Lulus SMP Negri. Aku minta Bapa masukan aku ke salah satu Pondok Modern di Jawa Timur.
Perjalanan 12 jam dalam kereta ekonomi cukup membuat pinggul terasa sakit. Entah berapa jenis jajanan yang mampir dilambungku. Hanya untuk usir kejenuhan.
Terik matahari dalam puncaknya ketika kami sampai disana. Bergabung dengan ribuan calon santri, ikut antri memasuki kelas. Ujian Tes Masuk menjadi beberapa kelas yang masing-masing diisi 50 santri. Dari ribuan pendaftar hanya 100 orang saja yg diterima. | Cerpen Motivasi LGBT Karena Lingkungan Tak Menular Menurutku
" undzurii...jamiilah jiddan " tanpa berbisik, menunjuk ku. Gerombolan 8 orang itu menatapku. Sudah tentu aku yg terbiasa dipandangi, memamerkan senyum termanis.
Baru satu hari, namaku sudah jadi buah bibir. Santri Kibar baru, yang pandai berbahasa Inggris. Disaat santri baru diwajibkan menghafal 10-10-10 mufrodat, aku lancar berbicara.
Kakak-kakak kelas mulai banyak yang mendekati. Dari menawarkan makanan, memberi hadiah diam-diam hingga membereskan lemari pakaian. Semua kuterima dengan kebahagiaan.
Aktifitasku semakin padat. Semua lomba seni aku ikuti. Dengan kemenangan gemilang. Juara Satu Lomba Penyanyi Solo. Fashion Show. Pemenang Lomba Cipta Puisi. Penulis Mading Terbaik (Majalah Dinding). Hingga waktu mengurus diriku hanya sedikit.
Kak Mutia yg lebih sering membereskan lemariku, menyiapkan baju-bajuku. Apapun dalam perutku adalah buah dari pemberiannya. Bahkan ketika musim kemarau, Kak Mutia sudah menyiapkan air dalam ember untuk aku mandi dan berwudlu. Semakin hari aku semakin bergantung padanya.
" Man ba'daki ?" menggedor pintu kamar mandi 17.
" ba'den.... Ukhti Susan. Lakin ba'daha ukhti Ismy, Nur, wannida " sudah terbayang panjangnya antrian mandi. Adzan subuh tinggal 15 menit lagi. Ga akan cukup waktunya. Dalam kebingungan suara serak Kak Mutia seperti indah ditelingaku,
" huna Laila, ana filhamam " tergesa-gesa mendekati arah suara. Mengetuk pintu memastikan,
" Kakak, fi ain...." sampai terdengar pasti, aku memasuki kamar mandi 1,5x1 kedua dari ujung.
" Cepat mandi. Jangan sampai masbuk " ucap lembutnya. Lonceng keras berbunyi. Artinya tinggal beberapa menit lagi waktu Adzan. Dalam kepanikan, ketakutan kedua punggung tangan di pukul mudabiroh dengan tambang pluit merah pramuka. Aku segera melucuti pakaian, mandi berdiri krn posisi bak kamar mandi yang tinggi tersambung dengan kamar mandi lain. Bersabun. Dia bantu menyabuni punggungku.
" Syur'ah kakak " tanpa menoleh. Setelah cepat membilas. Aku keluar duluan meninggalkannya yg masih belum berpakaian.
Sejak itu perhatian Kak Mutia semakin menjadi. Protektif dan terkesan lebih galak mengaturku. Memilihkan teman sebangku, memperhatikan cara bergaulku. Hingga berkali-kali dia memarahiku ketika aku ngobrol dengan kakak kelas lainnya.
Tingkahnya jauh dari feminim. Prestasinya dilapangan bola voley terus berkibar. Kak Mutia semakin angkuh tapi semakin sayang padaku. Hingga malam itu, belajar bersama. Lampu Pondok tiba-tiba mati. Hanya cahaya bulan. Samar. Dia mengahampiriku. Memelukku dari belakang. Lalu mencium pipiku cepat. Hingga larut malam aku tidak bisa tidur.
.
Setahun pertama, pulang yang kedua. Bapa tidak mengizinkan kembali ke Pondok. Cita-citanya mempunyai anak seorang ahli kesehatan beliau wujudkan dengan memaksaku masuk SPK.
Hancur luluh hatiku. Sebulan penuh tinggal di rumah hanya kuisi dengan menelfon Kak Mutia. Berkirim surat, Telegram. Dan memilihkan hadiah cantik untuk ku kirim via POS.
