Kisah Perjalanan Kecilku Di Paris Perancis Part 3

Sekitar jam 10 pagi semuanya sudah menghilang.

Tinggal aku. | Cerpen Petualangan Kisah Perjalanan Kecilku Di Paris Perancis Part 3

Aku dan iblis kecil itu.

Dari tadi dia memang cuma duduk di depan tivi dengan tenang. Sedangkan aku duduk jauh-jauh darinya. Kalo mami nggak pesen -pake sedikit ancaman- agar aku jagain dia, mungkin saat ini aku udah kabur ke rumah Bobby.

Hiena menoleh. Sadar, dari tadi aku mengamati dengan wajah kesal.

"What?!" Serunya nggak suka.

Aku memutar bola mata. Jengah. Lalu merosot di sofa hingga akhirnya posisi berbaring. Mending tidur daripada harus ngeliat anak reseh kaya dia. Lagian dia udah gede, nggak mungkin lah ngerusak barang-barang kaya pas kecil dulu.

Lumayan lama, aku udah hampir ketiduran saat tiba-tiba kudengar suara bel pintu.

Ada yang balik?

Ting-tung! Bel bunyi lagi.

Setengah mengeluh, aku bangkit dari sofa dan berjalan ke pintu.

"Bobby?" Mataku menyipit. Melihat ternyata Bobby yang ada di depan pintu. Nggak sendirian, dia sama Laura. Ah, iya. Beberapa hari yang lalu kan dia bilang mau kencan sama Laura.

"Lo di rumah aja, boy?" Bobby langsung nanya.

Aku menggaruk kepala. "Iya."

"Nonton yuk!" Ajaknya.

Nonton? Wah, ide bagus. Tapi ... masa jadi kambing congek? Nggak keren amat?

"Tenang aja, entar Laura bantu ngajak Sarah. Jadi kita nonton bareng!" Bobby seolah tau apa yang kupikirkan.

Sekilas senyumku langsung melebar. Tapi cuma sekilas. Karena kemudian aku sadar ada anak kecil yang harus kujaga.

Aku melirik ke arah Hiena yang fokus pada layar tivi.

"Sorry lah, gua nggak bisa. Harus jagain adek."

"I am not his sister!" Teriak Hiena tiba-tiba.

Bobby dan Laura menahan tawa. Sementara aku berdecak kesal. Ternyata anak itu nguping pembicaraan kami. Dasar!

"Ya udahlah, gua pergi dulu!" Bobby mengangkat bahu. Masih sambil menahan tawa.

"Oke," sahutku dengan dahi berkerut. Heran.

Apalagi detik kemudian dua makhluk itu menyemburkan tawa yang sempat ditahan-tahan.

Aku menatap mereka berdua bingung, agak kesal. Karena merasa ditertawakan.

"Nick, nggak nyangka. Lo kalo di rumah ternyata jadi cowok metroseksual!"

"Maksudnya?"

"Tuh liat kuku lo! Manis banget."

"Hahahahah!"

Tawa mereka langsung pecah saat Bobby menunjuk ke arah jemari tanganku.

Aku menunduk. Lalu menyadari bahwa kuku tangan kiri sudah berwarna pink terang. Astaga ...!

Tanpa senyum aku menjawab pamit Bobby. Sampai keluar pintu gerbang pun masih terdengar tawa cekikikan mereka. Sial!

"Hei! What did you do to me? You do this joke? Its not funny, Devil!" Aku berteriak di depan bocah itu.

"You call me Devil? You are snake head!"

"Bad girl!"

"Stupid handsome!" Hiena menutup mulut menyadari ucapannya. Sementara dahiku berkerut. "I mean, you are so ... stupid ... and not handsome."

Kami bertatapan. Dengan sorot mata sama-sama kesal. Pengen gantung nih anak kebalik di atas pohon. Tapi kemudian kulihat mata bening itu mulai dipenuhi kaca-kaca.

Dia menangis?

