Aku Mencintaimu Guruku Yang Ganteng

Aku menggigit bibir bawahku sendiri, berharap debaran didadaku ini tak terdengar sampai keluar dari ragaku. Telunjuk tangan kananku mengetuk-ngetuk meja mengimbangi detak jantungku yang semakin kencang bertalu.

"Hussshh...," desisan keras terdengar dari sampingku. | Cerpen Cinta Aku Mencintaimu Guruku Yang Ganteng 

Aku sekilas melirik lalu kembali mengacuhkannya. Tangan kiriku menopang dagu, membuat kepalaku miring dan semakin leluasa mengekspos tubuh seksi di depanku. Mulutku menghisap ujung pena yang ku genggam. Ah... andai saja, aku mulai berkhayal.

Kali ini, senggolan membuyarkan lamunanku. Aku mendelik ke arah Gea. Ia balas memelototiku.

"Apa?" Tanyaku kesal. Gea mendadak menunduk dan menekuri bukunya. Aku mendengus. Si bawel itu memang pandai merusak suasana.

Aku memutar pandanganku untuk kembali menikmati pemandangan indah di depanku. Tapi raib. Pemandangan itu sirna. Bukuku pun ikut sirna. Aku bingung bukan main.

"Mencari ini, Kalea?" Suara maskulin itu serasa menampar pendengaranku. Mendadak tubuhku kaku. Selalu seperti ini. Aku liar dalam mengimajinasikannya tetapi berubah menjadi curut pengecut jika sudah berhadapan langsung dengannya.

Aku menelan ludah, kelu. Dengan gugup aku mengangguk. Tak berani sedikitpun mendongakkan kepalaku. Sementara suara sorakan bergema di sekitarku.

"Apa yang kamu kerjakan selama hampir dua jam di kelasku? Banyak materi yang ku jelaskan, tapi lihat ini, bahkan bukumu tak tersentuh sedikitpun," tegurnya sekali lagi. Aku merasa pening menyergapku. Bukan karena takut akan kemarahannya. Tapi karena aku membayangkan suara itu terjebak bersamaku seharian penuh di kamar yang terkunci dari luar. Oh... sial!! Bagaimana bisa di saat seperti ini aku malah membayangkan hal itu.

"Kalea? Kau dengar aku?" Suara tegas itu merongrong pendengaranku. Dengan terpaksa aku mendongak. Menemukan diriku tersesat dalam manik mata berwarna hazel tersebut. Manik mata yang dalam, dingin dan penuh kemisteriusan. Aku mengangguk.

"Baiklah... jangan lupa pulang sekolah nanti."

Aku kembali mengangguk. Eh tunggu? Apa tadi? Pulang sekolah? Memangnya ada apa? Aku memukul kepala sebelah kiriku saat punggung bidang itu berjalan menjauh.

Aku melongo bagai orang bodoh. Panik dan gugup mulai menyergapku saat bel pulang sekolah terdengar. Beberapa siswa dan siswi berjalan melewati kami dengan suara-suara berisik mereka yang bernada sama. Lega.

"Eh... Lea..., malah bengong. Kamu kan di tungguin Pak Dean di ruangannya bentar lagi," suara Gea menginterupsi kegugupanku. Aku menoleh. Beberapa detik otakku memproses, antara kalimat yang di ucapkan si Mr. Sexi yang ku dengar sepenggal tadi dan teguran Gea barusan. Jadi, maksudnya?

"Lea... kamu aneh!" Gea berseru lalu berderap meninggalkanku. Aku linglung. Ke ruangan Pak Dean? Whaatt? Oh God, apa yang harus ku lakukan?

Setelah berulang kali menarik nafas lalu menghembuskannya dengan gugup, aku mengetuk pintu berwarna coklat tua itu pelan.

"Masuk... tidak di kunci!" Suara berat itu menegaskan. Aku menggeleng. Menepiskan pikiran untuk masuk lalu menubruk tubuh kekar itu. Menghela nafas sekali lagi, aku melangkah masuk.

Ruangan mungil yang nyaman. Sebuah meja persegi empat dengan beberapa tumpukan buku, laptop dan tempat pena yang tertata rapi, menegaskan karakter penghuni ruangan itu yang memang selalu berpenampilan licin dan maskulin. Sebuah rak buku terletak di sudut ruangan dengan jejeran buku-buku besar di dalamnya. Sebuah cermin berukuran tak terlalu besar terpasang di tembok sampingnya.

