Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 2

“Yank, kemarin ku melihatmu, kau bertemu dengannya…,” nada panggil dari hpku, membuat mata yang ku rasa belum lama terlelap ini, kembali terjaga. “Ku rasa sekarang kau masih memikirkan tentang dia….” Nada panggil itu adalah lagu kesukaannya pacarku. | Cerpen Lucu Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 2

Lagu dengan judul “Asal Kau Bahagia”, yang dinyanyikan oleh salah satu Band ternama Indonesia itu mendadak jadi lagu favoritnya, semenjak dia memergoki aku dan mantanku makan bersama di sebuah Restaurant, ... kantin maksudku. Boro-boro makan di Restaurant di kantin saja kadang aku masih ngutang.

Dia menuduh bahwa aku sengaja menemui Indah, mantanku. Padahal yang namanya kantin kan tempat umum, yang siapa saja bisa makan di situ. Lagi pula aku dan Indah tidak duduk sebangku. Kita hanya makan semeja, berdua!

Sejak saat itu pula, dia sering menyanyikan lagu tersebut untukku kala kita bertemu, atau lagi telfonan. Aku dibuat risih dengannya. Bukan karena lagunya, tapi karena suaranya yang sumbang menyebalkan. Bahkan sesekali dia mengirimiku pesan, dengan isi dari rilik lagu tersebut. Lalu memintaku (memaksa tepatnya), menjadikan lagu “Asal Kau Bahagia” sebagai nada panggil, di hpku.

Alasannya agar setiap kali dia tefon, aku selalu ingat atau merasakan seolah-olah dia sedang melihatku saat itu juga. Tujuannya cuma satu, agar aku tidak lagi berurusan dengan siapapun mantanku. Padahal aku tidak pernah macam-macam meskipun di belakangnya, pikirannya saja yang selalu macam-macam padaku. Sekali lagi! aku tidak pernah menyengaja pertemuan dengan Indah di kantin itu, suasanalah yang membuat kami makan di meja yang sama.

Dua hari yang lalu, kejadian yang sama kembali menimpaku, ditempat yang sama namun dengan tokoh mantan yang berbeda. Dan ini lebih dramatisasi. Pacarku memergoki aku makan bersama Rina mantanku. Kejadian itulah yang mejadi pemicu pertengkaran diantara aku dan dia waktu itu. Aku dibangsat-bangsatin lewat sms. Kalian tau apa yang terjadi setelah itu? Tiba-tiba dia telah berdiri disamping meja makanku. Ternyata dia sudah berada dikantin sejak lima belas menit yang lalu, sambil memperhatikan aku dan Rina yang lagi makan.

“Bangsat!” teriaknya. Suaranya mengundang tatapan pengunjung kantin yang waktu itu lagi rame. Aku mencoba untuk menjelaskan bahwa apa yang dia lihat tidak seperti apa yang dia pikir. Namun terlambat. Byurrr! Air obokan di hadapanku ditumpahkannya ke wajah Rina. Dengan cepat pulah tangannya meraih batok sambal yang berisikan sambal penuh, dan menumpahkannya ke arahku. Untung aku bisa menghindar. Melihatku menghindar, tempat sambal yang masih dalam genggamannya langsung dilayangkanya padaku, dan berhasil tepat mengenai kepalaku. Lumayan sakit ketika batok berbahan melamin itu mengenai kepalaku, namun rasa sakit itu dikalahkan oleh rasa malu yang sudah menyelimutiku.

Seketika kantin menjadi heboh, oleh adegan film “PACARKU ADALAH MANTAN DARI PACARNYA DIA ITU TERNYATA BUKAN PACAR MANTANNYA MELAINKAN MANTANKU PACARNYA ADALAH AKU BUKAN DIA” sudah kayak film yang di INDOSISIR aja. Para pengunjung kantin sontak melihat ke arah kami. Menyaksikan pertunjukan yang tidak bermanfaat. Memalukan memang!

