Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 2

"Salah satu hal yang membuat aku bahagia tentang pernikahan adalah, wajahmu pertama kali yang kulihat ketika aku membuka mata di setiap subuhnya." | Cerpen Sedih Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 2

"Gom-bal."

"Perempuan kan makhluk aneh."

"Kok?"

"Sukanya digombal. Melambung-lambung ketika dipuji. Dan kamu gak terkecuali. GR-an."

"Siapa bilang aku suka."

"Tuh, senyum-senyum."

"Masa iya aku harus histeris."

"Jangan. Senyum aja terus istri jelekku. Senyum kamu yang bikin Mas falling im love."

"Gombal lagi deh."

"Kamu perempuan paling sempurna yang kutemukan."

"Receh."

"Istri solehah penurut sama suami."

"Koin."

"Paling enak masakannya."

"Mau muntah."

Mas Erya menarik hidungku kuat-kuat. Kesal setiap rayuannya ku bantah. Aku membalasnya mencubit pipinya lebih kuat. Kami berusaha saling menyerang. Membalas. Menghindar. Lalu di tengah kehebohan yang terjadi, aku dan Mas Erya terjatuh dari tempat tidur. Tepat di lantai.

Beruntung aku jatuh di atas tubuh Mas Erya. Sehingga hanya suamiku sendiri yang merasakan sakitnya badan mencium lantai.

Kami tertawa. Bahagia.

Semoga tetangga kami tidak merasa terganggu oleh kehebohan kami di subuh yang masih buta ini.

Mengingat tetangga terdekat kami adalah Sam.

Sang mantan.

Mas Erya memang membiasakan diri bangun lalu bercanda sebelum azan subuh. Agar ketika azan subuh pikiran sudah sepenuhnya terbangun, sehingga tidak berat melangkahkan kaki ke untuk sholat.

Kecuali ketika kami sedang diam-diaman.
*

Memasuki hari seminggu, bertetangga dengan Sam masih terasa sulit untukku. Bayangkan beranda rumah kami hanya berjarak tiga meter.

Aku masih kikuk bila harus bertemu muka dengannya. Bukan apa-apa. Mengingat ia dua hari lalu nekat menghubungiku. Ada ketakutan, Sam berbuat lebih nekat dari itu. Yang kelak rumah tangga kami yang jadi pertaruhannya.

Seseorang pernah berkata, tetaplah berhubungan baik dengan mantanmu dengan cara Tidak pernah berhubungan dengannya. Catat: tidak pernah berhubungan dengannya!

Dalam hal apa pun. Media sosial, telepon , SMS dan lainnya.

Kenapa?

Mengingat mantan itu adalah seseorang yang pernah mendiami bilik hati, mau tak mau ia pernah menjadi istimewa dalam sepenggal perjalanan kisah kita. Kalau kata orang ibarat mantan itu alumni dari hati, tidak tertutup akan ada reuni.

Nomor Sam jelas-jelas telah ku blokir. Pertemanan di Facebook telah lama ku hapus. Tepat setelah ku iyakan lamaran Mas Erya tiga tahun lalu. Kami tidak pernah berada dalam satu grup apapun. Beres.

Tapi sekarang kami bertetangga. Bersebelahan. Hampir tanpa jarak.

Bukankah ini sedikit menjadi masalah.

"Mbak tetangga baru kita ya."

Aku terkejut. Istri Sam. Aku sedang menjemur pakaian di belakang rumah, ketika ia kulihat sedang membuang sampah.

Aku tersenyum, manggut sekali.

"Saya Riana, mbak."

Ia mengulurkan tangan. Aku tahu namanya Riana. Bahkan aku sedikit lebih banyak tahu tentangnya, tanpa ia sadari. Karena dulu, di waktu yang sebenarnya sedikit kusesali aku pernah mencari tahu siapa Riana.

Riana. Perempuan yang membuat Sam harus menjadikanku sebagai perempuan patah hati.

Kusesali sebab di masa itu aku pernah mengemis pada sebuah kisah, yakni agar Sam tetap bertahan untukku. Aku meminta tidak ditinggal. Bahkan aku memohon agar Sam harus memilihku, dulu. Tapi kini kusadari kisah itu hanya berupa sampah.

Aku lupa mengemis cinta itu seharusnya pada Tuhan. Bukan pada Sam. Aku tidak tahu berharap itu pada Allah. Bukan pada Sam. Dan seharusnya aku menangis untuk Sang Ilahi. Bukan pada Sam.

Mungkin patah hati yang kuderita saat itu adalah cara Tuhan mengajakku kembali agar melek. Bahwa cinta sejati datangnya dari sisi-Nya.

"Senang berkenalan dengan, mbak."

"Sama-sama, Mbak Riana."

Senyumku tulus. Sangat. Tanpa dibuat-buat. Mungkin berbeda ceritanya ketika aku harus berjabat tangan dengan Riana di waktu tujuh tahun lalu. Ketika Sam memilihnya.

