Betapa Bodohnya Aku Yang Mencintainya

Satu istilah yang menggambarkan seluruh emosi manusia. Saat di bangku kuliah, fakultas ini cukup menyita banyak tenaga dan kinerja otak untuk pembahasan serius dan dalam. Banyak yang berkata itu sulit, karena tak semua orang dapat menjalaninya. | Cerpen Cinta Betapa Bodohnya Aku Yang Mencintainya

Tapi aku suka.

Dari kecil, bahkan sejak umurku belum genap delapan tahun, aku selalu suka detektif. Cara pria berseragam cokelat itu menganalisis masalah, memberi solusi, memecahkan kasus. Semua sungguh keren. Ehm, tapi untuk seragam cokelat, mungkin hanya beberapa saja.

Namun meski suka detektif, bukan berarti profesi itu menjadi cita-citaku begitu saja. Aku benci perkelahian, pertumpahan darah, apalagi jika itu mengancam nyawa orang sekitar. Maka detektif bukan pilihan tepat.

Sebagaimana lulusan fakultas psikologi pada umumnya, aku menjabat sebagai psikiater. Berbeda memang, tapi kurang lebih sama dengan detektif yang menolong orang bermasalah. Aku kan juga begitu.

“Sayang, kok belum berangkat? Udah jam tujuh lo ini, nanti kalo ada pasien nungguin gimana?” suara merdu membuyarkan lamunan.

Kulirik perempuan manis di sisi, tersenyum hangat membelai ranbut panjangnya. Kami resmi terikat dalam hubungan suami istri kemarin, sungguh bahagia bisa bersanding dengan seseorang yang kucinta.

Aku menepuk jidat pelan, bisa-bisanya tadi aku melamunkan pekerjaan dan cita-cita setelah malam pertama. Aneh memang, tapi psikiater memang impian dari kecil. Kupeluk tubuh istriku, menggelitiknya pelan.

“Capek, males. Hari ini libur dulu ah. Kan kita baru aja nikah, gak apa dong.” rengekku manja.

“Kan ... pasti deh maunya,” Via tertawa kecil. Ya, namanya Via. “kata kamu bantu pasien penting, menolong orang penting. Gimana kalo nanti ada yang ke sana?”

“Ya kan kalo ada, kalo gak ada? Boleh dong lanjut sama kamu, kan Via lebih penting.”

Dia tertawa, mencubit lenganku pelan. Dulu sewaktu pacaran, anak ini memang benci dirayu, katanya kalimat-kalimat indah tetap saja busuk kalau tidak dengan kepastian. Tapi kalau sudah menikah? Tak apa bukan?

Nigtmares creep while you and me repeat
The bittersweet heat is suffocating
I’m waiting and always hesistating
Kryptonite desire set my heart afire
Heart on fire, set my heart afire

Baru saja ingin kembali mencumbunya, ponselku berdering. Lagu ‘Heart Afire’ dari Devqwop melantun nyaring. Seseorang sedang menelfon, pasti pasien. Aku memang memasang website pribadi dan mencantumkan nomor di sana, tak aneh jika ada panggilan masuk tiba-tiba.

“Tuh kan ada pasien, urusin dulu sana. Aku tunggu kok sampai kapan pun, bahkan sampai mati sekali pun.” Via berujar lembut, mendorongku pelan.

“Halah, gombal nih.”

Setelah berbicara pelan dengan seseorang di seberang telepon, aku segera mandi dan merapikan pakaian. Siap-siap untuk berangkat ke tempat kerja. Tak jauh, hanya dua-tiga kilometer dari rumah.

“Sayang, aku berangkat dulu ya.” Kukecup bibirnya pelan, meninggalkan istriku di kamar.

Singkat cerita -kalian tidak ingin menghabiskan waktu untuk mendengar kisah tentang jalan penuh lubang bukan?-, motor yang kukendarai menepi di sebuah bangunan putih berlantai dua. Klinik yang merangkap sebagai tempat konsultasi masalah.

Kusapa suster di lantai satu sembari melangkah meniti tangga. Di atas, seorang gadis muda telah menunggu, wajahnya sembab karena terlalu banyakan menangis. Mungkin kali ini tentang putus hubungan dan sejenisnya.

“Airi?” tanyaku sopan. Ia mengangguk, mengusap air mata di pipi.

“Yaudah, silahkan masuk.”

Aku cukup terkenal di dunia psikologi karena prestasi gemilang, juga karir menjulang. Maka tak heran banyak yang datang dan menyimpan nomor ponselku. Beberapa kali juga sempat aku mengisi konsultasi online.

Kami duduk berhadapan di ruangan bercat putih, dibatasi sebuah meja cokelat dengan taplak senada. Aroma lavender menguar dari pengharum di ventilasi, cukup menenangkan suasana hati.

“Bisa ceritakan masalahnya?” tanyaku memulai.

Dilihat dari sinar mata gadis ini, dia sangat tertekan. Tatapannya sayu pasrah dengan kelamnya hidup. Jelas depresi berat. Berkali-kali jemari mungilnya bergerak, saling mengait. Segelisah itukah?