Aku menelan ludah membasahi kerongkonganku yang kering. Dari cermin itu aku melihat 'penampakanku' yang sama sekali tak indah. Dengan rambut kecoklatan yang kusut masai, siapapun akan setuju aku lebih mirip nini lampir yang baru keluar dari gunung Merapi daripada pelajar di sekolah.

"Kalea, silahkan duduk...!" Tanpa memandangku, wajah tirus berkacamata itu menunduk membaca sesuatu. Aku menarik kursi di depannya lalu menghempaskan tubuhku di sana. Bersiap, menerima vonis mati atau di kunci seharian di sini. Ya Tuhan, kenapa aku masih memikirkannya?

Kepalaku seperti di tahan dengan ratusan gembok untuk mengeratkan posisinya. Pandanganku terkunci di bibirnya yang berubah-ubah bentuk tiap kali ia mengeluarkan suara. Aku tertegun. Aku bahkan tak bisa mendengar satupun ucapannya.

"Jadi, apa kau paham Kalea?"

Aku tergagap lalu mengangguk sedikit. Paham apa maksudnya? Demi Tuhan, aku nyaris mengabaikannya selama ia berbicara. Terfokus pada dua hal. Mata dan bibirnya.

Syukurlah ia mau mengulang perintahnya.

"Saya akan mengirimkan soal-soal tambahan ke alamat e-mailmu. Kau harus mengerjakannya malam ini. Setelah itu tinggal kirimkan jawabannya pada saya," Pak Dean berdeham untuk mengusir serak di tenggorokannya. Aku lagi-lagi mengangguk. Ah, aku merasa jadi robot tiba-tiba.

"Saya akan mengirimnya malam ini juga, Pak..." janjiku. Pak Dean mengernyit.

"Jangan! Hari ini saya ada janji makan malam. Saya mungkin akan pulang sedikit larut. Besok pagi-pagi saja kamu kirimkan."

Deg... dadaku seperti di hantam palu. Janji makan malam? Tentu saja dengan siapa lagi selain dengan wanita. Bisa saja pacarnya, atau mungkin calon istrinya. Oh... Sial. Ayolah Kalea, Pak Dean sudah cukup umur untuk menikah. Hatiku sakit tiba-tiba.

Pak Dean lalu membereskan buku-buku dan laptopnya. Mengerutkan kening menatapku.

"Sudah. Hanya itu saja, Kalea. Ada yang ingin kamu tanyakan?"

"Eh..." aku berjengit lalu menggeleng. Terburu-buru aku bangkit lalu pergi meninggalkan ruangan itu.

Aku menggaruk kasar bagian kepalaku yang tidak gatal. Gusar. Membayangkan Pak Dean tersenyum dan bercanda riang dengan seorang wanita entah mengapa membuat dadaku berdenyut perih. Ah, inikah cinta?

Sabar... Kalea. Ini hanya sebatas naksir saja. Sebentar lagi akan hilang. Toh Pak Dean tak pernah merespon perasaanmu. Yaelaahh... ya wajarlah. Wong kamu sendiri gak pernah ngungkapin. Batinku mulai berperang.

"Sayang... sudah waktunya makan malam..." suara Mama berpadu dengan ketukannya di pintu. Aku bangkit dan membukanya malas. Mama menatapku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Loh... kok masih berantakan gini. Bukannya mama udah nyuruh kamu bersiap? Kita mau ketemu calon kamu loh...?"

"Oh..." sedetik kemudian, otakku mengirim sinyal balik untuk merespon ucapan Mama yang di tangkap pendengaranku. | Cerpen Cinta Aku Mencintaimu Guruku Yang Ganteng 

"What? Apa? Are you kidding me?" Aku berteriak histeris. Namun Mama malah tersenyum misterius.

"Mama bersungguh-sungguh. Tunanganmu dan keluarganya sudah datang."

"Ya ampun Mama... please! Jangan bercanda! Gak lucu, tau gak?"

Mama menggeleng. Matanya berbinar bahagia. Aku menelan ludah. Terlalu sibuk melamunkan masa depan Pak Dean sampai-sampai aku mengacuhkan masa depanku sendiri.

"Please, Mam! Aku belum lulus SMA dan secepat itu Mama menjodohkanku? Apa Mama begitu ngebet mendapatkan Mantu sampai mengorbankan pendidikan anaknya?" Sindirku. Mama tergelak. Di dorongnya kedua pundakku.

