Kisah Tragedi Di Gerbong Kursi Prioritas

Ridwan dan Harris segera masuk ke rangkaian kereta yang baru saja datang di jalur dua. Namun setelah dilihat, tempat duduk sudah penuh semua. | Cerpen Kehidupan Kisah Tragedi Di Gerbong Kursi Prioritas 

Hanya tinggal satu space yang tersisa di kursi prioritas.

"Gue bilang juga apa Wan, harusnya nunggu kereta yang belakang aja." Rintih Ridwan sambil memegangi perutnya yang masih kesakitan. Wajahnya pun terlihat tidak segar.

"Itu kursi prioritas masih ada satu, nggak apa-apa duduk aja."

"Nggak berani ah, nanti diusir-usir."

"Kan nanti gue jelasin ke orang kalau elo lagi sakit dan baru operasi usus buntu." Timpal Harris meyakinkan.

"Takutnya nggak ada yang percaya Ris."

"Udah, bawel deh kayak cewek. Situ duduk aja."

Ridwan pun menurut apa yang diperintahkan oleh sahabatnya itu. Dia pun duduk di pojok kursi prioritas dengan rasa ngilu yang dirasakan di perutnya. Tangannya terus memegangi. Seharusnya, dia belum boleh pulang hari ini. Butuh tiga sampai empat hari untuk pemulihan pasca operasi. Namun karena bingung memikirkan biaya rumah sakit, akhirnya dia memutuskan untuk pulang cepat. Padahal dokter sudah menyarankan, agar Ridwan tidak pulang hari ini.

Harris berdiri bersandar di kursi prioritas, depan Ridwan duduk. Dia pun mulai memainkan handphonenya.

Kereta tujuan Bogor perlahan berangkat dari stasiun Tebet. Penumpangnya memang tidak terlalu penuh, namun semua kursi sudah penuh. Beberapa penumpang terlihat berdiri. Di kursi prioritas sebelah Ridwan, ada seorang Ibu hamil dan manula yang tertidur. Sementara itu, Ridwan terus memegangi perutnya. Rasa sakit terus dirasakannya. Operasi tadi pagi alhamdulillah berjalan lancar, namun sekarang dia baru merasakan sakitnya. Tadinya, Harris menyarankan naik taksi atau taksi online agar nyaman. Namun karena tidak mempunyai cukup uang untuk ongkos, Ridwan lebih memilih naik KRL. Cepat dan murah.

"Udah, tidur aja. Nanti kalau udah sampe Bojong, gue bangunin." Ujar Harris sambil asyik memainkan ponselnya.

"Terima kasih Ris."

Kareta yang Harris dan Ridwan naiki berhenti di stasiun Tanjung Barat. Saat itu, Ridwan benar-benar sudah tertidur. Sementara Harris masih melotot di depan layar ponselnya. Di saat itulah seoang bapak yang usianya kira-kira lima puluh tahun masuk dan menuju ke kursi prioritas. Melihat Ridwan yang sedang tidur, si bapak berambut separuh uban itu langsung nyeletuk, begitu saja.

"Enak banget ya anak muda jaman sekarang, nggak ada toleransinya. Woyyy, bangun dong. Orangtua nih. Ini kursi prioritas." Suara si bapak terdengar lumayan kencang, membuat beberapa penumpang sekitar menoleh. Harris yang sedang asyik memainkan handphonenya, langsung melihat ke si bapak.

"Maaf Pak, dia teman saya. Sedang sakit. Jadinya tidur." Harris menaruh handphonenya di saku celana, menghadapi si Bapak.

"Alllaaahhh. Alesan aja sakit. Modus tuh, biar duduk terus. Pake bohong segala. Ntar sakit beneran lho, baru tahu rasa. Udah jelas-jelas ini kursi prioritas."

"Ya Allah Pak, ini beneran. Teman saya lagi sakit. Bapak nggak kasihan liat mukanya dia yang udah pucat seperti itu?"

"Woy, bangun woy. Kursi prioritas nih. Pura-pura tidur segala, masih muda udah lemah. " Si bapak tidak mempedulikan ucapan Harris, tatapannya terus kepada Ridwan yang ternyata terbangun. Kedua matanya dibuka.

"Ada apa ya Pak?" Ucap Ridwan belum sepenuhnya sadar.

"Ini kursi prioritas Mas, nggak pantes kamu duduk di situ. Baru pertama naik kereta ya. Ayo bangun. Masih muda udah manja."

Suara si bapak semakin lama semakin kencang, beberapa penumpang perhatiannya mulai beralih pada kejadian itu. Harris mulai kesal dengan tingkah dan ucapan si bapak. Dia tahu, bahwa si bapak ingin duduk dan menempati posisi Ridwan. Sementara itu Ridwan memegangi perutnya lagi. Rasa perih masih dirasakannya. Jahitan bekas operasi terus terasa.

