Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 3

“Nguk nguk kruu kruu houk houk” suara Angel, si monyet hutan yang tidak tau tata krama milik pak Min, tetangga samping rumahku, berteriak-teriak histeris.|Cerpen Lucu Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 3

Suaranya pecah tidak karuan, bagai kerasukan setan betina yang diselingkuhi pacarnya. Garang, keras, tidak sopan, brisik, mengusik, menjengkelkan. Mengalahkan teriakan “auman singa” milik “ibu juragan” alias Yuen Qiu, dalam film KUNGFU HUSTLE. (Pernah nonton ngga?)

Kandangnya yang terletak di belakang rumanya pak Min, yang bersebelahan tepat dengan kamarku, membuat suaranya yang berisik itu terdengar jelas menusuk telingaku, lalu masuk ke alam mimpi, hingga aku terbangun setelah suara menyebalkan itu merusak mimpi indahku. Racun mana racun.

Satu hal yang baru ku sadari, ternyata selain memiliki nama dan jenis kelamin yang sama, Angelku dan Angelnya pak Min memiliki suara yang sama, sama-sama menyebalkan, menciderai indera pendengaranku. Aku tidak tahu, kesamaan apalagi yang dimiliki oleh monyetnya dan monyetku... maksudku Angelnya dan Angelku.

“Nguk nguk kruu kruu houk houk...,” monyet itu terus berteriak seenak jidat. Tidak tahu diri, dan tidak mau tahu dengan kantukku yang minta ampun.

Namun, tidak seperti biasanya, kali ini aku tidak mendengar suara pak Min, duda strata dua, tuannya itu. Duda strata dua maksudku pak Min sudah menduda sejak enam tahun terakhir. Lelaki maimouphilia itu ditinggal lari oleh isterinya, dengan alasan yang kedengaran konyol namun sangat masuk di akal, nanti kuceritakan. Aku masih jengkel, entah apa yang membuat si Angel jelek itu berisik sepagi ini.

Mataku berat, seluruh badan enggan diajak bangun. Cuma telingaku yang telah berdiri, sejak suara menyebalkan itu membangunkannya. Ini akibat pertengkaran semalam, yang membuat aku tertidur lebih larut, yaitu tiga jam setelah Angelytan menutup telfonnya. Aku jadi menyesal menerima telfonnya semalam.

“Nguk nguk kruu kruu houk houk...”

“Aargg... brengsek” Suara monyet berhasil membuatku bertanduk diawal pagi.

Tiba-tiba hpku berdering, lagu Asal Kau Bahagia melantun pelan dari smartphone made in Korea Selatan, yang ku dapat dari undian pasar malam.

“Yank, kemarin ku melihatmu, kau bertemu dengannya...” ku ambil, dan ku lihat dengan tenang, kujadikan layang-layang. Loh?

Angelytan memanggil...

Membaca nama itu, tandukku memanjang. Teriakan-teriakannya semalam masih mengaungi telingaku, ditambah lagi dengan suara monyet tetanggaku yang berisik itu, aku kian emosi. Kali ini dua Angel yang sama-sama bersuara menyebalkan, akan menyerangku.

“Aduh apa lagi ini Tuhan, bisakah aku mengawali pagiku dengan hati dan pikiran yang tenang, senang dan ceria?” keluhku kesal, sebelum ku angkat panggilan itu. Pikiran jahat seketika merasukiku.

“Apa? Mau bilang aku bangsat lagi?” hah? Ketusku begitu panggilan tersambung. Kali ini aku ingin memberinya pelajaran. Memarahinya habis-habisan, membentak-bentaknya tanpa kasihan. Biar dia tahu bahwa aku juga bisa kejam, bahkan lebih kejam dari silet.

“Ka...,” terdengar suara kecil.

“Apa belum puas semalam?” aku langsung memotongnya, takkan aku beri kesempatan dia bicara.

“Ka...,” dia ingin menjawab.