Tapi kenapa? Bukannya aku yang dijahati? Arrgh, bener-bener! Gimana pun aku harus mengalah karena mami pasti ngamuk kalo tau anak kesayangannya merasa teraniaya.

"Oke, now tell me what you want to do? Wanna play something?" Aku mencoba melunak.

Dia masih diam.

Aku menggaruk kepala. Sedikit kesulitan karena harus pake bahasa inggris sama nih anak.

"How about ... Play Station? Hide and Seek? Ular tangga?"

Karena aku nggak tau bahasa inggrisnya ular tangga jadi aku ngomong pake bahasa isyarat. Lalu seketika ngerasa jadi makhluk idiot setelah ngeliat Hiena menahan tawa.

"Lucu!"

Lucu? God! Ternyata dia ngerti bahasa indonesia. Kenapa nggak bilang dari tadi? Ah, bikin malu aja nih anak.

Tapi kemudian dia menggeleng tegas untuk semua permainan yang kutawarkan.

"Aku punya film animasi. Mau nonton?" Akhirnya aku nanya, putus asa.

Dia mengangguk mantap.

"Oke, aku ambil dulu filmnya!" Aku akan melangkah ke kamar tapi Hiena menarik tanganku.

"Apa?" tanyaku nggak ngerti.

Semakin nggak ngerti saat melihat rona merah di kedua pipinya.

"Bukan nonton film yang itu ..."

***

Jreng!

Dan di sini lah kami berdua. Di tengah keramaian bioskop 21. Dimana rata-rata pada pasangan dengan yang seusia, sementara aku ... ama anak kecil!

Gila ... ini bener-bener gila!

"Kenapa berdirinya jauh banget?" Hiena melipat tangan sambil menatap kesal padaku.

Aku memutar bola mata. Lalu bergeser lebih dekat. Udah nakal, sok ngatur lagi. Dalam hati aku terus berdoa semoga nggak ketemu sama satu temen pun di sini. Walau harapan terkabulnya minim, karena aku tau si Bobby tadi kan bilang mau nonton hari ini.

Tapi ternyata ... doaku dicuekin Tuhan!

"Nicky?"

Jantungku hampir melompat. Suaranya aku hafal banget!

Malu, aku pura-pura nggak denger dan mengelap sisa es krim di sudut bibir Hiena dengan ujung jari. Anak kecil itu langsung melotot risih.

"Nicky? Nonton sama siapa ...?" Suara itu terdengar semakin dekat. Bahkan aku tau sekarang orangnya udah berdiri di sebelahku.

Sarah.

God! Aku bener-bener pengen lari atau pura-pura amnesia seketika. Atau ... pura-pura jadi Sean aja? Ah, nggak-nggak! Walau kembar identik tapi kami tetep beda penampilan. Muka Sean keliatan lebih lembut, sementara aku lebih keren.

Keren tapi bawa anak kecil ke bioskop?

Hadeh. Suara hati kok menyudutkan.

"Ini adik kamu ya, Nick?" Sarah tersenyum ke arah Hiena.

"Ah ... iya," jawabku sambil menggaruk kepala. Akhirnya aku memilih pura-pura jadi diri sendiri. Hah!

"Cantik banget," puji Sarah tulus.

"Aku bukan adiknya!" Ketus Hiena kesal.

"Maksudku ... adik sepupu." | Cerpen Petualangan Kisah Perjalanan Kecilku Di Paris Perancis Part 3

Aku buru-buru meralat.

"Aku sama sekali nggak ada hubungan darah sama dia!" Hiena terlihat semakin kesal.

Aku melotot padanya. Dasar anak nakal!