Pacarku langsung berlalu pergi. Sedangkan Rina dengan sikap pediamnya, tidak melakukan apa-apa, namun matanya menatap kejam padaku. Seolah-olah aku yang paling bertanggung jawab atas kejadian itu. Karena sejak awal aku yang memintanya makan di mejaku. Kulihat kantin sudah sesak. ada satu dua bangku yang kosong namun disamping kiri-kanannya diduduki oleh beberapa om-om. Kasian kan? dari pada dia duduk dekat om-om mending sama aku. Bukan modus loh ya. Ada raut enggan diwajahnya kala aku menawarinya makan bersama. Mungkin dia takut dekat-dekat denganku lagi. Karena wajahku yang lumayan tampan ini bisa membuatnya kembali jatuh cinta. Eyaaaah.

Aku hanya terdiam menunduk malu. Ku tatap lagi wajah Rina. Dia masih menatapku. Bola matanya membesar, “bangsat!” pasti itu yang ingin dia ungkapkan. Aku benar-benar malu dengan kejadian itu. Belum lagi aku harus berurusan dengan ibu kantin yang galaknya minta diruqiyah. Ah sudahlah. Benci aku menceritakannya.

Sejenak ku lirik jam di dinding kamarku. Pukul 00:05 WITA. Sudah ku duga! aku baru terlelap duapuluh menit yang lalu. “Ah sial, siapa sih yang telfon malam-malam? Ganggu orang tidur aja!” ketusku kesal. Dengan malas kuraih hp di atas meja kecil, samping ranjang tempat tidurku. aku melihat ke layar hp sebelum memutuskan untuk mengangkatnya. Jika yang telfon nomor baru, aku akan mematikanya. Jika dia telfon lagi, aku akan menjawabnya singkat. Sekedar untuk memberinya pelajaran, karena sudah berani mengganggu ketenanganku. “he, bangsat! Lo ngga tau ini jam berapa? hah?” klik, aku matiin. kira-kira begitu skenarionya. Keren!

Aku terbelalak begitu melihat nama yang muncul dilayar hp.

“Angelytan” (enjelitan) Memanggil...

Ini pertama kali dia menghubungiku semenjak kejadian dikantin dua hari yang lalu. Mungkin dia mau minta maaf karena sudah membuatku malu saat itu, pikirku.

Sedikit tentang Angelytan. Dia adalah wanita keturunan Tionghoa-Gorontalo. Oleh ayahnya, dia diberi nama Angel Tan. Angel (Inggris), sedangkan Tan diambil dari marga opanya yang berdarah Tionghoa asli. “Malaikat dari keluarga Tan,” begitu kira-kira maknanya.

Namun semenjak Angel mendapatkan haid pertamanya, dia mulai tidak suka dipanggil Angel. Karena terlalu banyaknya nama seperti itu, khususnya di desa tempat dia dilahirkan. Maka untuk membedakan dengan Angel-Angel yang lain, digabungkannya Angel dan Tan dengan menambahkan huruf Y diantara keduanya sebagai penyambung. Tidak cukup sampai disitu, dia meminta ayahnya untuk mematenkan nama Angelytan dengan cara mengganti nama di akta lahirnya. Sungguh anak yang merepotkan.

Hingga sekarang dia dikenal oleh teman-temannya sebagai Angelytan. Meskipun beberapa warga kampung masih memangilnya dengan sebutan enjel (Angel). Aku sendiri jarang memagilnya Angelytan. Sekali dua kali mungkin pernah.

Bicara soal Angel, aku jadi ingat monyet tetanggaku. Namanya Angel. Aku suka geli mendengar pak Min saat melatih monyetnya itu untuk pertunjukan topeng monyet. “Angel pergi ke pasar. Angel naik sepeda. Angel memakai payung,” kata pak Min dengan teriak-teriak. “Angel pergi kepasar naik sepeda sambil memakai payung.” Ah, persis seperti pacarku saat disuruh ibunya kepasar. Aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Terus aku membayangkan bagaimana kalau pacarku tahu soal ini. Pasti dia akan lebih risih lagi dipanggil Angel.

Namun disaat bersamaan aku suka jengkel sama pak Min dan monyetnya itu. Karena saat si Angel monyet ini membangkang, alias tidak nurut sama perintahnya, disuruh ke pasar malah kesasar, disuru pake payung malah pake gayung, diminta naik sepeda malah naik kuda, maka pak Min akan meneriakinya “monyet bangsat! monyet setan!” terdengar kemudian teriakan histeris dari si monyet. Berisik sekali. Pasti dipukuli. Ngga tau apa aku trauma dengan kata bangsat? Seketika muncul pikiran nakalku, untuk meracuni monyet itu. Bila perlu sama pak Min sekalian. Kesal aku!

