Aku mengikuti jejak langkah kaki yang terdapat di lantai dari dapur hingga menuju gudang. Panjangnya sekitar tujuh meter dan menghilang tepat di sebuah rak buku besar berwarna hijau lumut berpita merah. Entah ada berapa banyak buku dalam rak itu, tak terhitung olehku yang sedang penasaran dengan kejanggalan yang menarik perhatianku. | Cerpen Kehidupan Kucium Dari Aroma Udara
Bayangkan saja! Ada dua jejak langkah kaki yang berbeda, serupa manusia aneh dengan kaki kanan manusia pada umumnya dan sebelah kiri kaki beruang.
"Hei beruang! Apa mungkin itu adalah Yono?" tanpa sadar menginggat dia yang telah tewas tertikam oleh kakek dua puluh tahun silam.
Saat kenangan itu hadir tiba-tiba angin memporak-porandakan seisi gudang. Tetapi anehnya lemari bercat cokelat itu masih serupa semula, sedang yang lain berantakan dan sebagian lemari rusak. Dan dari mana asal angin ini?
Aku mengambil sebuah buku dari lemari, aneh! Tiba-tiba lemari hancur berkeping-keping serupa terinjak raksasa dan tubuhku baik-baik saja. Saat hendak meninggalkan gudang, jejak kaki tiba-tiba muncul kembali dan kali ini benar-benar melihat bayangan langkah kaki itu bergerak, menuju ke kamar bunda.
Kuikuti dan ....
"Bundaaa ...."
Tubuhnya sudah tak lagi bernapas. Aku menangis sambil memeluk tubuh bunda. Tapi tiba-tiba angin berembus dan tubuhnya hilang tanpa terasa pergerakannya. Aneh! Sungguh aneh.
Ayah masuk kamar dan bertanya, "ada apa Erin? Mengapa kau berteriak?"
Aku hanya diam tak mampu berkata.
"Kenapa buku ini ada padamu? Dari mana? Siapa yang memberikannya?"
"Aku temukan di gudang, Ayah!"
"Tidakkkk ...."
Tubuh ayah perlahan hancur. Aku semakin bingung dan banyak pertanyaan masuk ke dalam pikiranku. Mencoba membuka helaian buku itu untuk mencari jawaban, membaca mungkin menemukan sesuatu, entah apa yang tertulis di sana.
Lembaran pertama hingga halaman ke tujuh kosong. Di halaman ke delapan hanya ada bait puisi yang tak kupahami.
MONITOR
BY Endang Aprilliani
Dia yang menempatkan mata dengan benar
adalah hati
lalu ia mengembarakan banyak pemikiran ke dalam kantung harapan
di mana pintu-pintu tak lagi berperisai
sebab kebocoran ilmu
menyebarkan aroma
hingga racun membunuh kepolosan
dan membentuknya menjadi pribadi lain.
Bentuknya ada
persenyawaan dari berbagai unsur
menghuni lalu menjarah
sampai pena tak mampu melukis
binar asli muasal insan.
Jkt, 1-4-2018.
Lalu lembar ke sembilan menerangkan rumus-rumus sulit yang membuat kepalaku kelelahan menginggat artinya.
Lembar kesepuluh hanya lukisan hitam putih silsilah pembentukan kupu-kupu. Entahlah! Aku makin binggung.
Lembar kesebelas, duabelas sampai duapuluh hanya wajah leluhur. Berikutnya penjelasan tentang terjadinya hujan, awan, petir, dan segala reaksi alam serupa ilmu pengetahuan alam lengkap dengan pembahasannya. Jenuh membacanya.
Lalu lembar ketigapuluhsatu ada kotak terkunci yang terbuat dari kaca dan di dalamnya terisi kartu tarot.
"Hei kartu tarot! Itu aku bisa memainkannya."
Mencoba mencari kunci untuk membuka kotak. Menurut petunjuk yang ada dalam buku, kunci itu ada di antara tumpukan buku serupa yang kubaca.
Kembali ke gudang dan aku terhenyak. Gudang kembali serupa sedia kala tanpa ada yang rusak ataupun berantakan.
"Lemari itu menghilang! Hei kemana? Adakah yang memindahkan? Tapi siapa? Dan bagaimana?"
Bingung antara percaya ataupun tidak sebab sulit di jabarkan logika atas keanehan ini.
Aku kembali menuju kamar bunda untuk membaca buku itu lagi, tetapi ... Hilang! Buku itu tak kutemukan di sana.
"Sial! Apa yang harus aku lakukan? Bundaaa ...."
Hanya angin yang menemani gelisahku. Setelah lelah menangis aku tertidur lelap. Lalu bermimpi bertemu salah satu wajah yang kulihat dalam lembaran buku.
"Maaf, siapakah anda? Mengapa wajahnya ada dalam buku hijau berpita merah? Dan bisakah menjelaskan prihal tubuh ayah dan bunda yang lenyap tiba-tiba karena angin?"
Dia hanya melihatku tanpa menjawab lalu tertawa aneh membuat bulu kudu berdiri.
Sudah hukum alam kami jika tubuh terbawa angin, itu bertanda bahwa orang tuamu adalah manusia pilihan."
"Maksud Anda?"
Wajah itu pergi dari hadapanku. Hai dia tanpa tubuh! Wajahnya terbang tanpa penyanggah.
Lalu kuikuti arah wajah dan menemukan banyak wajah-wajah yang berkumpul di sebuah ruangan yang sangat besar.
"Hei mereka semuanya tanpa tubuh!"
Mencoba mencari wajah kedua orang tuaku. Tidak ada. Aku di seretnya keluar oleh para penjaga.
"Akan ada masanya untukmu, Erin."
Hei mereka tau namaku, sebelum sebuah pertanyaan terlempar mereka sudah berlalu. Aku terbangun karena suara layar ponsel berbunyi. Rupanya dari Mas Drajat, kakak sepupuhku.
Aku menceritakan semuanya dari Saat pertama menemukan jejak hingga mimpi aneh.
"Cobalah tanya Bibi Mayang."
"Ibunya Yono, bukan? Sebenarnya aku malas, tapi baiklah Mas."
"Semoga tuntas masalahmu, Dik."
"Makasih, Mas."
Aku sesegera mungkin pergi ke rumah Bibi Mayang di Jalan Napak Tilas nomer tujuhbelas gang Oeyama Barito dekat kuburan cina. | Cerpen Kehidupan Kucium Dari Aroma Udara
Rumah terkunci menurut tetangga Bibi sedang ziarah ke Banten tiga hari yang lalu.
- Bersambung -