"Cepat bersiap! Mama dan Papa akan menunggumu di bawah."

Aku menuruni tangga dengan wajah muram. Jangan di tanya betapa jengkelnya aku saat ini. Bisa-bisanya Mama dan Papa menjodohkanku di usia sedini ini. Apa calonku begitu kaya raya sampai-sampai mereka tega mengobral putri semata wayangnya? Hah... aku jadi membayangkan Datuk Maringgi dengan tubuh kurusnya mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai. Menunggu sang calon istri datang ke hadapannya. Yaitu, aku.

"Ini Kalea yaa... sudah besar dan cantik pula. Persis kamu, Fina." Suara seorang wanita yang ku yakin ibu dari si Datuk Maringgi ini.

"Lea, jangan nunduk gitu dong...! Ayo kasih salam!" Mama merangkul bahuku. Aku mendongakkan kepala dengan malas. Dan di sana, pandanganku tersesat.

Manik mata hazel itu menatapku penuh kemenangan. Menerobos masuk pintu hatiku, lalu menguncinya dari dalam.

"Jadi, kau Daniel?" Aku memberanikan diri untuk bersuara. Pria di sampingku mengangguk.

Aku ber-ooh panjang. Sebuah kenangan masa kecil mengisi benakku. Umurku 7 tahun waktu itu saat mereka datang. Remaja lelaki tampan berusia 15 tahun itu tersenyum ramah padaku. Dalam sekali tatap, aku langsung menyukainya.

Ia baik, ia selalu menggendongku tanpa ku minta. Membuatkanku mainan dari pelepah pisang, menemaniku menghanyutkan perahu kertas kami di sungai, dan sejuta hal lainnya.

Aku sudah mencintainya semenjak aku pertama kali melihatnya.

Kemudian, ia pergi. Meninggalkan kerapuhan dalam hati dan hidupku. Tahun yang berlalu tak mampu mengikis lubang yang di tinggalkannya. Dan kini, ia hadir kembali untuk menutup lubang itu.

"Aku mencarimu semenjak aku kembali ke Indonesia. Mengawasimu dari jauh. Dan untuk memastikan itu benar-benar kau, aku melamar menjadi guru honorer di sekolahmu," jelasnya. Aku menunduk menatap kaki telanjangku yang ku biarkan menyentuh rerumputan taman di samping rumah.

"Aku mengenalimu dalam sekali lihat. Tapi rupanya kau tidak mengenaliku." Pipiku memerah karena malu. Bodohnya aku sampai tak bisa mengetahui bahwa ia adalah Daniel masa kecilku.

"Kau memakai nama Dean. Sementara aku mengenalmu sebagai Daniel," belaku. Pria di sampingku tertawa.

"Dean ataupun Daniel itu sama-sama namaku. Dean Daniel Adinata," tegasnya. Aku menelan ludah lalu mengangguk.

"Maafkan aku," bisikku.

"Tidak apa-apa. Aku memaklumi. Toh meski menjadi Dean, kau sejak lama menunjukkan ketertarikan padaku, jika aku tak salah tebak." Sebuah nada jahil terdengar dari suaranya. Wajahku memanas. Aku menggelengkan kepala mencoba mengelak.

"Tidak perlu mengingkarinya. Pertama kali melihatmu pun aku sudah jatuh cinta padamu. Maukah kau menerima lamaranku ini?"

Oh... Sial. Aku bahkan lupa tujuannya datang ke rumahku malam ini. Dan apa katanya tadi? Melamar? Mendadak lidahku kelu.

"Aku akan menunggumu sampai siap, My Lady. Berapa tahunpun yang kau minta." Tahu-tahu Daniel sudah berlutut di sampingku, menggenggam erat jemariku. Aku menganga. Terlalu lebar sampai Daniel terkekeh melihatku.

Katakan padaku, ini bukan mimpi!

Ya... semuanya nyata. Pangeran yang kulamunkan setiap hari memintaku untuk menikah dengannya. Guru seksi yang kutatap setiap ia berada di depan kelas, memintaku menjadi istrinya.

Lalu alasan apa yang tepat untuk menolaknya? Tidak ada!!

"Ya... tentu saja aku mau. Secepatnya." | Cerpen Cinta Aku Mencintaimu Guruku Yang Ganteng