Sementara Sarah cuma tersenyum. Hari ini ... dia keliatan cantik. Mungkin karena baru kali ini aku ngeliat dia nggak pake baju seragam. Atau .. karena dia pake aksesoris dan pake lipstik tipis? Atau .. karena Sarah memang bener-bener cantik? Ah, entahlah. Yang jelas aku bahagia banget bisa ketemu sama dia di sini

Eh tapi tunggu! Sama siapa Sarah nonton? Apa dia janjian sama si alay itu? Bukannya di kantin kemaren si alay ngajak Sarah nonton? Jadi Sarah nerima ajakannya? Atau ... jangan-jangan mereka malah udah jadian sekarang?

"Hmm ... kamu nonton sama siapa?" Aku menatap Sarah. Tapi tentu saja dia nggak akan jawab, karena pertanyaan itu cuma ada di kepalaku. Tunggu, mungkin pertanyaannya diganti begini aja.

"Kamu ... sama Andre ya?" Aku menahan napas. Berpikir lagi. Seriring dengan rasa panas yang mulai mengalir di hati.

"Kenapa malah nonton sama dia?" Napasku mulai nggak beraturan.

"Kenapa suka sama si alay itu? Dia itu over acting! Dia itu lebay! Dia itu blo'on! Dia itu ... jerawatan! Kenapa malah suka sama dia?! Kenapa? Kenapa? Kenapa ...?!"

Kepalaku berasap!

"Hei- di sini!" Kulihat Sarah melambaikan tangan pada seseorang di kejauhan.

Cess ... seperti ada suara benda panas tersiram air. Lega seketika! Ternyata Sarah janjian sama Milly dan Lisa.

Dua cewek itu setengah berlari ke arah kami. Mata mereka menatapku dan Sarah bergantian, curiga.

"Nicky? Kalian udah janjian ya?" Tanya Lisa.

Kulihat rona merah di pipi Sarah. Tambah manis. "Nggak kok. Kebetulan aja ketemu."

"Ohh ..." Mereka mengangguk-angguk, lalu tatapan berhenti ke wajah Hiena.

Oke-oke aku tau. Pasti mereka pikir aneh banget ada cowok ngajak nonton anak kecil. Sebentar lagi aku pasti ditertawakan!

"Uuhh ... so sweet banget Nicky ngajak adeknya nonton," puji Milly dengan gaya gemes khas cewek.

Eh?

"Aku pasti bahagia banget kalo punya kakak sebaik Nicky! Keren ..." Lisa ikut memuji.

Manis, baik, keren ...? Aku tersenyum. Merasakan kepala yang langsung membesar. Sementara Hiena tambah cemberut.

"Oh ya, udah beli tiketnya belum?" Lisa nanya.

"Belum," jawab Sarah.

"Mau nonton di teater berapa?"

"Teater dua aja, filmnya bagus!"

"Ya udah, teater dua. Oh ya, kamu udah beli tiket, Nick? Mau nonton di teater berapa?"

"Aku ... teater dua juga," jawabku sambil ngelirik ke arah Hiena, "ayo bareng beli tiketnya."

Hiena mendengus. Tapi untungnya dia nggak bilang apa-apa. Sebenernya aku udah beli tiket untuk teater 1 tadi. Tapi ... kayanya isi di teater dua lebih asyik.

Menit kemudian aku dan yang lain udah bersiap di kursi masing-masing. Seneng banget karena akhirnya aku bisa duduk deket Sarah. Yah, walaupun ada Hiena di sebelah kanan, tapi kan aku nggak harus noleh ke arah dia!

Suasana mulai gelap saat film dimulai.

Aku sama sekali nggak peduli ceritanya karena aku fokus ke Sarah. Dalam jarak sedekat ini, membuatku yakin bahwa aku nggak rela ngeliay dia jadian sama si alay itu. Jadi ... inilah saat yang tepat buat nyatain perasaan.

"Hmm ... Sarah," panggilku.

Sarah menoleh. Mata kami bertemu. Ah, tambah panas dingin rasanya. Apalagi ... saat tangan kami nggak sengaja saling sentuh karena kurasakan Sarah meletakkan tangannya di atas tanganku.

Pelan, aku menutup jemari. Membuat jemari lembut Sarah terjebak di dalamnya. Beberapa saat kami hanya saling menatap.