“Apa kurangnya aku (sambung nada panggil) di dalam hidupmu, sampai kau curangi a…” Kuangkat!

“Hmmm” jawabku malas

“Halo” suara lembut menyapaku.

“Hmmm”

“Bapak” Suara dari seberang telfon memanggilku manja. Aku kaget. Rasa kantukku tiba-tiba hilang. Ada yang aneh!

Bapak? Ni orang kesambet kali ya? Batinku, sambil kulihat lagi layar hpku. Mengecek apa benar yang telfon ini Angelytan. Benar, ini nomornya. Karena tidak ada Angelytan lain di kontakku selain nama pacarku. Tapi mengapa dia tidak memanggilku bang Sat? malah bapak?

“Bapak, sudah tidur ya? Dia memanggilku bapak lagi. Manja sekali.

“Tan? ini kamu kan?” Tanyaku meyakinkan. Meskipun ku tahu itu memang suaranya. “Bapak? maksudnya apa sih?” Tanyaku heran.

“Hehe, kaget ya? Jadi, setelah aku pikir-pikir, panggilan bang Sat itu nggak baik kedengarannya…” Baru sadar dia.

“Terus menggantinya dengan bapak?” Potongku cepat.

“Hu’um.” Manjanya lagi.

“Kamu nggk lagi mimpi kan, sayang? Coba, jam berapa sekarang? Coba tampar pipimu kalau sakit! Atau coba benturkan kepalamu di dinding!” Pintaku meyakinkannya, jangan-jangan dia salah bicara.

“Apaan sih, aku sadar kok, Bapak.” Suaranya makin manja.

“Tapi, kok, tiba-tiba begini?” Aku heran dengan dua keheranan. Pertama mengapa tiba-tiba dia tidak memanggilku bang Sat. Kedua, mengapa panggilannya diganti bapak, bukan yang lain. “Trus kenapa bapak? coba!” tanyaku dengan nada protes. Meskipun ada rasa senang dihatiku karena tidak lagi dipanggilnya bangsat, eh bang Sat maksudku. Tapi mengapa harus bapak? Kedengaran tuaan dong aku. Masa semuda ini dibilang bapak-bapak? Ah dasar perempuan tuna romantis.

“Kenapa nggak suka?” Suara yang tadinya manja, tiba-tiba datar.

“A..., aku suka kok. heran aja” Apa bedanya? aku bilang tidak suka juga pasti dipaksanya.

“Oh kirain. Hehe…Biar beda aja sama yang lain. Kalau kanda, kak, mas, honey, bunny, sweety udah mainstream itu. Dan, Bapak itu lebih mesrah loh.” Suaranya kembali manja.

“Yakin itu alasannya? aku belum puas dengan jawabannya. Masa iya tiba-tiba pikirannya berubah? kemarin saja aku bujuk-bujuk dengan seribu satu cara sambil ngemis-ngemis, agar dia tidak memanggilku bang sat, tidak ada satu pun yang mampan. Malahan aku semakin dibangsat-bangsatin.

“Hehe.. kepo nih kepo. Jadi, kemarin waktu di Kampus, teman-temanku tanpa sengaja mendengar aku lagi bicara denganmu ditelfon. Mereka mendengar aku menyebut kata bang Sat berkali-kali. Mereka pikir aku sedang marah. Yang membuat mereka heran aku senyum-senyum waktu itu. Penasaran, mereka pun bertanya padaku. “kamu kok aneh begitu?” Tanya Ayu. “Iya aneh” Sambung Ningrum. Temanku yang satunya. “Aneh bagaimana ?” tanyaku heran. Kami dengar kamu lagi memaki-maki tadi ditelfon, tapi kok sambil senyum-senyum? Jawab Tasya temanku yang satunya lagi. Aku tertawa mendengarnya.

Ku jelaskan pada mereka, kalau bang Sat itu adalah pacarku. Namanya Satya. Makanya ku panggil bang Sat. mereka jadi ngangak. Trus setelah itu malah nasehatin aku. Kata mereka beginilah, begitulah. Yang intinya, menurut mereka bang Sat itu ngak bagus kedengarannya dan nggak pantas disematkan pada nama orang lain apalagi pacar sendiri. Dari situ aku mulai mikir, nggak enak juga ya, jika didengar orang-orang. Nanti mereka sangka kita pasangan yang nggak romantis, lagi!

