Kisah Lobi Cinta Sang Singa Part 2

“Seperti apa Junot sekarang? Ceritain dong Dek.” | Cerpen Cinta Kisah Lobi Cinta Sang Singa Part 2 

Ya, seperti sudah kuduga, berondongan rasa ingin tahu Kak Antin langsung menerpa selepas ia menjawab salam. Rasa lelah membuatku mempertimbangkan untuk tidak menjawabnya.

“Deeek! Jawab dong! Lama ih!”

Kali ini tangannya menarikku, maaf, menyeret sepertinya lebih tepat. Dengan semangat yang jarang ia perlihatkan, tanpa kusadari, kami sudah berada di dalam kamarnya. Tiba-tiba aku merasa seperti seorang pesakitan yang akan diinterogasi.

“Cerita dong,” ia duduk di kursi seolah yakin aku akan bercerita, sedang yang diharap bercerita langsung merobohkan diri ke ranjang.

“Mbak Antin,” kubenamkan wajahku ke dalam lembutnya bantal sambil memanggil namanya.

“Apa Dek?” Kudengar suara kaki menghampiri, lalu sepasang tangan memijat lembut bahuku.

“Junot keren ya?” Tangannya sebentar berhenti memijat usai perkataanku.

“Kamu suka?” Ada sedikit nada yang tak kupahami di dalam tanyanya.

Terpikir untuk mengiyakan pertanyaan Mbak Antin, namun perpaduan bantal yang empuk dan pijatan yang lembut membuat jawabanku tak kunjung lepas dari mulut. Aku tertidur.

Entah pukul berapa, aku terbangun. Dalam posisi masih berbaring, telingaku lebih cepat menangkap suara Mbak Antin, membuat mataku tetap terpejam.

“Aku sayang kamu,” suara lembut Mbak Antin menyergap kesadaranku.

“Siapa Mbak?” Aku mencoba bangkit dan duduk mengandalkan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul. Menguap lebar, lalu berdiri sedikit goyah.

“Eh, sudah bangun? Dari kapan?” Suara Mbak Antin terdengar gugup. Telepon seluler yang tadi menempel di telinga, buru-buru ia sembunyikan setelah diputus sambungannya.

“Baru saja Mbak. Tadi siapa? Kok pakai sayang-sayangan segala?” Aku tetap mengejar jawaban darinya.

“Kamu dicariin Ibu tuh!” Dengan sigap, tubuhku yang masih sempoyongan didorongnya keluar kamar. Belum sadar dengan apa yang terjadi, pintu kamarnya telah dikunci dari dalam.

Menyebalkan! Tubuh sekecil itu, kok bisa-bisanya mendorong tubuhku yang lebih besar? Pasti ada yang disembunyikan. Mbak Antin punya pacar, desisku yakin.

Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam lebih sedikit. Dengan langkah gontai, aku menuju dapur, mencuci muka di wastafel dan langsung mengambil makan malam.

“Salah dengar kali kamu?”

Ah, Junot jadi menyebalkan pagi ini. Informasi yang kurangkai dengan indah ditanggapi sambil lalu.

Hari yang masih dalam masa persiapan pelaksanaan masa perkuliahan rencananya akan kuhabiskan dengan bergosip ria bersama Junot. Tentu saja membahas Mbak Antin.

“Beneran Not! Masa aku salah denger?” Semoga junot tidak menyadari keraguan dalam jawabanku tadi. Bagaimana mau yakin, sedang aku sendiri saja baru bangun dari tidur.

Bisa habis aku diledek Junot kalau sampai ia tahu.

“Pukul berapa kamu dengarnya?” | Cerpen Cinta Kisah Lobi Cinta Sang Singa Part 2 

Junot tampak sedikit yakin, membuatku jadi bersemangat kembali.

“Sekitar pukul sembilan,” antusias jelas terpancar dari cepatnya jawabanku meluncur. Seolah sudah kurencanakan.

“Leon habis ngapain, kok bisa denger?” Aku merasa seperti ada di bawah mikroskop saat tatapan Junot menghajar mataku. Membuat gelagapan tak mampu langsung menjawab. Jnunot kembali menjadi Junot yang menyebalkan.

“Junot sih gitu!” Kuputuskan menggunakan jurus terakhir yang kumiliki, berpura-pura marah. Sedikit ambek, dan banyak modus maksudku. Sebuah hentakan kaki dan kerucutan bibir kusuguhkan sebagai penutup. Sempurna.

“Iya, iya. Aku percaya,” meski tak sepersen pun terdengar ada kesungguhan di jawabannya, tapi cukup membuat wajahku memerah kegirangan.

“Menurutmu siapa, Not?” Ah, sudah berapa kali aku panggil dia Not, Junot? Tanpa ada embel-embel Kak seperti saat Leon Kecil memanggilnya dulu. Not ... Not ... Not .... Seperti ada ambulan di kepalaku. Aku terkikik geli dalam hati.

