalah bunda terbaik di desaku, bahkan terbaik di dunia. Jika mendengar cerita dari teman-temanku tentang ibu mereka masing-masing, aku selalu mengucap syukur dalam hati. Ada ibu yang kerjanya marah-marah saja. Setiap pekerjaan yang dilakukan temanku selalu dianggap salah. Harus sempurna, harus juara. Ada pula yang sukanya main jejaring sosial. Tiap hari sibuk swa foto dan mengunggahnya ke jejaring sosial. Lebih sibuk membalas pesan di telepon genggam dibanding menjawab keluhan anaknya. Kalau sudah seperti ini, aku tidak akan mau menukarkan bundaku dengan apapun juga, tidak juga dunia.

Bundaku selalu menyambutku tiap pulang sekolah. Menanyakan tentang kegiatanku di sekolah. Apa saja yang seru. Apa ada masalah yang ingin dibagi dengan bunda. Jika aku ada masalah dengan teman teman di kelas, bunda adalah pendengar yang terbaik di dunia. Dia mendengarkanku dengan seksama, tanpa sekalipun menyela. Setelah aku lega menumpahkan segala unek unek, bunda lalu memeluk dan mendukungku. Bunda adalah yang terbaik.

Khusus hari ini aku punya kejutan untuk bunda. Puisiku memenangkan lomba puisi yang diadakan sebuah majalah anak terkemuka. Bunda pasti bahagia. Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan betapa bangganya bunda nanti.

“Bunda-bunda, Ami ada kejutan untuk bunda” seruku dengan gembira

Bunda meletakkan baju pesanan yang sedang dijahitnya. Kemudian memelukku erat-erat.

“Kejutan apa sayang?”

“Ami menang lomba puisi, bunda. Nih ada di majalah ini. Foto Ami juga dimuat ni di sebelah puisi Ami” senyumku bangga.

Tak seperti bayanganku, senyum bunda memudar. Wajahnya memucat seperti

Sejumput kekecewaan mengendap di hatiku.

“Bunda gak senang ya Ami menang lomba?”

Bunda menggeleng-gelengkan kepalanya

“Nggak...bunda Cuma kaget....Hebat anak gadis bunda. Selamat ya sayang” elak bunda sambil mencium pipiku. Seperti ada rahasia di bening matanya yang mulai berkabut.

Berhari-hari kemudian aku mulai melupakan kejadian itu. Walau sikap bunda semakin aneh saja. Seperti gelisah, entah karena apa. Bunda seperti berusaha bersikap wajar, tapi malah menjadi seperti berlebihan.

Hingga suatu ketika, seolah sambil lalu, Bunda bertanya kepadaku. Dia bertanya sambil melipat baju-baju yang baru diambil dari jemuran.

“Ami senang tinggal di sini?”

“Senang” kataku tak jelas karena sambil mengunyah kerupuk.

“Gak pingin pindah ke kota?”

“Gak ah... Enak di sini. Teman Ami juga banyak di sini” kataku sambil menepuk serpihan kerupuk di rokku.

“Kan enak di kota. Banyak mall..toko-toko...dan..”

“Gak bunda”potongku. “Ami pingin di sini aja” sahutku sedikit keras sambil masuk kamar. Ada sepercik penyesalan di hatiku.Kenapa berani meninggikan suara pada bunda. Tapi aku benar-benar tidak ingin pindah dari desa ini.

Esoknya aku berangkat pagi-pagi ke sekolah. Kulihat bunda masih sibuk di dalam kamar. Seperti berbenah mengepak baju-baju di tas besar merahnya. Hatiku langsung mengkerut sesaat, teringat pembicaraan semalam. Aku benar-benar tidak ingin pindah dari desa ini. Dan aku malas berbantahan dengan bunda saat ini. Jadi langsung saja kuayunkan langkahku ke sekolah sambil mengucap salam pada bunda. Semoga bunda berubah pikiran.

Sesampainya di sekolah, kulihat ada beberapa kendaraan terparkir di halaman sekolah. Mungkin ada rapat dinas, pikirku.Kadang ada rapat yang dihadiri oleh guru-guru dari sekolah-sekolah yang ada di kecamatan Adipala ini. Aku langsung mengayunkan langkah ke kelasku, tetapi langkahku tertahan. Pak Kepala sekolah memanggilku dari depan kantornya.

Aduh, jangan-jangan masalah SPP ku yang tertunggak 3 bulan ini. Langkahku sedikit tertahan karena takut bakal ditanya tentang SPP ini. Tapi pak Kepala sekolah tampak lebih ramah daripada biasanya. Tumben. Walaupun tidak membuatnya jadi lebih tampan.

Di dalam ruang kepala sekolah ternyata sudah menunggu beberapa orang. Tampak beberapa lelaki paruh baya berbadan tegap dan berambut cepak. Dan ada seorang wanita kira-kira seumuran bunda, yang terus menyeka air matanya. Seorang lelaki berjanggut panjang memeluk pundaknya.

“Ami” seru wanita itu.”Ini Ibu nak”

Otakku membeku sesaat. Susah mencerna informasi tak terduga.

“Tapi...Ami tidak kenal tante..”suaraku tercekik.Mirip cicitan tikus di dapur. Entah bingung mau berkata apa.

Ibu...bukankah bunda ibuku. Siapa wanita ini?

Wanita itu semakin tersedu-sedu.Dan lelaki di sebelahnya memeluknya lebih erat.

Aku memandang mereka dengan linglung. Kakiku membatu. Lidahku kelu.

Bu guru Fajri yang sedari tadi berdiri di samping pintu, membimbingku untuk duduk di salah satu sofa. Sofa itu terasa sekeras dan sedingin batu. Atau mungkin tubuhku yang membeku.

Lelaki tegak berambut cepak di situ menjelaskan panjang lebar kepadaku. Tapi hanya sepotong-sepotong yang tertangkap oleh otakku yang berkabut.

Lelaki itu berkata dia polisi yang membantu wanita itu. Akhirnya berhasil melacakku dari tulisan puisi dan fotoku di majalah. Mereka mengenali tahi lalat di puncak hidungku di foto itu. Walaupun wajahku sudah tampak berbeda dibanding fotoku saat berumur 2 tahun yang mereka simpan, tapi masih ada kemiripan, kata mereka.

Susah payah aku mencerna penjelasan mereka. Pikiranku melayang kepada bunda. Jika wanita ibuku, lalu siapakah bunda?

Sepotong demi sepotong informasi yang mereka berikan tersusun bagai puzzle di pikiranku. Diculik usia 2 tahun. Oleh pengurus rumah tangga. Dibawa lari 9 tahun yang lalu. Hilang. Tak terlacak.

Aku memandang wanita itu. Atau haruskah kusebut ibu.

Tapi entah kenapa, aku tak merasakan sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ada antara ibu dan anak. Intuisi. Atau apapun namanya. Bagiku, wanita itu terasa asing. Tiba-tiba aku ingin pulang. Ingin memeluk bunda. Dan berharap semua ini hanya mimpi saja. | Cerpen Sedih Aku Ingin Memeluk Bunda Sebentar Saja