Seorang gadis berseragam sekolah dasar lengkap tas yang menggelayut di punggung, berlari cepat memasuki sebuah rumah sederhana bercat abu-abu. | Cerpen Motivasi Nafas Hidupku Hanya Untuk Bunda Seorang
Matanya tampak begitu berbinar, menyiratkan kebahagiaan yang mendalam.
"Assalamu'alaikum …," salamnya bergemuruh.
Tetapi, tidak ada siapa-siapa di dalam. Hanya perlengkapan rumah yang bisu, tidak bernyawa.
"Bunda?" dengan senyum yang tidak berkurang, ia menyisir setiap ruangan. Berharap menemukan sosok wanita yang telah melahirkannya tersebut. Tetapi, nihil. Ia tidak menemukan siapapun di sana.
Sedikit kecewa, dihempaskan tubuhnya ke sofa. Secarik kertas lembar jawaban bernilai seratus, yang sedari tadi digenggamnya, ditatap lekat.
"Bunda pasti senang!" ada perasaan bahagia bercampur bangga. Sungguh, ia ingin segera bertemu dan memperlihatkan nilai tersebut pada Bunda. Tapi sayang, keinginnya harus ditahan.
Tiba-tiba, perut mungilnya yang sedari pagi belum diisi apapun selain segelas air putih hangat, mengeluarkan bunyi seperti bergetar. Lapar. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju ruang makan. Dibukanya tutup saji yang selalu berada di atas meja makan. Sekali lagi, ia harus menghela napas berat. Kosong. Tidak ada apapun di sana.
Lantas ia memeriksa lemari es. Barang kali bisa menemukan sesuatu yang bisa mengganjal perut. Tapi, kondisinya sama saja. Kosong melompong. Hanya ada sebotol air putih.
Lantas ia memeriksa lemari es. Barang kali bisa menemukan sesuatu yang bisa mengganjal perut. Tapi, kondisinya sama saja. Kosong melompong. Hanya ada sebotol air putih.
"Bunda pasti tidak punya uang untuk membeli makanan," ia mengiba, "tidak apa-apa. Kalau begitu, Naila mau minum saja, supaya kenyang!"
Naila membawa sebotol air putih beserta gelas plastik merah muda ke ruang utama. Selagi menunggu Bundanya pulang, ia meminum beberapa gelas air, hingga perutnya terasa penuh dan ia mulai terlelap.
"Braaakkk …,"
Tepat pukul sembilan malam, pintu terbuka dengan keras. Membuat Naila yang kala itu masih terlelap, langsung terkesiap. Seorang wanita paruh baya, berpakaian dress mini warna biru dongker, dan polesan make-up tebal, masuk dengan terhuyung-huyung. Dari mulutnya semerbak aroma alkohol pekat. Kontan, Naila langsung berhambur.
"Bunda, apa Bunda tidak apa-apa?" baru saja gadis berusia sekitar tujuh tahun itu hendak membantu memapah sang ibu yang berada di dalam pengaruh alkohol, ia langsung didorong keras, membuatnya tersungkur ke lantai.
"Diam, kau, anak setan! Jangan berani-berani menyentuhku!" teriaknya, penuh penekanan.
"B-bunda …," bulir bening mulai berkumpul menghiasi bola mata indah berbulu lentik tersebut.
"Apa kau? Tak perlu menangis-memangis begitu lah, kau! Buruk rupamu! Mending cepat ambilkan air minum!" Wanita itu menghempaskan pantat ke sofa. Kaki yang masih mengenakan higheels setinggi lima belas senti, diangkat ke atas meja. "Cepat! Kau mau membuatku mati kehausan, hah?" bentaknya lagi, ketika melihat Naila masih berada di posisinya.
"B-baik, Bu!" sesegera mungkin, Naila bergegas menuju dapur. Dilapnya air mata yang sudah melembak melalui sudut netra.
"Tidak apa-apa, Nay. Bunda pasti sedang capek, jadinya begitu. Bunda sayang Naila. Naila anak Bunda, bukan anak setan, " batinnya berkata, mencoba menghibur diri sendiri.
Naila. Gadis yang lahir tanpa ayah. Hanya hidup berdua bersama sang Ibu yang tidak jarang kalap tanpa sebab. Teriakam, makian, bahkan pukulan menjadi santapan sehari-hari. Salah sedikit, ia pasti harus merelakan tubuhnya dihantam rotan berkali-kali. Sakit, tetapi sedikit pun tidak pernah ia menjadi membenci apalagi membangkang. Baginya, asal itu membuat Bunda bahagia, ia rela. Karena baginya, Bunda adalah harta paling berharga di dunia.
