Tak ada seorang pun di dunia ini dibolehkan menuntut pasangannya jadi pasangan sempurna. Aku setuju itu. Sebagai seorang istri, aku tak menuntut Bang Andi, suamiku jadi suami sempurna. Kerja dari pagi, pas sorenya pulang langsung cuci baju dan setrika, ngepel rumah dan mandikan anak. Tak pernah ada itu semua. Bang Andi cuma kerja, sorenya istirahat, tidur atau nonton bola. | Cerpen Motivasi Menu Tongseng Kambing Tetangga
Demikian juga aku, tak mau Bang Andi menuntut aku jadi istri sempurna. Dia harus setuju itu. Sebagai seorang istri, aku bangun pagi menyiapkan keperluan suami dan anak-anak, bersih-bersih rumah dan memasak. Malamnya membantu anak mengerjakan PR dan mengaji. Di sisa malam, bercengkerama dengan suami, itupun kalau dia minta.
Tapi kenyataan hidup tidak sesederhana itu. Biarpun aku masak, Bang Andi tidak pernah mau memakannya. Pulang kerja dia selalu membeli makanan di luar, entah nasi goreng, capcay atau tongseng kambing kesukaannya. Masakanku sendiri tak pernah disentuhnya.
“Memangnya masakanku gak enak ya Bang?” tanyaku sambil duduk memperhatikan Bang Andi makan tongseng kambing dengan lahapnya. Bukannya menjawab, Bang Andi malah diam. Sendok garpunya diletakkan di atas piring kosongnya. Kalau sudah begitu aku cuma bisa menghela napas sambil bersegera membereskan meja. Sedih? Tentu saja, tapi apa boleh buat. Sepanjang Bang Andi tidak selingkuh dan uang belanja lancar aku mencoba untuk menerima saja.
Sebetulnya Bang Andi bukan nggak mau jawab, dan aku pun sebetulnya juga sudah tahu jawabannya. Dulu, di awal pernikahan kami, Bang Andi sangat bersemangat mencoba masakanku. Sayangnya, dasar aku yang memang gak bisa masak, waktu bikin bistik daging sapi, potongan jahe-nya kegedean jadi kayak kembaran sama dagingnya. Saking miripnya, Bang Andi makan dua potong sekaligus, pas makannya sambil nonton bola di ruang tengah. Tahu sendirilah hasilnya seperti apa. Lain waktu aku pakai kecap yang sudah kadaluwarsa, walhasil Bang Andi sakit perut plus diare. Dua hari gak masuk kantor, sampai ditegur atasannya.
Itu baru dua dari sekian banyak kejadian yang membuat Bang Andi gak lagi mau makan masakanku. Ya sudah, gak apa-apa juga. Kan aku sudah bilang tadi, aku tak mau Bang Andi menuntut aku jadi istri yang sempurna.
“Mau coba kursus masak gak May?” tanya tetanggaku Inna sore itu.
“Mau sih Na, cuma waktunya gimana ya. Bang Andi pasti gak ngijinkan, pasti bilangnya percuma gak bakalan berubah masakanku. Aku kan juga harus ijin kalau mau pergi-pergi. Ntar bilangnya apa ke Bang Andi?” jawabku pesimis.
Inna menatap wajahku serius, lalu tiba-tiba tersenyum.
“Kursusnya di sini aja May. Di rumah kamu. Kamu siapkan bahannya, nanti gurunya datang ke sini,” ujar Inna ceria seperti anak kecil baru mendapatkan hadiah. Setengah terpaksa aku iyakan ide itu. Lagian guru masaknya, Chef Inka gak mau dibayar. Hitung-hitung nolong orang katanya.
Dan kursus masak pun dimulai. Dari teori tentang bahan, apa yang tidak boleh dan boleh dilakukan selama masak, sampai cara penyajian semuanya diterangkan dengan detil oleh Chef Inka. Pengalamannya bekerja di restoran kelas atas di hotel berbintang lima membuat aku sangat takjub. Makanan dengan bahan sederhana bisa dibuat luar biasa rasanya.
“Suaminya kerja di mana Mbak?” tanya Chef Inka sambil memperhatikan fotoku dan Bang Andi di dinding ruang tengah.
“Kerja di perusahaan swasta Chef,” ujarku singkat.
“Kok mirip teman aku waktu di SD,” katanya lagi sambil membongkar bahan kursus masak hari itu.
Hampir dua minggu aku rutin kursus, masakanku banyak berubah. Paling tidak, itulah komentarnya Inna. Walaupun begitu, tetap saja tak satu kalipun aku berani menyajikannya pada Bang Andi. Semua masakan hasil kursus itu hanya kulahap sendiri saja.
“Kalau cuma kursus aja buat apa May, percuma, gak ada gunanya. Tujuan utamanya kan biar bisa meyakinkan suamimu kalau masakanmu sudah berubah sekarang. Ayo tunjukkan, biar dia mencicipinya,” ujar Inna berapi-api.
“Iya sih Na, cuma aku gak tahu bagaimana caranya. Boro-boro mau nyicipin, Bang Andi gak akan mau noleh sama masakanku,” ujarku datar. “Sudah kebal rasanya hatiku melihat masakanku dingin membeku di atas meja, sementara Bang Andi makan tongseng kambing panas beraroma kesukaannya.”
“Kamu sudah belajar masak tongseng kambing belum ke Chef Inka?” tanya Inna tiba-tiba.
“Belum. Kemarin diajarinnya cuma masak sayur asem, bistik sapi, sama opor ayam,” ujarku heran. “Memangnya kenapa Na?”