Susah payah aku melupakannya. Hingga aku bertemu Ali Lukman Hakim, Dokter muda yang jadi suamiku hingga sekarang. | Cerpen Motivasi LGBT Karena Lingkungan Tak Menular Menurutku
*** LGBT jelas tidak menular seperti virus infuenza• tidak berbahaya seperti Human Immuno Deficiency Virus•• once more, menurutku.
" undzurii...jamiilah jiddan " tanpa berbisik, menunjuk ku. Gerombolan 8 orang itu menatapku. Sudah tentu aku yg terbiasa dipandangi, memamerkan senyum termanis.
Baru satu hari, namaku sudah jadi buah bibir. Santri Kibar baru, yang pandai berbahasa Inggris. Disaat santri baru diwajibkan menghafal 10-10-10 mufrodat, aku lancar berbicara.
Kakak-kakak kelas mulai banyak yang mendekati. Dari menawarkan makanan, memberi hadiah diam-diam hingga membereskan lemari pakaian. Semua kuterima dengan kebahagiaan.
Aktifitasku semakin padat. Semua lomba seni aku ikuti. Dengan kemenangan gemilang. Juara Satu Lomba Penyanyi Solo. Fashion Show. Pemenang Lomba Cipta Puisi. Penulis Mading Terbaik (Majalah Dinding). Hingga waktu mengurus diriku hanya sedikit.
Kak Mutia yg lebih sering membereskan lemariku, menyiapkan baju-bajuku. Apapun dalam perutku adalah buah dari pemberiannya. Bahkan ketika musim kemarau, Kak Mutia sudah menyiapkan air dalam ember untuk aku mandi dan berwudlu. Semakin hari aku semakin bergantung padanya.
" Man ba'daki ?" menggedor pintu kamar mandi 17.
" ba'den.... Ukhti Susan. Lakin ba'daha ukhti Ismy, Nur, wannida " sudah terbayang panjangnya antrian mandi. Adzan subuh tinggal 15 menit lagi. Ga akan cukup waktunya. Dalam kebingungan suara serak Kak Mutia seperti indah ditelingaku,
" huna Laila, ana filhamam " tergesa-gesa mendekati arah suara. Mengetuk pintu memastikan,
" Kakak, fi ain...." sampai terdengar pasti, aku memasuki kamar mandi 1,5x1 kedua dari ujung.
" Cepat mandi. Jangan sampai masbuk " ucap lembutnya. Lonceng keras berbunyi. Artinya tinggal beberapa menit lagi waktu Adzan. Dalam kepanikan, ketakutan kedua punggung tangan di pukul mudabiroh dengan tambang pluit merah pramuka. Aku segera melucuti pakaian, mandi berdiri krn posisi bak kamar mandi yang tinggi tersambung dengan kamar mandi lain. Bersabun. Dia bantu menyabuni punggungku.
" Syur'ah kakak " tanpa menoleh. Setelah cepat membilas. Aku keluar duluan meninggalkannya yg masih belum berpakaian.
Sejak itu perhatian Kak Mutia semakin menjadi. Protektif dan terkesan lebih galak mengaturku. Memilihkan teman sebangku, memperhatikan cara bergaulku. Hingga berkali-kali dia memarahiku ketika aku ngobrol dengan kakak kelas lainnya.
Tingkahnya jauh dari feminim. Prestasinya dilapangan bola voley terus berkibar. Kak Mutia semakin angkuh tapi semakin sayang padaku. Hingga malam itu, belajar bersama. Lampu Pondok tiba-tiba mati. Hanya cahaya bulan. Samar. Dia mengahampiriku. Memelukku dari belakang. Lalu mencium pipiku cepat. Hingga larut malam aku tidak bisa tidur.
.
Setahun pertama, pulang yang kedua. Bapa tidak mengizinkan kembali ke Pondok. Cita-citanya mempunyai anak seorang ahli kesehatan beliau wujudkan dengan memaksaku masuk SPK.
Hancur luluh hatiku. Sebulan penuh tinggal di rumah hanya kuisi dengan menelfon Kak Mutia. Berkirim surat, Telegram. Dan memilihkan hadiah cantik untuk ku kirim via POS.
Susah payah aku melupakannya. Hingga aku bertemu Ali Lukman Hakim, Dokter muda yang jadi suamiku hingga sekarang. | Cerpen Motivasi LGBT Karena Lingkungan Tak Menular Menurutku
*** LGBT jelas tidak menular seperti virus infuenza• tidak berbahaya seperti Human Immuno Deficiency Virus•• once more, menurutku.