“Kamu sudah berjanji untuk nggak memanggilku bang Sat, meskipun dalam keadaan marah, tapi apa? Apa yang kau bicarakan nggak seperti apa yang kau lakukan” aku memotong cepat. Sudah kubilang kan? Aku takkan memberinya kesempatan bicara.

“Aku heran dengan sikapmu yang aneh keterlaluan itu, marah-marah nggak jelas” Kuluapkan kemarahanku yang sempat tertunda semalam, yang tak lekang dimakan lelapnya tidur dan indahnya mimpi bertemu Miyabi, (Miyabi siapa ya? ada yang kenal?)

“Sebagai seorang perempuan, kamu telah gagal melukiskan keanggunan seorang wanita. Kamu telah melukai hati Ibu kita Kartini dengan sikapmu yang arogan dan nggak jelas itu” bentakku tak peduli.

Aku seperti Hitler yang memarahi anak buahnya, saat kalah perang melawan Uni Soviet. Seperti ibu tiri yang memarahi bawang putih karena lupa mengepel rumah, dan berbagai kemarahan yang pernah terjadi di dunia pesinetronan.

“Kau mengingkari janjimu, dasar perempuan aneh!” Ku akhiri omelanku.

“...” tidak ada suara bantahan dari seberang. Mungkin dia sadar atas kesalahannya? atau merasa aku kasar, karena telah membentak-bentaknya? persetan dengan semua itu.

“...” aku pun diam dengan nafas masih memburu, dadaku naik turun.

“Kamu...,” suaranya berat bernada ragu.

“Apa? Kamu kamu apa? Ketusku. Tapi seketika emosiku menurun, seperti ada yang aneh dengan suara itu.

“Kamu kamu Satya kan? pacarnya Angelytan? Suara itu bukan suara Angelytan.

“…” Aku tidak menjawabnya. Dadaku berdebar kawatir. Kubiarkan dia meneruskan ucapannya.

“Halo, kamu Satya kan, saya Marleni, ibunya Angelytan,” suara dari seberang telfon, megejutkanku.

“Apa? Ibunya Angelytan? Yang sedari tadi ku bentak-bentak tidak sopan ibunya Angelyan?” batinku gawat.

“Nguk nguk kruu kruu houk houk...” ucapku sebelum kumatikan hp.

............

Sedikit tentang pak Min, Minardi nama lengkapnya. Berwajah tirus, kulit kuning langsat (langsat busuk yang telah jatuh dari pohonnya yang terendam air di atas tanah selama dua hari maksudku) tinggi 160 cm dari permukaan bootsya yang kira-kira tebalnya mengalahkan high heels buatan LadyBwear, dengan kecepatan berlari 10 kilometer perjam, usia 34 tahun diatas usia monyetnya, pekerjaan kalian bisa lihat sendiri.

Isterinya yang kini lenyap dilahap pebinor, bernama Ceruni. Orang-orang biasa memanggilnya mbak Ce. Pertemuan mereka berawal pada pertunjukan topeng monyet. Mbak Ceruni terkagum-kagum melihat pak Min dengan keahliannya yang dapat mencerdaskan kehidupan monyet. Monyet yang bisanya hanya naik pohon, mencuri pisang petani, merusak kelapa, makan kaca (Ini monyet apa kuda lumping sih), kini bisa mengendarai sepeda dengan lihainya sambil memakai payung meskipun hujan tidak turun. Jika monyet bisa sepintar itu, berarti tuannya pasti jauh lebih pintar. Begitu kira-kira pikir Ceruni.

Pak Min sendiri tertarik dengan Ceruni, karena monyetnya. Selesai pertunjukan, monyet pak Min menghampiri Ceruni, memegang tangannya kemudian menariknya menuju tuannya yang sok tampan itu.

