Kami, aku dan teman-temanku, menjuluki kampus itu dengan sebutan The Lobby. Tidak ada alasan khusus, selain karena memang ada sebuah lobi di dalam gedung tua, dan tempat itu adalah tempat yang paling berkesan bagi kami selama menghabiskan enam tahun terakhir. | Cerpen Cinta Kisah Lobi Cinta Sang Singa
Melingkar mulai dari pintu masuk hingga menuju deretan lift yang berhadap-hadapan di ujung satunya, menyajikan kelegaan yang lapang. Sebetulnya lobi itu adalah jalur akses menuju sebuah bank yang bekerja sama dengan pihak yayasan, letaknya di sebelah kiri. Sedang di kanannya adalah ruang pertemuan yayasan yang jarang sekali dipakai kecuali dalam rangka penerimaan mahasiswa baru, dan beberapa acara seremonial yang melibatkan ketua yayasan.
Beberapa kali ketika keadaan memungkinkan, kami nekad menggunakan lift khusus karyawan yayasan untuk menjelajahi tiap-tiap lantai yang ada di gedung itu. Tentu saja banyak dari kesempatan itu tidak berjalan sesuai keinginan kami, seperti terbirit-birit bila petugas keamanan memergoki kami. Bahkan beberapa kali dimarahi, lagi dan lagi, hingga akhirnya kami menjadi akrab dengan mereka. Terlalu akrab malah kurasa.
Seolah enam tahun tak cukup, dan inilah aku, berdiri di tengah-tengahnya, menjawab sapaan para petugas keamanan yang terheran-heran dengan keberadaanku. Mata mereka menyiratkan keingintahuan saat memperhatikan busana yang kupakai, terutama sebuah kartu tanda pengenal bertuliskan nama yayasan, jabatan dan tentunya fotoku.
“Jadi dosen sekarang, Leon?”
Kepalaku menoleh cepat ke arah sumber suara itu. Tepat di belakangku. Tak ada seorangpun yang memanggilku Leon, kecuali orang itu. Suaranya memang sedikit berbeda sekarang. Tapi aku yakin suara itu adalah suaranya.
“Junooooot!” Tak peduli tatapan heran orang-orang yang berlalu lalang, kusambar lengan pemilik suara itu.
Untuk sekian detik mendekati semenit, tak ada lagi suara dari kami berdua, sampai sebuah deheman dari entah siapa membuatku melepaskan genggaman pada jemarinya.
“Kapan kamu kembali?” Kuberi tekanan pada kata kembali, karena aku tak ingin menebak-nebak ia kembali dari mana. Satu yang kutahu, ia baru pulang dari luar negara ini.
“Lihat ini,” seolah pertanyaanku tak penting, tangannya memamerkan sebuah kartu tanda pengenal bertuliskan nama yayasan, jabatan dan sebuah foto, tentu saja kali ini fotoya, bukan fotoku.
“Astaga!” Kulepaskan kaca mata minus dua setengah yang bertengger di hidung dan kubaca berulang-ulang namanya di tanda pengenal itu.
“Jadi ... apa kabar Anda hari ini Ibu Leon .... Leonita Aristra?” Matanya mengeja nama di tanda pengenalku.
Kuabaikan pertanyaannya, pertama karena aku tahu Junot hanya berupaya untuk menggodaku. Kedua, tentu saja karena aku sangat menikmati seringai usilnya.
Junot, lelaki pertama yang membuatku mengenal cinta saat awal SMP. Cinta monyet yang seluruhnya terbuat dari kekaguman terhadap seorang cowok kelas akhir SMU, salah satu teman kakakku yang sering main ke rumah ke rumah untuk makan siang gratis. Tapi itulah yang membuatku suka, sifat cuek cenderung tak tahu malunya. Seorang raja gombal menurutku.
Kalau ingin mencontek tugas sekolah, maka mulutnya akan mengeluarkan gombalan yang mampu membuat kakakku tersipu-sipu, dan dengan sukarela mengeluarkan hasil tugasnya. Padahal kakakku itu perempuan yang judes, dan ia tak mampu melawan pesona seorang Junot.
Mamaku pun tak luput ia gombali, terutama saat Junot lapar dan di meja makan kami tak ada seporsi pun lauk. Hanya aku saja yang luput. Usapan di kepala dan sebuah sapaan rutin, “Leon, apa kabar?” selalu menjadi menu rutin darinya untukku.
