Koin Yang Tidak Pernah Kita Indahkan Nilainya

Seorang ibu keluar dari supermaket, tampak kesusahan dengan dua kantong besar belanjaan.

Sebelah tangannya memegang erat semua barang, dan sebelah tangannya lagi sibuk merogoh sesuatu di balik saku celana. | Cerpen Kehidupan Koin Yang Tidak Pernah Kita Indahkan Nilainya

bersamaan dengan secarik kertas. Sehelai struk belanja, ditatapnya kini.

"Tiga ratus empat puluh sembilan ribu lima ratus," gumamnya pelan memastikan.

"Bu, uangnya jatuh!" Seorang yang yang lewat memberitahu.

"Iya," jawab ibu itu singkat. Lalu memandang ke bawah, menatap sekeping koin yang menurutnya ... untuk apa? Lebih memilih memasukkan struk belanja ke dalam dompet. Kemudian, pergi berlalu.

*****

Sore beranjak. Sekeping koin itu masih pada tempatnya. Entah berapa puluh kaki yang menginjak. Dan berapa ratus pasang mata yang sempat menyadari keberadaannya. Tapi mereka, tak menghiraukan.

Hingga senja hampir tenggelam. Tampak seorang pria paruh baya melangkah dengan kepayahan. Memanggul karung yang hampir penuh isinya, dengan langkah demi langkah yang begitu terasa berat. Dari derap kakinya, terlihat jika ia sudah terlalu banyak berjalan. Tapi semangat di matanya tak pernah surut, setiap melihat benda yang ia jadikan rejeki.

"Alhamdulilah," bisiknya pelan saat melihat sebuah botol minuman kosong. Lalu memungutnya, dan memasukkan ke dalam karung kusam yang selalu menjadi temannya. Mungkin benda-benda dalam karungnya terlihat seperti sampah. Tapi baginya, itu semua adalah rejeki untuk menyambung hidupnya hingga esok hari.

Hampir saja sebelah kakinya beranjak, tapi bertumpu kembali saat matanya menangkap sesosok kilau tak bercahaya tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Alhamdulilah," kembali ia menyeringai bahagia, melihat sekeping koin. Dipungutnya, dan dimasukkan ke dalam kantong kecil di saku celana.

*****

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsalam. Sudah pulang, Pak?" Sang istri menyapa.

Senyumnya mengembang, di wajah kusam nan lusuh. "Iya, Bu."

"Sini, Ibu yang beresin. Bapak mandi saja, nanti Ibu siapkan makan."

"Anak-anak sudah pergi mengaji?" Kusnadi mendudukan tubuh di atas bangku kayu, melepas lelah sejenak.

"Sudah, Pak!" Marni membawa karung ke samping rumah.

****

Kusnadi namanya, sudah bertahun-tahun menjadi pemulung. Hidup di kota besar tak menjadikannya penuh keberuntungan seperti orang lain. Dan Marni, sang istri. Hanya perempuan biasa yang selalu mengikuti langkah suaminya.

Malam hampir pekat, kedua pasangan yang sudah tak muda lagi itu membersihkan botol-botol plastik yang berhasil Kusnadi kumpulkan. Tawa berderai dari keduanya, canda yang setiap malam menghiasi gurauan mereka. Kusnadi menceritakan semua pengalamannya seharian ini, dan Marni pun menanggapi cerita suaminya dengan senyum simpul yang sesekali diiringi 'oh ya?' Atau 'kenapa begitu?' Dan ungkapan-ungkapan lain.

"Ini koin-koinnya sudah Ibu bersihkan, Pak!" Marni teringat kantong di saku dasternya.

"Nanti kita satukan sama tabungan kita ya, Bu?" Kusnadi tersenyum kecil.

Marni mengangguk.

"Berapa?" Kusnadi bertanya pada Marni yang sedang menyusun kepingan-kepingan koin.

"Wah, sudah hampir satu juta setengah, Pak!" Marni berseru senang. Tak percaya.

"Alhamdulilah, Bu!" Kusnadi duduk di samping istrinya. "Mudah-mudahan bisa beli baju lebaran anak-anak taun ini, ya?"

"Iya, Pak. Tidak disangka ya, Pak. Bisa sebanyak ini?" Marni kembali membereskan koin-koin yang Kusnadi temukan setiap hari itu ke dalam kaleng kue.

"Mereka anggap koin itu tak berarti, Bu. Tapi bagi kita, keping demi keping itu sangatlah berarti."

Mereka menatap tiga kaleng bundar yang semua ruangnya hampir penuh dengan koin. Koin yang kadang tak pernah kita indahkan nilainya. | Cerpen Kehidupan Koin Yang Tidak Pernah Kita Indahkan Nilainya