"Pak, kalau mau duduk sebaiknya cari tempat lain deh. Ke kereta sebelah misalnya. Kasihan temen saya Pak, dia sedang sakit. Baru operasi." Harris mulai terbangun kemarahannya, karena si bapak tidak mengerti. Sementara itu dengan Ridwan, dia tidak ikut menanggapi. Sakit di perutnya pasca operasi masih terasa. Kedua tangannya terus memegangi perutnya.

"Yang sopan kalau ngomong sama orangtua, pake sopan santun Mas. Jangan nyolot gitu dong. Sekolah nggak sih?"

"Bapak yang nyolot duluan, saya kan udah menjelaskan. Bapaknya aja yang nggak paham-paham."

"Woyyy Mas, bangun dong. Ngejogrog aja, orangtua nih." Si Bapak menendang kaki Ridwan. Terang saja Harris marah.

"Pak! Ngajak ribut ya. Tua-tua nggak tahu diri." Harris semakin emosi, kedua matanya melotot tajam menatap si Bapak. Beberapa penumpang sekitar otomatis melihat.

"Udah, udah Ris. Jangan ribut. Biarin gue diri aja, tempat duduknya buat si Bapak aja." Ridwan bermaksud untuk berdiri. Namun karena gerakannya lama dan lambat, membuat si Bapak tidak sabar. Akhirnya...

"Lelet banget sih jadi cowok, dasar males." Si Bapak menarik tangan Ridwan dengan kasar kemudian refleks membantingnya ke lantai kereta. Dan Ridwan pun terjerembab ke lantai. Perutnya tertekan ke bawah dan seketika...

"Aaakkkh. Perut gue, Ris. Perut gue sakit banget." Ridwan mengaduh kesakitan. Beberapa penumpang nampak kaget.

"Astagfirullahaladzim!" Kata itu refleks terucap di mulut beberapa penumpang karena menahan kaget. Si Bapak sampai hati memperlakukan Ridwan seperti itu hanya untuk tempat duduk.

"Ridwan! Wan! Kenapa lo..." Harris menghampiri sahabatnya yang terjerembab ke lantai kereta sambil mengaduh kesakitan. "Heh Pak, dasar orangtua nggak punya otak ya. Cuma pengen duduk doang Bapak harus kasar kayak gini. Norak dasar! Orangtua macam apa. Dasar lo!" Harris semakin meradang.

"Darah. Astagfirullahaladzim, perut Masnya berdarah-darah tuh. Ya Allah kasihan banget." Cetus salah satu penumpang Ibu-ibu histeris ketika melihat rembesan darah dari baju kaos depan perut yang dikenakan Ridwan.

"Pak Walka! Tolong Pak. Tolooong!"

Seorang perempuan berteriak-teriak memanggil petugas Walka yang ada di kereta sebelah. Mendengar teriakan tersebut, dua orang petugas Walka yang sedang mengawasi di kereta sebelah, seketika menghampiri. Sementara itu Ridwan nampak meringis-ringis. Kedua matanya dipejamkan menahan sakit di sekitar perutnya yang merembes darah.

"Astagfirullahaladzim, Wan. Jahitan bekas operasi lo copot. Ya Allah... bagaimana ini." Harris tak percaya, setelah membuka baju Ridwan bagian perut, dia memang melihat jahitan bekas operasi di perut sahabatnya, terlepas.

"Harris, sakit banget Ris. Aduh. Aduhhh. Astagfirullahaladzim."

"Semua ini gara-gara lo. Dasar orangtua nggak punya otak. Kurang ajar lo.

Lihat temen gue, lihat sama mata kepala lo. Siapa yang bohong! Hanya demi elo ingin duduk, elo tega berbuat kasar. Dasar kampungan lo." Harris membentak si Bapak yang sudah duduk manis di kursi yang Ridwan duduki tadi.

"Sudah, sudah. Jangan ribut. Sebaiknya tolongin ini, bawa dia ke kabin masinis depan. Dia harus diturunkan di stasiun terdekat, bawa ke rumah sakit secepatnya. Ayo Mas." Ajak salah satu petugas Walka menenangkan keadaan.

"Awas lo ya. Gue ingetin muka lo. Kalau temen gue kenapa-kenapa, gue cari lo." Delikan mata Harris begitu tajam kepada si bapak. Sementara yang ditatap, diam saja. Hanya menunduk malu.

Setelah itu, dia pun segera membantu dua orang petugas Walka untuk menggotong tubuh Ridwan ke kabin masinis depan. | Cerpen Kehidupan Kisah Tragedi Di Gerbong Kursi Prioritas