“Leon artinya singa dalam bahasa Spanyol,” kakakku menjelaskan saat aku memprotes mengapa Junot memanggilku tidak seperti orang-orang lain, Nita. Penjelasan yang mampu membungkam ketidaksukaanku, sekaligus melambungkan rasa suka terhadapnya.
“Apa kabar kakakmu? Masih cantik? Kuharap dia belum punya pacar... atau sudah?” Serentetan tanya yang kurespon dengan mengeluarkan gawai pintarku, menunjukkan sebuah foto perempuan, kakakku.
“Tambah cantik aja anak itu! Menyesal aku dari dulu tidak pernah punya keberanian untuk menembaknya. Pasti sudah ada yang punya ya?” Ia mengembalikan gawaiku dengan lesu.
“Anaknya sudah tiga, dari dua suami yang berbeda,” kulihat mata Junot membelalak, membuatku geli setengah mati melihat responnya.
“Astaga! Serius?” Keprihatinan di wajahnya langsung terganti dengan senyum geli melihat seringai usilku yang dengan cepat berubah menjadi tawa.
“Kamu pikir kakakku doyan kawin apa?” Junot ikut tertawa sambil menggaruk kepalanya.
“Sialan! Sejak kapan Leon kecil jadi tukang ngerjain orang seperti ini?” Tangannya berusaha mengacak-acak rambutku.
Tingkahnya seperti menarikku kembali ke saat SMP. Bedanya, kali ini aku menepis, tak ingin salah tingkah di tempat yang tidak tepat.
“Aku bukan Leon kecil lagi!” Ia menahan tangannya mendengar segahanku, hanya berjarak beberapa centi meter dari rambutku. Bibirnya melepas senyum seperti hendak meminta maaf.
Ah, kalau saja Leon tahu betapa cengengnya aku saat tahu ia pergi bersama orang tuanya, pasti julukan Leon Kecil bertambah panjang dengan sebuah kata ‘Cengeng’. Itu terjadi saat aku menginjak kelas sepuluh SMU, sedang ia sudah menjadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Jadi lengkaplah, selain baru mengenal cinta, aku juga sekaligus mengenal patah hati ditinggal. Untungnya bukan ditinggal kawin.
Bahkan kakakku saja sampai repot membujuk adik satu-satunya ini untuk sekedar mau makan, walau ia tidak tahu alasannya. Bisa kubayangkan kalau dia tahu, habis aku digodanya pasti.
*
Melihat lelaki itu seperti membuka lagi kotak Pandora bagiku. Bedanya, kotak Pandora milikku berisi berbagai macam rasa yang lama kupendam terhadanya. Kagum, suka ... dan sekarang entah apa lagi. Yang jelas bahkan dalam sesi penyambutan karyawan baru pun mataku hampir tak bisa melepaskan diri dari sosoknya. Menyebalkan ... atau menyenangkan? sergah suara di dalam pikiranku. Ah, bahkan hatiku sendiri sudah mulai berani menggodaku.
Sebuah pikiran iseng menggerakkan jemari dan tanganku, membidik dan menangkap gambar Junot yang sedang memberi kata sambutan lalu kukirim ke telepon seluler pintar kakakku. Sebuah tulisan menyertai gambar itu, Junot sudah pulang. | Cerpen Cinta Kisah Lobi Cinta Sang Singa
Tak sampai satu menit, telepon selulerku bergetar. Foto kakak dengan namanya yang sengaja kutulis sebagai “Mpok Bawel” muncul di layar.
“Dek, mana Junot? Liat dong!” Suara kakak langsung menggema di ruangan saat jemariku menggeser tanda menerima, membuat para peserta menoleh.
Astaga! Kakak gila! Apa perlunya dia melakukan panggilan video? Celakanya, aku selalu mengatur panggilan video dengan suara pelantang dengan tingkat terbesar.
Dalam gugup, bukannya langsung memutuskan panggilan, aku malah mengarahkan layar telepon selulerku ke arah Junot, yang dengan gilanya malah melambaikan tangan penuh antusias ke arah layar. Astaga! Benar-benar kacau!
Sekian detik setelah kesadaranku kembali, segera kuputuskan sambungan itu, menyisakan rona merah di wajah akibat dera tatapan tak suka dari banyak peserta. Gara-gara iseng, habislah aku.