Dengan jantung yang berdebar.

Semakin berdebar ... tapi,

Deg!

Sarah menyelipkan rambut yang tergerai ke belakang telinga. Sementara tangan yang satu lagi di atas pangkuan.

Jadi yang ada digenggamanku tangan siapa?!

Aku menoleh ke bawah, god! Ternyata itu tangan Hiena yang akan mengambil popcorn. Kulihat anak itu menyeringai jijik ke arahku. Segera kulepaskan sambil nahan malu.

Setelah menarik napas, aku menoleh pada Sarah lagi.

"Sarah," panggiku.

"Ya?"

"Aku ..."

Sarah menatapku.

"Aku ..."

"Ya?"

Baru saja mulutku terbuka, saat aku merasakan Hiena menarik-narik lengan baju.

"Apa?" Aku menoleh.

"Aku mau pipis!"

Aku memutar bola mata. Ada-ada saja! Masa aku harus nganterin dia ke toilet cewek?

"Aku mau pipis!" Hiena sedikit berseru.

"Ah, biar aku aja yang anter ..." Sarah menawarkan. Lalu mereka berdua segera keluar dari ruangan.

Aku menarik napas sedikit kesal melihat tingkah Hiena. Ganggu aja tuh anak!

Lama.

Saat mereka kembali ke tempat duduk, aku sudah mulai tertarik dengan cerita filmnya. Ah, mungkin nembaknya setelah nonton aja.

.

"Sarah!"

Aku berusaha menjajari langkah Sarah saat kami keluar dari teater dua.

Sarah menoleh, tapi jelas sikapnya jauh berbeda dari sebelum kami nonton tadi. Bahkan dia sengaja jalan lebih cepat. Apa karena cerita filmnya berakhir sedih makanya dia marah-marah?

"Cepetan, ada apa?!" Ketusnya.

Aku menggaruk kepala bingung, "Hmm ... gimana kalo kita makan es krim dulu?"

"Aku nggak bisa! Aku mau maen sama Lisa dan Milly!"

Kecewa.

"Ya udah, aku pergi duluan!" Sarah akan melangkah lagi. Tapi tiba-tiba aku menarik tanganya. Sarah keliatan sedikit kaget, begitu juga aku.

Jantungku ... berdebar lagi. Tapi aku harus ngomong sekarang!

"Ada yang mau aku omongin sama kamu ... kita makan dulu ya?" ucapku sedikit meminta.

Sarah berpaling ke arah lain. "Ya udah, ngomongnya di sini aja!"

"Di sini?" Aku menoleh ke arah Hiena yang berdiri beberapa langkah dariku.

Akhirnya aku menarik Sarah agar sedikit menjauh dari anak itu. Lalu ...

"Hmm ... kamu mau nggak jadi pacarku?" Aku menarik napas, dengan dada yang terasa akan meledak oleh detak jantung sendiri. Mana tangan dan muka sama-sama panas dingin. Sumpah, pengen nutup muka pake kaos tapi takut disorakin!

Sarah menatapku dengan mata berkaca-kaca. Membuat dahiku sedikit berkerut. Ada apa?

"Dasar player!" Dengusnya.

Player katanya?

"Maksud kamu...?" Aku nggak ngerti.

"Kamu pergi nonton sama adik pacar kamu, dan sekarang kamu nembak aku?!" Sarah melotot seiring dengan airmata yang mengalir semakin deras di pipinya. "Kamu bener-bener cowok jahat!"

Sarah berlari pergi. Meninggalkanku yang hanya terdiam. Shock!

Sementara di sana Hiena menatapku dengan wajah polosnya. Tapi cuma sebentar. Karena detik kemudian aku melihat bocah itu menjulurkan lidahnya ke arahku.

Iblis!! | Cerpen Petualangan Kisah Perjalanan Kecilku Di Paris Perancis Part 3

- Bersambung -