“Aduh, kenapa gak belajar itu dulu May?” ujar Inna gregetan. “Ya sudah nanti aku minta Chef Inka ngajarin kamu itu. Mudah-mudahan dia masih ada waktu sebelum berangkat ke Eropa.”
Walaupun waktunya mepet, jadilah aku kursus tambahan masak tongseng kambing. Butuh seminggu sampai aku bisa tahu dan hafal bagaimana masak tongseng kambing yang beraroma, rasanya sedap tiada tara. Beruntungnya aku, Chef Inka itu orangnya sabar, setiap aku salah menakar bumbu, dia menjelaskan ulang tak pernah jemu.
“Sekarang kita harus atur strategi May. Gimana caranya suamimu mau makan tongseng kambing buatan kamu,” ujar Inna masih dengan semangatnya. Kadang aku heran, kenapa justru dia yang lebih semangat dari aku ya.
“Gak tahu lah Na. Gak ada ide,” ujarku datar seperti biasanya.
“Suamimu biasa jam berapa pulangnya?”
“Paling lambat maghrib Na. Sekarang sudah gak boleh lembur kata atasannya,” ujarku penasaran. “Memang apa strateginya Na?”
“Nanti kalau suamimu sudah pulang, kasih tahu aku ya. Aku nanti datang bertamu ke rumah, pura-pura kirim tongseng kambing buatan kamu,” ujar Inna semangat. “Gimana May, bagus gak idenya?”
“Terserah kamu deh Na, tapi kalau Bang Andi sudah beli tongseng kambing sendiri gimana?” tanyaku masih tetap pesimis. “Nanti dia bandingkan, tongseng-nya abang-abang malah lebih enak. Gagal dong.”
“Aku sih optimis tongseng buatan kamu lebih enak May. Tapi gini aja, pas suami kamu belinya bukan tongseng baru deh kasih tahu,” ujar Inna.
“Boleh tanya lagi gak?” aku memotong tiba-tiba.
“Aduh, kamu kok kelihatannya pesimis banget May, nanya melulu,” ujar Inna gregetan. “Ya sudah mau tanya apa lagi?”
“Kan nanti kalau Bang Andi sudah makan tongsengnya, aku bilang tongseng itu sebetulnya buatan aku. Terus Bang Andi bakalan percaya gak?”
“Ah, sudah May. Kita kerjain dulu aja. Nanti aku atau suamiku yang jelaskan ke dia,” ujar Inna hampir-hampir gak sabaran.
“Nanti Bang Andi marah gak? Takutnya dia pikir ngapain sih ikut campur urusan rumah tangga orang,” ujarku pesimis.
“Ah, sudah May. Pokoknya serahkan saja sama Inna, Wanita Segala Cara” ujarnya dengan semangat empat-lima bercampur kesal. Aku pun cuma diam dengan muka datar.
Sore itu Bang Andi pulang sambil menjinjing kantong plastik kecil. Seperti biasanya. Aku penasaran dengan isinya sambil berdo’a jangan sampai tongseng kambing yang dibawanya.
“Anak-anak lagi apa Bun?” tanyanya sambil membuka bungkusan itu di meja makan. Aku diam tak menjawab pertanyannya saking penasaran apa isinya. “Bun..Bunda? Kok ngelamun sih?” tanya Bang Andi lagi, sepertinya kaget karena aku tak cepat menjawab seperti biasanya.
“Oh, eh…ya lagi main di tetangga,” jawabku kaget sekenanya. Ternyata nasi goreng yang dibelinya hari ini. Aku lega sekali, akhirnya saat yang dinanti telah tiba. Diam-diam aku beritahu Inna.
“Bun, ada yang ketok-ketok pintu depan. Tamu barangkali,” ujar Bang Andi sambil asyik makan nasi gorengnya.
“Ya Bang, aku ke depan dulu,” ujarku sambil beranjak dari tempat duduk. Selang lima menit kemudian aku kembali dengan semangkuk kecil tongseng dari Inna. Tongseng kambing spesial yang aku buat hari itu untuk Bang Andi saja.
“Apa itu Bun?” tanya Bang Andi penasaran.
“Ini ada kiriman tongseng kambing dari Tante Inna, itu lho yang rumahnya dekat masjid,” ujarku sambil meletakkan mangkuk itu dekat sisa nasi goreng yang dibeli Bang Andi.
“Wah, kelihatannya enak ya,” ujar Bang Andi, “Tapi kayaknya kolesterol aku lagi tinggi nih. Bunda aja yang makan ya.” | Cerpen Motivasi Menu Tongseng Kambing Tetangga
Bang Andi ngeloyor pergi ke ruang tengah mau nonton siaran langsung bola.
Kalimat itu datar saja diucapkan Bang Andi, tapi seperti geledek yang menggelegar buat aku istrinya. Aku cuma menatap tongseng itu dengan hampa. Semalaman aku tidak bisa tidur sama sekali. Kepikiran tongseng yang gagal dipuji. Bang Andi minta jatahpun, aku cuma melayani seadanya dan kaku, mirip gedebong pisang di pinggir kali.
Paginya saat membersihkan kasur, rasa kecewa itu masih nempel sampai masuk ke pori-pori. Pesimis tanpa henti tak pernah hilang dari hati. Ketika aku ambil bantal, sebuah amplop putih jatuh ke atas dipan. Penasaran aku buka, isinya secarik kertas biasa bertuliskan tangan, “Bunda, terima kasih tongsengnya enak sekali. Oh ya, Bunda dapat salam dari Chef Inka. Katanya Bunda itu murid yang ulet, rajin sekali dan penuh perhatian.”