Kisah Seorang Gadis Tumbuh Menjadi Wanita

Kisah seorang gadis yang tumbuh menjadi wanita.

Tentang bakti, kasih dan cinta. Pengabdian diciptakan kepada barisan jiwa-jiwa terkasih, menjadi alasan, jawaban dan kekuatan. | Cerpen Petualangan Kisah Seorang Gadis Tumbuh Menjadi Wanita

Bersimpuh, luluh dengan nyawa dan harap ridha mereka merengkuh ridha sang pencipta.

Bahwa ruh bernama sabar dan ikhlas adalah perisai kaum wanita.

Wajah sepasang kekasih halal itu begitu sumringah sore ini. Empat tahun lalu, dengan hati yang berat mereka harus ikhlas melepas buah hati semata wayangnya pergi ribuan kilometer demi impian menempuh pendidikan tinggi di Negeri Timur sana. Setelah bersabar merajut helai demi helai rindu, waktu untuk menyerahkan hasil rajutan indah itupun datang. Seminggu lalu sang putri tercinta telah mengabarkan bahwa hari ini adalah hari kepulangannya.

Hamzah Humairah, nama yang selalu dilangitkan dalam bait-bait doa yang tulus akan kebaikan dan kelancaran tiap titian langkahnya.

[Umi, Abi… Hamzah sudah sampai Jakarta. Insya Allah sebentar lagi terbang ke Solo. Sampai bertemu di meja makan dengan hidangan botok singkong buatan Umi. Salam rindu yang riuh dari Hamzah.]

Pesan yang dibaca oleh umi dengan bulir bening serta hati hening.

“Sebentar lagi putri kita pulang Bi. Dan berkumpul dengan kita kembali.” Paras ayu khas wanita jawa meski telah tak lagi muda itu menatap tulus suaminya.

“Iya, kita berdoa saja semoga Hamzah sampai dengan selamat ya.” Menyeka tetes bening di wajah sang istri, menunjukan betapa ia, pria paruh baya yang masih terjaga karismanya itu adalah seorang suami yang lembut dan penuh kasih sayang.

Suara mesin mobil terdengar dari ruang tengah, dengan langkah setengah berlari sang umi menuju pintu disusul dengan suaminya. Mobil bercat biru muda bertuliskan ‘Taksi’ berhenti di halaman rumah yang ditumbuhi tanaman rumput jepang hasil tangan telaten sang umi. Sesosok gadis perparas ayu mewarisi sang umi dengan pakaian serba tertutup keluar dari dalam pintu taksi, mengangkat koper berwarna abu-abu dengan tangan sebelahnya.

“Assalamu alaikum… Umi, Abi.”

“Wa alaikum salam… Masya Allah… Cah ayunya Umi sudah sampai.”

“Iya. Umi sama Abi sehat kan?” Tanya sang gadis setengah menahan tangis, setelah mencium tangan umi dan abi.

“Umi dan Abi sehat Cah ayu. kamu juga sehat kan? Tinggal di Mesir jadi nambah ayu saja gadis kecilnya umi.”

“Hehe… Umi bisa saja.”

Sore itu bunga-bunga di halaman rumah bagai ikut mekar dengan elok. Melukiskan jiwa-jiwa yang bahagia menemukan muara rindunya.

“Ayo kita masuk. Umi sudah buatkan botok singkok spesial buat gadis paling cantiknya umi.”

“Ayo… Pasti paling enak.”

Di meja makan berbahan kayu jati dicat warna coklat tua mengkilat hasil karya tangan abi, keluarga kecil itu menyantap hidangan spesial umi dengan suasana yang penuh kehangatan.

“Oh iya, kapan prosesi wisuda putrinya Abi?” Pria yang rambut hitam legamnya mulai ditumbuh helai putih itu memulai pembicaraan.

“Insya Allah sekitar dua bulan lagi Abi, sambil nunggu yang lain. Kebetulan Hamzah ambil kelompok paling awal. Pengin cepet-cepet selesai terus pulang ketemu Abi sama Umi,” Ujar Hamzah menjawab. Berheti sejenak menimkati sedapnya nasi dengan lauk botok singkong isi ikan teri.

“Lalu apa rencana Hamzah selanjutnya ? Tetap di Solo kan?”

“Insya Allah iya Bi. Setelah ijazah S1 keluar, Hamzah mau daftar jadi pendidik. Jadi guru di Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah. Dan sambil nunggu wisuda dan ijazah dari Mesir keluar, Hamzah pengin ngajar ngaji anak-anak sekitar sini. Bantuin para ustadz dan ustadzah di mushola atau nanti Hamzah ajak mereka ngaji ke rumah kita. Boleh kan Abi, Umi?”

