Senja baru terbentuk. Salim menuruni bukit menuju pantai. Kakinya berkilat akibat keringat, setelah seharian bekerja di bawah terik, menjemur ikan untuk dijual. | Cerpen Kehidupan Kisah Perjalanan Sang Pemburu Puisi
Pantai cukup ramai kali ini. Pemuda berusia dua puluh satu tahun itu duduk di bawah saung kecil yang telah lama didirikannya. Saung dengan tiang dari batang-batang pohon sedang yang disandarkannya pada lereng bukit. Atapnya dibuat dari tumpukan anyaman daun kelapa. Lantainya adalah susunan bambu yang diikat dengan akar kelapa.
Dari rumahnya di atas bukit, Salim membawa sebuah buku bercover kulit warna coklat. Buku itu diletakkan di pangkuannya. Sedang tangannya memutar-mutar bolpoin. Ia hanya duduk mengamati garis pantai dan pengunjungnya.
Seorang ayah dan anak lelakinya yang diperkirakan masih berusia lima tahunan, sedang berpegangan tangan. Mereka berjingkat mengejar ombak kecil yang balik ke lautan. Tapi kemudian berlari riang menjauhi ombak yang kembali menghampiri. Jeritan riang si kecil menjadi harmoni dengan nada bariton tawa sang ayah.
Salim tersenyum. Ia membuka bukunya dan menuliskan beberapa kalimat di sana.
Pantai
Aku mencium amis
Hembusan angin jahat
Menatap ceceran sampah perusak punggungmu
Bahkan ku alami gemuruh badai di dadamu
Tapi kecipak kaki mungil di ujung ombak menebus lemahmu
Deru hempasan air kalah oleh kekehan menggemaskan
Di garismu tercipta keriangan cinta
Dua bait yang usai dalam tiga menit. Dibacanya dengan puas. Matanya kembali menyusuri pantai. Tepat lima meter di depan saungnya. Dua kakak beradik, tetangga tiga rumah dari rumahnya. Mereka sedang membangun istana pasir. Si kakak masih asik membangun menara, ketika adiknya mengeluarkan kotak makanan. Kakaknya mulai memandangi isi kotak setelah sang adik membukannya. Dipandanginya kotak itu. Tiba-tiba ia merebut kotak adiknya. Pergi menjauh dan meninggalkannya dalam keadaan menangis.
Salim terhenyak. Ia ingat masih mengantongi sebungkus bolu kukus pengganjal lapar. Dikeluarkannya kue itu, "boy! Sinih!" tangisnya terhenti. Ia mendekat dan menampakkan giginya yang keropos.
"Makasih, om," lalu kembali ke istana pasirnya.
Mata Salim beralih. Tangannya mengusap halaman buku yang tak kotor. Ia kembali menulis,
Penyakit Jiwa
Setitik perkasa berkelakuan ganda
Sedetik ramah sekejap menindas
Sehari hangat setahun melumat
Sepekan senyum selebihnya adalah geraman durjana
Puasnya perut singkirkan kasihan
Inginnya nafsu sampingkan persahabatan
Rusaknya rasa hapus kemanusiaan
Jiwa yang hilang
Menjelma selembar nyawa pesakitan
Mendekati kematian
"Tak boleh kata mamak, kak," terdengar suara perempuan dari sebelah kiri saung. Sosoknya sedikit terhalang semak.
Di sana dua sejoli sedang bercengkrama. Tapi dilihatnya tangan lelaki itu mulai memaksa si perempuan.
"Dikit ja, sayang. Pegang sebentar la. Ndak sakitnya kok," rayu si lelaki, "aku buat pakai cinta ni. Sentuh saja ya," sang kekasih mulai pasrah.
Salim membuang muka. Jengah. Para pemuda kian bodoh dalam menjalin cinta. Gemuruh jantung Salim menderu, ia mendengus dan tatapannya menerawang hampir kosong ke buku bergaris itu.
Adek
Dek..
Di mana kau saat ini?
Sembari menungguku, sibukkan hatimu dengan rindu
Cukup padaku
Jangan menemani lelaki lain sebelum hadirku
Aku cemburu
Dek..
Sunyikan hatimu sayang
Jangan ramai oleh rayuan pemangsa
Usah jatuh pada pelukan pendusta
Apalagi menyerah dan diperdaya
Aku cemburu
Dek..
Tuhan pemilik waktu
Dan kita punya rindu
Keduanya akan menebus hausmu... dahagaku
Jangan mendua meski kita belum jumpa
Aku cemburu
Akusendiri di sini
Ku jagakan hatiku, untukmu
Di ujung puisinya, Salim mendongak. Ia menutup buku kumpulan puisi itu.
Dipandangnya cakrawala. Tak terasa, matahari telah habis. Corong Masjid di atas bukit menyeru untuk bangkit. Pemuda itu bergegas. Berlari menaiki bukit. Di puncaknya ia sekilas menatap ke pantai di bawahnya. Esok lagi aku akan memburu puisi di pasir putihmu. | Cerpen Kehidupan Kisah Perjalanan Sang Pemburu Puisi