“Mana aku tahu? Kamu lupa aku baru saja tiba di Jakarta?” Tangannya menyodorkan sebatang coklat kegemaranku. Hanya perlu beberapa detik agar coklat itu berpindah tangan, bertukar dengan sebaris ucapan terima kasih yang dibalasnya dengan senyum geli.

“Lalu Junot sendiri?” Ah, akhirnya sebuah kalimat super pendek yang kususun dari semalam bisa kulontarkan dengan gagah berani, layaknya seekor singa.

“Aku? Ada apa dengan aku?” Pasti Junot sedang memparodikan film Dian Katro, terlihat dari senyum usilnya. Kukuatkan hati untuk mengabaikan candaannya.

“Sudah punya seseorang yang istimewa?” Memang kalimat itu sukses kuutarakan, namun sepertinya wajahku malah berbalik menghadap selatan, seperti tak mampu melihatnya. Ini seperti aku menyatakan cinta kepada Junot, selisih beberapa kalimat.

“Sempat ada,” jawabannya seperti kurang untukku. Ada yang kurang, tapi justru penuh makna dalam kekurangan itu. Belum lagi senyumnya yang getir menambah efek dramatis bagi perempuan ‘baperan’ sepertiku. Tapi biarlah. Kusimpulkan saja saat ini tak ada satu pun wanita yang istimewa untuknya.

Hari pertama aku mengajar, Selasa. Sesuai niatan awal, aku akan bertahan hingga jadwal kuliah malam. Siapa tahu bisa makan malam sebentar dengan Junot sebelum ia mengajar. Siapa tahu juga bisa minta antar pulang. Kadang aku kagum dengan diriku sendiri.

Sayangnya dampak rencanaku yang masih nanti, membuat waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Mirip saat menunggu buka puasa mungkin ya, pikirku.

Sesi kali ini baru masuk seputar pengantar mata kuliah. Pengalaman mengajar sebagai asisten dosen membuatku mampu membawakan sesi yang biasanya membosankan ini menjadi hidup. Semua mahasiswa berperan aktif dalam kegiatan interaktif. Koreksi, hampir semua.

Kuperhatikan seorang peserta mata kuliahku, seorang laki-laki yang mengarahkan wajahnya ke arah depan dengan dagu bertopang lengan. Pose yang normal biasanya. Namun kali ini pose tersebut dilakukan dengan mata tertutup. Ya, mahasiswa itu tertidur.

Kuhampiri bangku mahasiswa itu. Letaknya di tengah-tengah. Rupanya niatanku tercium mahasiswa lainnya, mereka menghentikan kegiatan dan menatapku, menanti apa yang akan kulakukan. Sebagian berbisik-bisik, lainnya tertawa tertahan.

Setelah kupastikan memang ia tertidur, kuberi tanda kepada mahasiswa lainnya agar melanjutkan hingga akhir sesi. Aku tak tahu alsannya tertidur dalam mata kuliah yang kubawakan. Tapi aku juga pernah melakukannya, walau mungkin dengan alasan yang berbeda. Sampai aku tahu alasannya, kuputuskan untuk memberinya keringanan kali ini.

“Mas, mata kuliah sudah selesai,” ujung jariku menggoyangkan bangku yang ditempati mahasiswa itu.

Matanya terbuka penuh. Nyalangnya menciutkan nyaliku. Sekian detik ia sudah berdiri tegak di hadapanku.

“Maafkan saya Ibu! Saya ketiduran!” Sedikit membungkuk, suaranya cukup keras menggema di ruang kelas. Wow, tinggi sekali tubuhnya. Atau pendek sekali tubuhku? Entahlah. Yang jelas seperti melihat pohon beringin. Tinggi besar. Menakutkan, tapi sopan.

“Eh, tidak apa-apa Mas. Lain kali jangan ya, sayang kan sudah bayar uang kuliah tapi sia-sia?” Kuserahkan lembaran tugas yang harusnya ia catat dalam sesi hari ini.

“Terima kasih Ibu. Sekali lagi maafkan saya!” Dengan anggukan terakhir, ia beranjak meninggalkan kelas. Langkahnya lebar-lebar seperti berbaris. Ini anak anggota Pramuka kali ya, pikirku.

Belum selesai aku memikirkannya, suara keras antukan antara sebuah benda dengan pintu menggema, memaksaku terpingkal-pingkal. Wajah mahasiswa itu menabrak pintu. Dengan wajah memerah malu, ia meminta maaf dan melanjutkan langkahnya. Masih mengantuk rupanya.

Orang yang aneh, pikirku masih geli. | Cerpen Cinta Kisah Lobi Cinta Sang Singa Part 2 

- Bersambung -