"Naila, Ibumu pelacur, ya?" ujar salah satu teman sekolahnya di suatu pagi, di hadapan anak-anak lain.
"Bukan!"
"Iya, kata Ibuku, Ibunya Naila itu pelacur! Pulangnya suka malam-malam, terus dianter om-om gendut!" timpal yang lain, membuat wajah Naila memerah. Bukan karena malu, tapi marah.
"Bohong! Jangan percaya mereka! Ibuku bukan pelacur! Dia wanita baik-baik!" Volume suaranya naik beberapa oktaf.
"Wanita baik-baik kok suka mabuk! Udah jelas, Ibumu itu pelacur!"
"Bukan! Ibuku bukan pelacur!" dengan kekuatan penuh dan emosi yang membumbung tinggi, dihajarnya kedua gadis sebayanya tersebut. | Cerpen Motivasi Nafas Hidupku Hanya Untuk Bunda Seorang
Air mata terus mengalir, Naila menghantamkan kepalan tangan tanpa jeda, membuat keduanya tidak mampu melawan. Kontan anak-anak lain ribut. Mereka berusaha memisahkan, sebagian melapor guru.
"Dasar kau tidak tahu diuntung! Bisa-bisanya kau mempermalukanku dan berkelahi di sekolah, hah!"
Tidak henti, Bunda mendaratkan rotan di betis ramping gadis tersebut, setelah kepulangannya dari sekolah Naila karena panggilan guru atas laporan perkelahian yang dilakukan anaknya.
"Tapi mereka mengatakan bahwa Bunda itu pelacur!" Naila mencoba menjelaskan di tengah-tengah tangisannya menahan sakit.
"Kalau aku memang pelacur, terus kenapa, hah? Kau malu punya Ibu sepertiku? Aku yang malu punya anak setan sepertimu!" tanpa perasaan, wanita kejam itu menyiksa putri kandunganya sendiri, "ke sini, kamu! Akan kuberi pelajaran agar kau tidak bertingkah!" diseretnya Naila, menuju kamar mandi seluas dua meter kali dua meter tersebut.
"Ampun, Bunda! Ampun!" Naila meronta, berharap bisa melepaskan diri. Tetapi, cengkeraman sang ibu di lengannya terlalu kuat.
"Rasakan ini!"
"Amp …, blurrrbbb …," belum sempat bicara, Sang ibu sudah memasukan kepalanya ke dalam bak. Mengangkat, lalu memasukannya kembali. Begitu berulang-ulang.
"Kau seharusnya mati sejak dalam kandungan! Hidupku seharusnya bahagia seandainya kau tidak pernah ada di dunia! Dan sekarang kau malah membawa masalah! Dasar persetan!" seperti kesetanan, Nyonya Firgina - ibunda Naila, menyiksa. Hingga sang anak kesulitan bernapas.
Bluugg …,
Dihempaskannya gadis yang sudah lemah itu ke lantai. Tanpa berkata apapun, wanita setinggi 165 cm tersebut, keluar. Meninggalkan putrinya yang terkulai lemas.
Nyonya Firgia. Seseorang yang tiada pernah mrngasihi anaknya barang sedetik, karena musibah yang ia alami delapan tahun yang lalu.
Dulu, ia adalah seorang pramugari yang sudah melanglang buana ke seluruh penjuru dunia. Kehidupannya begitu sempurna dengan karir dan keluarga yang bahagia. Sampai bencana, datang menimpa. Delapan orang perampok membobol rumah, mengambil semua harta yang ada juga membunuh seluruh anggota keluarganya. Ibu, Ayah, dan tiga orang adik juga dua orang assisten rumah tangga. Hanya dia yang nyawanya tidak direnggut. Tetapi, justru hal tersebut adalah malapetaka besar bagianya. Sebab, mereka merenggut kehormatannya secara bergiliran. Menghasilkan janin yang hari ini sudah berusia tujuh tahun; Naila.
Sejak saat itu, karirnya hancur. Ia tidak lagi memiliki keluarga.
Bahkan, tunangan yang beberapa bulan lagi akan menikahinya, pergi meninggalkan. Hidup Firgia benar-benar hancur sejak saat itu. | Cerpen Motivasi Nafas Hidupku Hanya Untuk Bunda Seorang
Bukan sekali-dua kali, Firgia berusaha bunuh diri.
Lima belas kali ia mencoba, lima belas kali pula usahanya gagal.
~ Bersambung ~