“Aku ... aku merasa bodoh pak. Aku merasa bodoh sekali telah mencintainya.” Akhirnya kalimat pertama keluar.

Aku masih mendengarkan. Deretan kata itu belum cukup jika dipakai untuk menemukan solusi. Aku butuh informasi lebih.  | Cerpen Cinta Betapa Bodohnya Aku Yang Mencintainya

“Namanya Arlan, dia pria baik hati dan tampan. Tapi aku benar-benar bodoh telah menerima cintanya. Selama menjalin hubungan, Arlan gak pernah sama sekali berbohong, dia selalu jujur.”

Aku mencatat awal perasaan Airi terpikat, bisa jadi ini masalah utama. Rasa sayang dan cinta yang terlalu tinggi, entah karena sempurnanya pasangan atau apa, bisa berakibat fatal jika sampai terkhianati.

“Bodoh sekali aku mencintai dia, pria baik-baik yang tak pernah berbohong, selalu jujur bahkan terhadap hal kecil. Aku kagum dengan kejujurannya, bahkan meski harus tersakiti, dia tetap menjunjung tinggi kejujuran.”

Satu lagi yang salah. Ia terlalu kagum.

“Aku bodoh, sangat bodoh dengan mencintainya. Arlan begitu lembut memperlakukanku, tak pernah sekali pun melakukan hal buruk. Bahkan hanya mencium tangan, ia bilang baru mau melakukannya setelah kami resmi menikah.”

Terpesona dengan prilaku baik.

“Aku bodoh, aku sangat bodoh! Dia tak pernah memarahiku atas kesalahan apa pun, selalu membimbing dengan penuh perhatian. Bagaimana aku bisa menolaknya?! Dia begitu pemaaf dan tak pernah marah meski aku pernah coba pura-pura selingkuh!” teriaknya serak, penuh air mata. Kesedihan bercampur amarah terkesan jelas di kedua manik itu.

Terlepas dari semua hal tadi, sepertinya Airi memang memiliki respon berlebihan, dan itu membuatnya terjebak dalam perasaannya sendiri. Aku masih mendengarkan hingga beberapa menit lagi, meski mulai merasa janggal.

Gadis ini benar-benar kalah oleh hatinya hingga depresi akut seperti ini.

“Apa yang harus aku lakukan Pak?! Apa? Aku harus bagaimana menghadapi pria sepertinya? Arlah tak pernah mengingkari janji, selalu tepat waktu saat janjian. Dia begitu sempurna. Apa yang harus aku lakukan?!” jeritnya membahana, gema menjalar hingga lantai bawah.

Di titik ini, aku sangat bingung. Jika ia sudah bertanya tentang solusi, apakah semua penjelasan tadi adalah inti permasalahan? Hal yang kukira hanyalah pembukaan kelewat panjang barusan? Yang benar saja!

“Sebentar-sebentar, aku tidak mengerti. Memang apa masalahnya? Bukankah bagus jika kau memiliki kekasih hati sebegitu sempurna? Lalu mengapa kau sampai sedepresi ini?” timpalku menanggapi pertanyaanya.

Gadis itu tak menjawab, diam dengan wajah terbenam di kedua telapak. Pundaknya terguncang sesekali, tangis pilu belum usai. Aku menunggu, tidak baik memaksa seseorang untuk langsung menjawab

“Betapa bodohnya aku mencintainya,” Airi berbisik, masih dengan posisi tadi.

Masih menunggu, firasat kuat berkata jika pernyataan selanjutnya akan menjadi titik terang bagiku untuk mencarikan solusi. Mana mungkin kesempurnaan pria itu menjadi masalah?

“Betapa bodohnya aku mencintainya, pria tampan yang tak pernah marah, selalu membantu orang, selalu jujur, perhatian meski aku terkadang tak peduli. Aku bodoh sekali mencintai pria seperti itu, pria yang selalu menepati janji. Bahkan janji untuk selalu bersamaku. Bodoh ....” gumamnya lirih.

Masih tak ada kejelasan dari masalah ini.

“Ayolah Airi, katakan saja apa masalahmu. Jika memang Arlan begitu sempurna, apa yang membuatmu depresi seperti ini? Apakah masalah keluarga? Atau pekerjaan?” tegasku, ingin segera menyelesaikan konsultasi ini agar dapat menuntaskan acara bersama sang istri.

Gadis di hadapanku mendongak, matanya merah sembab dengan rambut berantakan. Ia tampak sangat tertekan, mental dan jiwa.

“Aku bodoh telah mencintainya, pria yang selalu menepati janji untuk selalu di sisiku, berjanji untuk bersamaku selamanya. Dan sekarang Arlan menepatinya, bahkan setelah ia meninggal dalam kecelakaan setahun lalu. Aku bodoh, sangat bodoh karena telah menagih janjinya.”

Oke, fix, aku salah. | Cerpen Cinta Betapa Bodohnya Aku Yang Mencintainya

Ternyata kesempurnaan pria itu memang masalah utamanya.