Jelas kuingat, dari info yang kuperoleh lewat stalking media sosial, aku tahu Riana adalah seorang guru. PNS. Entah itu alasan Sam bertekuk lutut padanya. Sedang aku hanya seorang gadis rumahan.

Aku tidak pernah mengenal Riana secara langsung. Sebab kami berbeda kota.

Lucunya, mungkin efek patah hati level VIP, aku trauma melihat perempuan-perempuan berpakaian PNS.

Apalagi yang cantik-cantik. Aku merasa setiap melihat wanita mengenakan baju dinas, wanita-wanita itulah yang merebut Sam dariku. Hati berdenyut nyeri setiap kali berpapasan dengan perempuan guru.

Gila kan?

Iya, cinta kadang serumit itu.

Eh, bukan cinta. Nafsu. Atau tepatnya dulu mungkin itu hanya ambisiku untuk tetap memiliki Sam.

Usia berbasa-basi sejenak, Riana pamit ke dalam. Aku melanjutkan menjemur.

Kudengar suara ribut-ribut di dalam rumah Sam.

"Ya ampun, Sam. Itu coba lihat Dela. Tangannya belepotan gincu."

"Tadi aku ke depan sebentar, tahunya Dela udah masuk kamar, ambil gincu kamu."

"Iiih, padahal itu gincu mahal.Belum lunas kreditannya."

"Salah sendiri. Udah tahu anaknya lasak, masih sembarangan letakin barang."

Lalu terdengar suara anak Sam yang lain. Berteriak minta diambilkan susu.

"Ya udah, kamu buatin susu Dirga, aku yang mandikan Dela."

Aku tergugu sejenak. Jemuran menggantung tidak selesai. Karena suara-suara itu jelas bagiku, tidak ada alasan tidak menyimaknya.

Sam punya anak dua. Sepasang. Dirga dan Dela. Dirga dari seragamnya aku menduga sudah kelas satu SD. Sedangkan Dela mungkin umur tiga tahun lebih. Keduanya terlihat imut dan menggemaskan.

Boleh saja Sam merasa rumah tangganya sedang hambar. Pusing dengan istri bahkan dengan anak yang banyak menuntut perhatian dan biaya. Bisa saja Sam iri padaku, karena Sam melihat betapa aku dan Mas Erya terlihat adem. Atau mungkin Sam iri melihatku hampir tidak pernah bersuara keras pada Mas Erya.

Tapi tahukah Sam, aku juga iri pada mereka. Tepatnya detik ini. Aku iri mendengar keributan mereka menghadapi anak-anak. Aku juga ingin ribut kecil dengan Mas Erya gara-gara kelakuan anak yang kadang suka bikin masalah. Aku menginginkan kerepotan yang lebih dari sekarang. Repot antara mengurus anak dan ayahnya.

Aku merindukan sosok malaikat-malaikat kecil. Sam beruntung. Menikah lalu punya anak. Dia tidak akan pernah merasakan arti menunggu. Atau ia tak perlu sesekali berurai air mata di pertigaan malam, memohon dipercayakan diberi momongan.

Tidak adil rasanya Sam dengan pongah mengatakan ia tidak bahagia dengan pernikahannya.

Mawar mempunyai duri bukan berarti tidak indah. Awan hitam di langit, tak selamanya membawa hujan. Kalau pun hujan, airnya bisa berupa berkah di bumi. Tak selamanya banjir menghanyutkan.

Mungkin bukan mencari bahagia dalam pernikahan. Tapi bagaimana cara menciptakan bahagia dalam pernikahan.

Dan....Sepertinya ada saat-saat kita selalu memandang orang lain lebih baik juga lebih bahagia dari kita, saat orang lain pun sedang iri melihat kebahagiaan kita.

Lalu siapa sebenarnya yang paling bahagia?

Aku menyiapkan makan malam. Mas Erya datang menghampiri. Sebelum duduk ia iseng menyendok sup jamur buatanku. | Cerpen Sedih Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 2

Begitu mencicipnya ia membuat wajahnya persis orang sedang makan sesuatu yang aneh. Bekerut-kerut gak karuan, mata dipejam-pajamkan, bibir berdecap-decap alay.

"Mulai aneh lagi."aku merengut sambil terus menyiapkan segala sesuatunya.

"Makanannya...makanannya..." Mas Erya menunjuk-nunjuk, seolah ada hal mengerikan di sup jamurku.

"Apaan sih, Mas."

"Supnya....enak, sayang."

Tuh kan Mas Erya hanya mau mengerjaiku. Wajahku datar saja.

"Kok gak ada respon?"

Akhirnya penasarannya juga Mas Erya.

"Udah tahu kok, Mas bilang masakan aku tiap hari enak."

"Tapi gak tahu kan Mas cuma bohong."

Aku mendelik. Menyelidik. Jangan-jangan Mas Erya seorang suami seperti yang aku baca di wall facebook seorang teman tempo hari.