“Ya ampun sayang, jadi semua ini karena teman-temanmu? Kamu lebih mendengarkan perkataan teman-temanmu dibanding aku, pacarmu? Ya Tuhan cabut nyawa teman-temannya,” batinku, tak habis pikir. Tapi nggak apa-apa lah. Apapun alasannya, yang jelas saat ini aku senang. Karena tidak dipanggil bang Sat lagi. Pikirku.

“Terus kenapa gantinya bapak?”

“Selain beda, bapak itu kesannya lebih terhormat dan berwibawa. Sebagai pacar yang baik, aku ingin menghormati, dan menghargaimu. Menyanjung dan memujimu. Jika selama ini kamu merasa rendah dipanggil bang Sat, maka sebagai gantinya, ku sematkan bapak untukmu. Agar kamu merasa dihormati dan lebih berwibawa lagi.” Sungguh! senang aku mendengarnya. Ini kali pertama aku mendengar kata sebijak itu, keluar dari mulut perempuan tuna romantis seperti dia. Luar biasa! | Cerpen Lucu Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 2

“Jadi sekarang, saya dipanggil bapak nih?” godaku

“Hu’um.” Manjanya.

“Nggak bang Sat lagi?”

“Hu’um”

“Ah, tapi kalau nanti marah, aku pasti dibangsatin lagi”

“Hehe, kalau itu aku pikir-pikir dulu”

“Ngga mau ah,” ketusku.

“Ih, ngambek. Jelek tau”

“...” aku diam

“Ya sudah! iya, iya.”

“Iya apa?”

“Nggak bangsat lagi kalau marah”

“Janji?”

“Hu’um”

“Sini!”

“Ngapain?”

“Peluk guling”

“Nakal ya. oh ya, aku minta maaf soal kejadian di kantin kemarin”

“Nggak apa-apa, aku sudah melupakannya…” setelah itu aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Akhirnya dia paham. Dan sekali lagi kata “maaf” keluar dari mulutnya. Kita damai!

“Sudah senang sekarang?”

“Iya dong. Makasih ya, tidak memanggilku bang Sat lagi, ibu.” Dengan spontan kupanggil dia ibu.

“Ibu?” suaranya seperti sedang menahan tawa.

“Iya, Ibu! Ibu itu terhormat dan romantis, bukan?” ucapku sambil senyum-senyum.

“Ciye… yang bapak ibuan,” godanya.Kurasa dia juga sedang senyum-senyum

“Ibu?” Panggilku, mengajaknya bercanda.

“Bapak”

“Ibu”

“Bapak”

“Ibu”

Begitu terus selama lima menit. Aku dan dia saling memanggil dengan panggilan baru kami. Yang ditutup dengan tertawa bersama. Sungguh malam yang hangat.

“Bapak, Boleh kah aku menyanyikan satu lagu?” Sambungnya tiba-tiba. Pertanyaan formalitas!

“Duh, lagu itu lagi” batinku, khawatir. Aku khawatir karena setiap kali setelah dia menyanyikan lagu “Asal Kau Bahagia” pasti akan ada pertengkaran sesudah itu. Karena lagu itu akan mengingatkannya dengan mantan-mantanku. Dan itu akan mengundang amarahnya. Semoga saja kali ini tidak!

“Yang, kemarin ku melihatmu, kau bertemu dengannya…,” tanpa jawaban dariku, suara sumbang menyebalkan itu langsung menciderai indra pendengaranku lagi. Seperti biasa, lagu “Asal Kau Bahagia” kembali mewarnai percakapanku dengannya.

“Oh iya, tadi di awal bapak panggil aku tan?, tan maksudnya apa? Tanyanya dengan suara yang tiba-tiba kehilangan manja. Aku merasakan ada hal yang aneh dengan pertanyaan itu, hal yang akan merubah suasana hangat malam ini menjadi petaka.

“Oh, aku tau, aku tau!” sambungnya tanpa menunggu jawaban dariku. Ah, pasti sok tau. Pikirku. “Tan? mantan maksudmu? Kamu panggil aku mantan? suaranya mulai meninggi. Tuh kan dia sok tau.