Pak min yang sudah berkecimpung di dunia permonyetan sejak balita, yang tidak diragukan lagi pengetahuannya tentang monyet, keahliannya melebihi pawang monyet dimanapun bahkan melebihi keahlian dokter hewan dalam bidang sistem pencernaan dan pertumbuhan monyet, antropomorfisme, mungkin begitu istilah kerennya, membaca ada sesuatu yang dilihat monyetnya itu, yang tidak bisa dilihatnya dari aurah Ceruni.

Pak Min paham betul, apa maksud monyetnya itu. Seolah-olah monyetnya berkata “tuanku yang jomblo, inilah jodohmu! Sudah saatnya kau menikah, aku tidak tega mendengar suara aneh keluar dari mulutmu setiap malam, saat berada di jamban dekat kandangku.” Pak Min senyum-senyum kegirangan.

Mereka pun jatuh cinta pada pertemuan pertama, dan menikah seminggu setelahnya. Sungguh kisah cinta yang unik, jika dinovelkan akan berjudul “MONYET PEMBAWA CINTA” dan kemungkinan besar bestseller. Penerbit, mana penerbit.

Namun sayang sungguh sayang, pernikahan yang terjadi karena monyet itu, berakhir dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebulan menikah, semuanya baik-baik saja. Tidak ada keluhan, tidak ada tuntutan, tidak ada desakan, tidak ada paksaan, tidak ada kekerasan, tidak ada simpanan, semuanya aman.

Menjelang dua bulan, tidak ada orderan, tidak ada uang bulanan, tidak ada jajan, tidak ada makanan, tidak ada pakaian, tidak ada dalaman, tidak ada make overan, tidak ada perhatian. Akhirnya tidak ada cinta-cintaan, tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, tidak ada berduaan, tidak ada malam jumatan.

Menjelang bulan ketiga, banyak keluhan, penuh tuntutan, tidak sedikit desakan, meluap paksaan, akhirnya banjir pukulan, selalu ada kekerasan dan punya simpanan. Begitulah rumah tangga yang dilalui keluarga MINCE (julukan warga pada keluarga pak Min dan mbak Ce).

Semua yang terjadi di keluarga mince, satu pemicunya, si jelak monyet. Sebagai lelaki dengan kepribadian maimouphilia, pak Min memberi perhatiannya kepada sang monyet melebihi perhatiannya kepada sang isteri. hal itu menyebabkan dia lalai dalam tanggung jawabnya sebagai seorang suami.

Akibatnya mbak Ce melirik lelaki lain yang menurutnya lebih perhatian padanya, yang kemudian dijadikannya lelaki simpanan, yang kalau-kalau nanti dia kehabisan bekal, akan di makannya leleki simpanannya itu (lelaki simpanan maksudnya apa sih?) Padahal kalau sedikit saja pak Min menurunkan egonya untuk simonyet, dan lebih memperhatikan isterinya, pasti tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hingga akhirnya terjadilah perpisahan ilegal itu. Di bulan keempat pernikahan, Mbak Ce lari bersama simpanannya. Sebenarnya bukan lari, naik mobil ke Bandara, terus naik pesawat, turun di Bandara, naik mobil lagi, ke kampung halaman simpanannya. Cukup jauh, tidak mungkin lari. Dramatis memang. Jika difilmkan judulnya begini “JANGAN ADA MONYET DIANTARA KITA” atau lebih kerennya “MONKEYS CAUSE THE DESTRUCTION OF THE BROKEN HOE” (sudah, jangan protes! Artikan saja sesuai selera), atau kalau mau terkesan horor “MONYET SIALAN PEMBAWA PETAKA” Dijamin BOX OFFICE, produser mana produser.

Pak Min kesepian, monyet yang selalu menemaninya kemanapun pergi, tak mampu menghibur hatinya yang sepi ditinggal sang isteri. Dia baru sadar kalau monyet yang sok pintar itu, yang diperhatikannya melebihi perhatiannya kepada isterinya, tak mampu membuatkannya kopi kala dia kelelahan pulang kerja, apalagi membuatkannya makanan, apalagi menemaninya tidur, nggak mungkin kan?, apalagi diajak malam jumatan (jangan ditafsirkan, jika keburu tafsir nggak usah dibayangkan) uuueeeek... plastik mana plastik? Muntah aku!