Dijawab bijak oleh pria dewasa yang tegas dalam berwatak, “Apapun rencana dan keputusan Hamzah, Abi dan Umi akan selalu mendukung selama itu hal baik. Dan yang paling penting adalah bermanfaat untuk Hamzah dan orang banyak. Semoga Allah memberi kelancaran dan meridhoi.”

“Aamiin ya mujibasailin. Terimakasih Abi Umi. Yang penting buat Hamzah tetap disini, tinggal bersama Abi dan Umi. Hamzah tak mau lagi jauh dari kalian.”

Wanita pemilik lesung pipi yang sehari-hari membantu keuangan keluarga dengan berjualan kue dan jajanan tradisional itu tersenyum manis menyaksikan percakapan suami dan putri tercintanya yang kini mulai tumbuh menjadi wanita muda, menampakan mekarnya.

Diruang makan kecil nan sederhana, satu meja kayu dengan empat kursi yang saling berhadapan. Berhias berbagai peralatan masak yang serba berwajah gosong bekas bakaran kayu di tungku berjajar pada dinding bagai vigura, namun kehangatan keluarga sangat terasa. Percakapan tumpahan rasa rindu itu larut hingga senja dan waktu sholat maghrib tiba.

Sepekan sudah ia berada di dusun banjarsari, kampung halaman tempat kelahirannya. Menjalani kesibukan baru yang membuat dia merasa senang dan semakin betah saja. Atas masukan dan bantuan ustadzah Aenun yang mengajar ngaji di mushola, Hamzah kini punya beberapa peserta didik yang setiap badha maghrib datang ke rumahnya untuk belajar mengaji.

Hamzah diizinkan untuk mengajar di rumah sebab jarak rumahnya dengan mushola cukup jauh. Jadi beberapa anak yang seringkali mengeluh malas berangkat mengaji karena jauh untuk ke mushola, ia ajak belajar mengaji di rumahnya. Umi dan Abipun ikut bahagia melihat rumahnya semakin ramai oleh suara anak-anak. Apalagi mereka datang adalah anak-anak polos dengan niat untuk menimba ilmu. Dan yang paling membahagiakan umi dan abi adalah Hamzah terlihat sangat bahagia. Lesung pipi warisan uminya terbentuk jelas saat senyum itu tercipta.

Suara adzan subuh membangunkan Hamzah dari lelapnya. Kokokkan ayam mengagungkan nama sang pencipta , tak mau kalah dengan para makhluk berakal dan berjiwa.

Kaki dikomando bertemu bening suci segera,membaca niat, membasahi wajah hingga ditutup dengan doa. Raga kembali menemukan jiwa, hingga hadast kecil hilang tak tersisa.

Setelah menyelesaikan dua rokaat dilanjutkan bermunajat melangitkan bait-bait pinta dan ditutup dengan surat Ar Rohman seperti biasa. | Cerpen Petualangan Kisah Seorang Gadis Tumbuh Menjadi Wanita

Hamzah melapas mukenah berhias bordiran bunga tulip ditepiannya dan mengganti dengan jilbab berwarna ungu muda lebar hingga menutup lengan tangannya. Menuju umi yang sedang sibuk membuat jajanan di dapur sedari sebelum subuh menyapa.

"Umi..."

“Iya Cah ayu…”

“Mi, ko kayaknya hari ini buat kuenya agak banyakan yah.”

“Iya.selain untuk julanan nanti siang. Kita juga mau kedatangan tamu nanti malam. Jadi sekalian umi buat kuenya lebih banyak.”

“Ada tamu siapa Mi?”

“Duduklah sini Cah ayu. Umi mau cerita sesuatu.”

Tangan lembut umi menarik lengan putri kesayangannya dengan halus, membawanya duduk berhadapan.

“Putri Umi sudah dewasa. Sudah saatnya bertemu dengan jodohnya. Membangun keluarga bersama suami dan anak-anaknya. Dan tentu, Umi dan Abi ingin pilihkan yang terbaik untuk anak umi satu-satunya ini.”

“Umi…” Hamzah mencoba memahami setiap yang sang umi sampaikan.

“Hamzah masih ingat Alif?”

“Hmm… Alif teman kecil Hamzah. Putra pertama Pak Ustadz khoirul, guru ngaji Hamzah waktu kecil dulu mi?”