“Ya ampun sayang, kamu itu kok cemburuan bangat sih (bego amat tepatnya), Tan itu panggilan singkat dari namamu, Angelytan. Masa gitu aja nggak ngerti?” jelasku santai. Ku kira dia paham maksudku.

Semenjak kejadian memalukan di kantin dua hari yang lalu itu, aku memutuskan memanggilnya Tan jika kita komunikasi lagi. Aku pikir selama ini sering memanggilnya “sayang” sebegai bentuk cinta dan penghormatan padanya, dan agar dia sadar kalau aku ingin panggilan yang serupa atau paling tidak memiliki maknya yang sama. Tapi dia malah memanggilku dengan nama yang sama sekali tidak pernah ku inginkan. Aku tobat memangilnya “sayang.” Awalnya aku ingin memanggilnya Angel saja, tapi pasti dia tidak akan suka. Kalau “Angelytan” kepanjangan menurutku, ya sudah “Tan” saja, pikirku.

“Ah, aku nggak percaya. Kamu pasti masih menyimpan nomor mantanmu dan sering menghubunginya. Ketahuan sekarang kan?” suaranya sudah jauh dari kata manja.

“Tuh kan kamu suuzon lagi, bisa nggak berpikir positif,” tanggapku tenang. Mecoba menetralkan suasana. Aku sudah mencium aroma pertengkaran.

“Intan? Iya intan. tan itu Intan, mantanmu. Jadi kamu kira aku Intan? Suaranya pecah.

“Kamu kok nggak percaya si sayang?” Aku mulai kesal.

“Ngaku aja, udah keceplosan juga masih aja boong” Mancing emosi ni anak.

“Aku ngga bo...”

“Atau tante? tan, tante? Kamu masih menghubungi tante-tante genit itu? Potongnya cepat.

“Dengar dulu sa...”

“Apa? Sa apa, kamu mau bilang aku Santi? Parah kamu ya” potongnya lagi. Kepalaku tiba-tiba bertanduk.

“Bukan, makanya deng...”

“Oh, atau karena aku sekarang gendutan, trus kamu panggil aku, tan? tan gendutan, kan? Keterlaluan kamu!

“?... ?... ?...” aku ketawa namun segera ku tahan sebelum sempat mulutku terbuka. Tanduk di kepalaku tiba-tiba hilang. Segera kututup mulut dengan bantal sebelum tawaku pecah. Marah sih marah sayang, bego jangan! Masa iya tan gendutan? Hadeeew. Batinku dengan bantal masi penempel dimulut.

“Apa? Jawab dong, jangan diam aja! Ditanyiin juga” Suaranya masih diatas normal.

“Kamu tu maunya apa sih? dibilangin nggak percaya. Apa mau aku iyaiin nih? Biar kamu puas? Iya kamu Intan, kamu itu tante, kamu itu mantan, kamu itu gendutan. Puas?” teriaku sambil menahan sisa tawa.

“Aku nanya baik-baik, kenapa kamu teriak-teriak? Lagian kamu selama ini nggak perah panggil aku tan, sekali pun nggak pernah. Sekarang jujur, tan itu siapa?”

“Sudah dibilangin bukan siapa-siapa, juga” aku kembali kesal. Tandukku tumbuh lagi, panjang berapi.

“Siapa hayo siapa.” teriaknya.

Ni anak maksa bangat ya? akhirnya aku muntab, “setan! tan itu setan” teriakku balik.

“Apa? Jadi kamu panggil aku setan? Bangsat kamu!”

Tut… tut… tut…, panggilannya terputus. Di matiin kayaknya.

“Perempuan aneh.” Ku letakkan kembali hpku diatas meja sambil mengerutu.

Dua menit…

Hpku bergetar beberapa kali, pertanda ada sms masuk lebih dari satu. Pikiranku langsung tertuju pada satu kata, “bangsat.” Segera ku buka pesan.

Tidak salah lagi. Sepuluh sms kata bangsat tanpa spasi kembali mengotori kontak masuk pesanku.

Ah sial, Aku kembali bangsat. | Cerpen Lucu Namaku Adalah Bangsat Alias Bang Satya Part 2