Beberapa hari lamanya pak Min tidak bekerja, hanya diam terpaku meratapi monyetnya… isterinya maksudku, yang kini hilang entah kemana. Monyetnya menatap sendu, pak Min menatap wajah monyet yang lugu itu, ada pesan yang sampaikannya “tuanku, jangan pernah menyia-nyiakan orang yang menyayangimu, nanti kau akan menyesal ketika dia telah pergi jauh darimu. Tapi kau harus sabar, tuanku. Jangan lagi kau ulangi perbuatan senonoh di jamban samping kandangku. | Cerpen Lucu Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 3

Aku tak tega mendengarnya” Pak Min memeluk monyetnya itu erat-erat sambil tersedu-sedu. Hei, kalian, yang sering menyia-nyiakan orang terdekat, belajar tu dari si monyet. Monyet!

.................

Dua hari kemudian pasca mamanya Angelytan telfon...

“Bapak? Maafkan aku ya.”

Aku mulai benci kata maaf darinya.

“Maaf apa ya? perasaan semua baik-baik saja. Aku berlaga hilang ingatan.

“Bapak, jangan gitu.” Suaranya sendu.

“Bapak? Bang Sat aja, biar keren,” ucapku dengan nada menantang.

“Hiks...hiks...” terdengar isak dari seberang. Pasti akal-akalan.

“Gggak usah senyum-senyum gitu, ah! Biasa aja!”

“Bapak... hiks...hiks...” isaknya makin keras, dan… tangisnya pun pecah. Aku tidak tega. Sepertinya dia benar-benar mau minta maaf.

“Sudah, sudah, sudah. Sini, sini, sini” bujukku dengan suara manja.

“Hu’um” jawabnya sambil tersedu-sedu. Tangisnya manja sekali, aku jadi gemes, pengen nabok. Nabok monyet di sebelah maksudku.

Singkat cerita, kita saling memaafkan, tangisnya berhenti, kita pun damai. Tiba-tiba Lagu “Kuch Kuch Hota Hai” yang entah dari mana datangnya terdengar syahdu di angkasa, seolah menjadi soundtrack perdamaian aku dan Angelytan. Seketika aku merasa menjadi Rahul, dan di seberang telfon sana, Angelytan adalah Enjely. Pagi yang beku seketika hangat. Hmm... sungguh romantis.

“Bapak? Sebentar malam aku izin keluar sama teman-teman, mau ke acara Ultah, boleh ya?” tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan formalitas, dijawab nggak dijawab ujung-ujungnya pergi juga.

“Iya, tapi jangan dandan yang menor-menor ya, norak!”

“Cuma bedak doang, sama lipstik kok”

“Bedaknya jangan ketebalan, lipstiknya juga. Nanti mukamu kayak oplas lagi, hehe...,” aku mencandainya.

“Apa? oplas? Kamu bilang aku oplas” lancang kamu ya b...,” suaranya terhenti.
Jerenggg... soundtracknya tiba-tiba berubah, seperti saundtrack dalam film “War For The Planet Of The Apes” pas adegan Kolonel Mccolldugh mau membunuh Caesar” kejam, menyeramkan.

“Apa? mau bilang bangsat lagi” dahiku mengernyit heran, diajak bercanda kok malah tersinggung? Batinku heran.

“Habis kamu keterlaluan sih! masa aku dikatain oplas? aku bilangin ayahku baru tau rasa, berani-beraninya bilang anaknya oplas”

“Iya-iya aku minta maaf” ni anak sudah tuna romantis, tunahumoris lagi. Jadi nggak lucu kan bercandanya? Nepok jidat.

“Jangan kataiin aku oplas lagi, awas!” Suaranya menurun drastis.