Katanya seorang suami yang baik itu adalah suami yang berusaha selalu memberi pujian pada istrinya. Terutama masakannya. Sebab memasak adalah salah satu tugas kebesaran seorang istri sebagai Ratu di rumah. Jadi sesekali atau seringkali patutlah seorang suami berkomentar tentang masakannya.

Memujinya mungkin. Walau keasinan, kepedasan, gak enak, atau apalah tetaplah puji. Agar istri semangat lagi mengerjakannya besok dan besoknya lagi. Memasak itu bukan soal pekerjaan yang apabila bosan dan jenuh lalu minta resign. Tapi sebuah pengabdian seorang istri pada suami hingga ke ujung usia.

Nah, jangan-jangan Mas Erya sedang mencoba menjadi suami yang baik dengan pura-pura terus memuji masakanku?

Duh.

Tapi iya, terkadang perempuan lebih suka kebohongan yang manis daripada kejujuran yang pahit.

"Bohong apaan?" desakku.

Mas Erya tersenyum. Mulai menyendok nasi. Aku butuh jawaban. Bukan senyuman jahil.

"Mas...!" aku menahan tangannya menyendok nasi. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin kebagian banyak pahala dengan melayani suamiku sebaik mungkin. Termasuk menyendok nasinya di setiap waktu makannya.

Itu pahala terindah untuk para istri. Barbahagialah para perempuan.

"Masakan kamu gak enak."

Aku cemberut. Menyendokkan banyak nasi ke piring Mas Erya. Melebihi porsi biasanya.

"Eh, eh...nasinya kebanyakan, Dek. Mau bikin Mas muntah."

"Biarin."

"Yaah gitu aja si jelek marah. Mas kan belum selesai ngomongnya. Maksud Mas, gak enak. Tapi enaaaak banget."

Aku tetap menyendokkan banyak nasi. Juga lauk. Tidak peduli Mas Erya sudah meralat kata-katanya.

"Sayang, udah dong. Nanti gak habis. Kan mubazir."

Aku tidak peduli.

"Vina Rahayu."

Terus ku tambah.

"Oke."

Mas Erya menyerah. Angkat tangan. Aku tertawa dalam hati. Puas merasa menang. Kutarik kursi di samping Mas Erya.

"Pengen sepiring berdua."ujarku tersenyum.

Mas Erya menatapku. Tepat di tengah manikku. Aku berbinar. Tahu, Mas Erya baru sadar dikerjai.

" Mas ngambek makan."rungutnya.

Alisku terangkat.

"Kecuali....disuapin."

Aku mencibir.

"Manja!"olokku.

Tapi tetap menyuapi Mas Erya. Sesekali bahkan ia iseng menggigit jariku. Kami makan bersama.

Percayalah, sepiring berdua itu bukan tidak memberi efek. Ada 'rasa' yang terjalin semakin kuat bernama cinta dan kasih sayang. Atau rasa lucu. Seperti sekarang, saat Mas Erya tidak lagi sabar menunggu suapanku, ia akhirnya menyuap sendiri. Lalu kami rebutan lauk di piring.

Itu lucu. Dan itu bahagia.
Ada yang mengetuk pintu. Pagi-pagi. Aku bergegas menuju pintu. Membukanya dan sedikit terkejut melihat sosok bocah di depan pintu. Tersenyum polos.

Senyumnya memikat. Manis. Meski masih kecil. Aku ingat, itu senyum milik Sam. Dirga, anaknya ternyata mewarisinya.

" Tante, ini dari mama."

Sekotak bika ambon, khas kota Medan. Sedikit bingung aku saat menerimanya.

"Makasih ya. Siapa yang beli kuenya?"

Aku takut Sam yang menyuruh anaknya mengantar kue untuk kami.

"Nenek Dirga datang. Bawa oleh-oleh. Mama suruh antar ke tante."

Oh.

Syukurlah. Berarti murni inisiatif dari Riana. Semoga tidak ada campur tangan Sam.

Tanpa pamit, Dirga berlari ke rumahnya. Saat hendak melangkah ke teras, Dirga terpeleset. Jatuh. Sontak aku berlari meraihnya. Ia meringis.

"Gak apa-apa. Sakitnya cuma sebentar sayang."

Aku mengelus lembut lututnya yang lecet. Berharap ia tidak benar-benar kesakitan. Aku tersenyum puas saat berhasil membuat ia tidak jadi menangis.

Tetiba Sam keluar dari rumahnya. Mata kami bersirobok. Aku masih dengan posisi memegang anaknya. Lalu aku menoleh. Terkejut.

Mas Erya.

Berapa kali ia memorgokiku tak sengaja sedang berhadapan dengan Sam?

Dengan tatapan yang sukar untuk kumaknai, ia mengunciku dalam mata elangnya. Bungkam yang dingin.

Buru-buru aku melepaskan Dirga. | Cerpen Sedih Kisah Perjalanan Cinta Sang Mantan Part 2

- Bersambung -