“Iya,” jawab sang umi, lalu disambungnya kembali, “Hamzah kan tahu kalau umi dan ibunya alif dari dulu teman dekat sedekat Hamzah sama Alif waktu SD dulu. Malah umi dan Bu Afifah akrabnya sampe sekarang. Dan kami sudah sepakat untuk menyatukan Alif dan Hamzah, biar hubungan silaturahmi keluarga kita dan keluarga Pak Ustadz Khoirul tetap terjalin dengan baik sampai anak cucu kita. Foto Hamzah yang sekarang juga sudah pernah Umi kirim ke Bu Afifah. Kata Ibunya alif, Hamzah nambah ayu sekarang.”

“Foto yang mana Mi?”

“Foto yang dikirim ke Umi lewat WhatsApp. Yang kata Hamzah, foto itu diambil di depan kampus di Mesir sewaktu Hamzah sedang nyusun skripsi.”

“Oh iya. Foto empat bulan yang lalu.” Hamzah menjawab sekenanya. Ada ruang yang kosong di dada tiba-tiba.

“Lalu, bagaimana?” umi memecahkan lamunan.

“Hmm. Alif ? Anaknya baik memang mi. pintar dan suka berbagi dengan temannya. Tapi kita temen main waktu kecil dan besar sama-sama.”

“Jadi, Hamzah tak setuju dengan ini. Hamzah tak meridhoinya Cah ayu?” Netra umi kali ini menatap lebih dalam. Membuat sang putri luluh dan tak punya jawaban lain.

“Ridhollahu fi ridho walidain. Kalau umi ridho, Hamzah juga ridho. Iya, Hamzah setuju.” Suara sang gadis ayu itu terdengar tegas.

“Terimakasih Cah ayu. Sekarang bantu umi potong-potongkan pisang ya.”

“Ok umiku sayang… mau dibuat apa pisangnya mi?”

“Pisangnya untuk buat kue nagasari Cah ayu.” Wanita itu menuangkan santan pada wadah berisi tepung beras yang telah dibumbui garam dan gula sebelumnya.

“Pasti enak.”

Mengetahui bahwa nanti malam Alif dan orangtuanya akan datang berkunjung ke rumah, Hamzah segera mempersiapkan diri. Membuka lemari baju, memilih gamis dan jilbab yang pantas.

Sebuah novel bersampul gambar wanita dengan niqob berwarna merah berjudul ‘Asmara di atas Haram’ karya Zulkifli L.Muchdi meminta jari untuk meraihnya. Ia ingat, novel yang kisahnya begitu menyentuh itu didapat dari sahabat satu asramanya di Mesir. “Hadiah ulang tahun untuk si lesung pipi,” kata si pemberi.

Ia buka lembaran penuh kisah itu. Sepucuk surat dalam amplop warna merah muda terselip di salah satu halamannya. Surat yang masih diingat siapa pengirimnya. Zahrotunnisa, teman satu kamar asrama sekaligus sahabat terbaik selama di Mesir itu menyerahkannya dengan menyampaikan pesan dari pengirimnya agar dibaca setelah sidang skripsi Hamzah selesai.

Dan barulah kali ini ia mengingatnya.

‘Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh...

Apa kabar Hamzah?

Saya berdoa semoga cinta dan kasih sayang sang pencipta selalu tercurah padamu dan keluargamu.

Sebelumnya saya mohon maaf karena menyampaikan ini lewat surat. Bukan sms, pesan WhatsApp atau bicara secara langsung. Karena saya takut cara itu akan mengganggumu yang sebentar lagi akan menempuh sidang skripsi. Dan sayapun berharap ini kau baca setelah sidangmu selesai atau setelah kau berada di Indonesia.

Hamzah… Maafkan saya yang tak pernah berani jujur dengan isi hati yang saya miliki. Saya takut itu akan mengganggu kuliah saya juga kuliahmu disini, meski saya tahu bahwa kau juga sebenarnya punya perasaan yang sama. Itu saya dengar dari sahabat terdekatmu.

Dan kabar baiknya adalah bulan depan tesis saya selesai. Insya Allah selesai dengan hasil yang baik. Setelah dirasa semuai urusan disini selesai, saya akan pulang ke Indonesia dan menemui orangtuamu. Aku berharap kau bersedia menunggu…

wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh...

Khotibul Umam | Cerpen Petualangan Kisah Seorang Gadis Tumbuh Menjadi Wanita

Tiba-tiba ada sesak bagai tertindih benda puluhan kilo beratnya dan tak mau jua berlalu beberapa waktu. Astaghfirullah… Ma fi qalbi ghairullah…

- Bersambung -