“Iya-iya, bawel!”

Hening...

“Bapak?”

“Iya”

“Boleh nanya nggak?”

“Apa?”

“Oplas, apa ya?”

“Maksudnya?” Aku heran.

“Iya, oplas, artinya apa ya?” Suaranya lugu tanpa dosa.

“Hah?”Jadi…,” Ampun deh, oplas nggak tau? Udah nggak tau trus marah-marah? Di situlah aku ingin menelannya hidup-hidup. Aku tidak habis pikir mengapa Malaikat dari keturunan Tionghoa itu kini menjelmaa setan yang menyebalkan.

“Benar kamu nggak tau oplas?” Sebenarnya aku sedikit tergelitik mendengar pertanyaannya sekaligus heran bercampur kesal. Masa iya perempuan tidak tahu istilah oplas (operasi pelastik)? Terus masa dia tidak tahu lalu bisa setersinggung itu saat aku bilang dia oplas?

“Oplas itu... organisasi pelakor serikat” ucapku kesal.

“Oh, jadi kamu bilang aku pelakor? sudah ku duga!” Dia sok tau lagi. Dan aku salah ngomong lagi, tinggal tunggu hitungan detik perang akan pecah. Saksikan saja!

“Duga apa?” tanyaku khawatir.

“Iya, itulah alasanku kenapa aku tersinggung ketika kamu bilang aku oplas, meskipun aku nggak tau artinya apa, tapi firasatku mengatakan bahwa oplas itu buruk maknanya. Terbukti, benar kan ucapanku?” jawabnya penuh percaya diri dengan nada suara A minor plus.

“Aduuuuh, bukan itu maksudnya, aku hanya asal jawab tadi, habis kamu sih nyesalin”

“Loh kok kamu malah nyalahin aku? Jelas-jelas kamu yang kataiin aku oplas, kalau bukan pelakor apa coba?

Aku ingin memberinya jawaban yang benar dari ucapanku, tapi percuma, dia takkan percaya begitu saja sebelum semua pikiran negatif yang berternak di kepalanya keluar menyengatku, atau sekedar menjawab dengan sesuatu yang lebih konyol yang akan membuatnya tersenyum atau tertawa mungkin? tapi aku menahan mulut usilku ini, sebab perempuan tuna humoris itu, dengan otaknya yang aneh akan salah mengartikan candaanku lagi. Aku tidak mau menambah masalah.

“Atau, oplas itu orang paling malas? Kamu bilang aku malas? pake paling lagi, cantik-cantik gini aku rajin ya”

Dia mulai lagi, firasat dan tebakan omong kosongnya memanasi kepalaku, kali ini bukan hanya tanduk yang timbul, telingaku berapi, hidungku berasap. Namun sebagai lelaki sejati, aku harus mengalah di depan perempuan, aku harus lebih bisa menjaga emosiku. Kuputuskan menjawab pertanyaannya dalam hati dengan suasana santai, agar aku tidak terpancing emosi. Kubiarkan dia berimajinasi dengan pikirannya yang omong kosong dan aneh itu tentang satu kata, oplas.

“Oplas, orang paling malas? Cocok tapi bukan itu jawabannya, yang lain! Batinku. Ku anggap saja ini kuis tebak-tebakan, aku MCnya dia pesertanya, peserta paling bodoh. Aku tersenyum jahat, mencoba membalas perlakuan semena-menanya lewat batinku.

“Oplas, orang pelampiasan? kamu bilang aku kayak orang pelampiasan?” teriaknya.

“Bisa jadi, tapi salah. Anda kurang cerdas!” batinku lagi, dengan senyum meremehkan.

“Atau orang paling sinting?” suaranya makin tinggi, persis suara monyetnya pak Min. Aku tetap santai. Bagiku sekarang dia bukan lagi pacarku yang sedang menginterogasi kesalah-ucapanku atau ketidakpahamannya tentang ucapanku. Dia adalah peserta kuis yang sok tau.

“Atau… orang... orang...,” sepertinya dia mulai kehabisan akal.

“Orang apa? Orang aring? Apa? Cuma sebatas itu kemampuanmu? Hah? Batinku, dengan membesar-besarkan mataku. Alisku naik-turun.

“Orang...” selesai kau sekarang, nggak tau kan? Makanya jangan sok tau. Atau ada penonton yang mau membantu perempuan aneh itu? Mau ikut-ikutan sok tahu? Silahkan! Meskipun sekarang aku bisa menahan amarahku dengan berpura-pura jadi MC kuis, namun rasa kesal masih bergemuruh di dadaku. Silahkan saja kalau mau menambah kekesalanku? ayo!

“Bapaaaaaak?” dia meneriakiku, keras sekali, hingga yang ku dengar bukanlah “bapak” melainkan “bangsat.” Aku tetap diam tak peduli.

“Jawab atau ku panggil bangsat lagi” dia mengancamku.

Mendengar ancaman itu aku naik pitam. Kali ini aku nggak boleh kalah sama perempuan. Cukup selama ini aku diintimidasi dengan panggilan bang sat, kali ini jangan sampai. Batinku, berontak.

“Oplas itu... otak pendek laksana setan” teriaku. Aku matikan hp, sebelum kata bangsat ku dengar keluar dari mulutnya. Dengan cepat kubuka casing hp, kukeluarkan simcard didalamnya. Lalu ku patahkan. “Rasaiin kamu,” geramku..

Kali ini dia tak bisa membangsat-bangsatin aku lagi lewat pesan, apalagi telfon. Kututup kembali hp dengan membiarkannya mati. Aku membayangkan bagaimana rasanya Angelytan melampiaskan kemarahannya yang tidak sempat diungkapkannya itu, pasti dia memaki-maki sendiri. Biarin, yang penting aku tidak mendengrnya.

Kunyalakan tv dalam kamar, aku ingin menghibur diri dan melupakan sejenak tentang wanita aneh itu.

“Jaran goyang menunggumu...“ suara dari tv begitu kunyalakan. Lagu Jaran Goyang berdendang ria menjogetkan hatiku yang lagi kesal.

“Satyaaaa... Satyaaaa...” terdengar suara memanggil namaku dari luar kamar. Suara mamaku.

“Ada apa ma?” jawabku dari dalam kamar, kukecilkan volume tv, aku penasaran!

“Santi telfon ni, dia mau bicara sama kamu”

“Santi?” aku langsung teringat mantanku Santi, mengapa dia telfon. Pasti dia rindu suaraku yang merdu ini. Santi adalah mantanku yang selelu minta dinyanyikan setiap kali menjelang tidurnya. Bukan karena dia suka lagu, tapi karena suaraku yang merdu ini membuatnya terbang ke alam mimpi, ukhuk… ukhuk… aer mana aer, batuk!

Aku segera beranjak dari kamar, menjemput suara Santi. Barang kali bicara sama Santi bisa menghilangkan stresku yang berlipat-lipat ini. Pikirku.

“Mana, ma?” pintaku pada mama.

“Ini!” mama menyodorkan hpnya.

Dengan cepat ku ambil hp ditangan mamaku, dan membawnya ke kamar. Aku ingin ngobrol berdua dengan Santi.

“Halo” sapaku dengan senyum mengembang.

“...”Tidak ada jawaban

“Halo... Santi? Kok diam?”

“Bangsaaaaaat, bangsaaaaat” jawabnya teriak-teriak. Kata itu menghujamku, tanpa jeda, tanpa ampun. Aku kaget, aku kenal suara itu. Aku melihat nomor yang terpampang di layar hp…

“I...i....i?”

“Ya! ini aku, Angelytan, kenapa kamu matiin hp? hah? Bangsat!

“Tut...tut...tut...” dia mematikan hp.

“Buummm” Kepalaku meledak. | Cerpen Lucu Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 3