Kulihat Junot tertawa-tawa dengan dekan, rektor dan ketua yayasan. Tak tampak sedikitpun rasa bersalah di wajahnya. Ah, seandainya aku punya sepuluh persen saja rasa percaya diri seperti lelaki itu.
Junot bukanlah pria yang dianugrahi kelebihan fisik; tampan dan atletis. Tingginya rata-rata saja, masih banyak perempuan yang lebih tinggi darinya. Seluruh auranya benar-benar timbul dari gerak-gerik yang luwes, kemampuan berkomunikasi yang hangat dan bersahabat serta kedalaman pengetahuan yang terlontar dari ucapan-ucapannya. Bila cukup beruntung dianggap orang dekat olehnya, bersiaplah terpingkal-pingkal oleh lawakan dan gombalannya. Pokoknya, dia adalah seorang model kakak laki-laki yang tidak pernah kupunya.
Berkeluh kesah kepadanya seperti anugrah. Aku tidak perlu khawatir disela ataupun diceramahi. Dia hanya akan diam mematung tapi dengan kedua telinga yang hanya berfokus padaku. Dia hanya akan menjawab bila aku bertanya, dan tak ada sedikitpun nada menggurui dalam setiap solusi yang diberikannya padaku. Karena itulah aku sangat kehilangan saat ia pergi, bahkan mungkin lebih kehilangan dari pada kakakku.
“Kenapa kamu minta maaf? Aku justru senang pakai sangat, bisa lihat kakakmu lagi. Terima kasih ya?” Tak tampak kebohongan di wajahnya saat merespon maafku. Ah, selalu menyenangkan bisa berbicara lagi dengan Junot. Tak perlu lagi ada Nita, karena Leon akan mengambil alih segala momen yang akan kujalani bersama Junot.
“Kapan kamu mulai ngajar Not?” Pertanyaan ‘kepo’ sebetulnya, karena aku sudah merencanakan akan selalu datang ke kampus walaupun bukan jadwalku mengajar.
“Perkuliahan dimulai minggu depan ‘kan? Jadwalku tiap Senin, Rabu dan Kamis. Selasa jadwal malam, kelas karyawan. Kalau Leon?” Secepat proses di komputer tercanggih, otakku langsung mencatat jadwal yang diucapkannya.
“Jadwal dari dekan belum kuterima,” kami berjalan keluar dari ruangan. Usai acara ramah tamah, kami memutuskan diri untuk memisahkan diri.
“Kudengar kamu menyelesaikan program sarjana dan pasca sarjana di sini?” Matanya sibuk melihat deretan menu di kantin yang biasa kukunjungi.
“Tahu dari mana?” Tanganku melambai, memanggil Tami, lelaki pemilik warung makan ini.
“Saat kubilang aku masih ada hubungan keluarga denganmu, langsung saja pak dekan bercerita tentangmu. Jadi asisten dosen pada tahun kedua, menerima beasiswa, dan banyak lagi. Leon sudah menjadi seorang gadis yang luar biasa sekarang,” suaranya bertutur lancar, membuat wajahku memerah. Sepertinya aku tak keberatan mendengarnya berbicara lebih panjang lagi.
“Sudah cukup tentangku. Aku rasa, tanpa aku cerita pun, kamu bakal dapat banyak informasi tentangku, mengingat enam tahun kedewasaanku kuhabiskan di kampus ini. Sekarang, aku hanya mau dengar ceritamu,” lebih ke jengah, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Apa yang ingin kamu dengar?” Wajahnya sudah sedikit berubah sekarang. Tak ada lagi raut usil.
“Pertama! Aku mau tahu alasanmu tidak pamit, tahu-tahu hilang begitu saja!” Kalau saja aku mengikuti emosiku, pasti sudah kutambahkan kalimat ‘Kamu tahu tidak telah mematahkan hati seorang gadis?’. Syukurlah, hanya sedikit air mata di sudut mata yang menggantikan kalimat itu.
“Kamu berutang maaf pada kakakku!” Tentu saja maksudku padaku. Semoga saja Junot cukup mengerti kode, meminjam istilah anak-anak sekarang.
“Oke! Kalau gitu minta nomer kakakmu, biar aku minta maaf,” tangannya secepat kilat menyambar telepon selulerku tanpa sempat kucegah.
“Junoooot!” Lintangan jari di bibirnya tak berhasil membungkamku. Selain sial karena membiarkan telepon selulerku dalam keadaan tak terkunci, rupanya ia cukup pintar untuk langsung membuka aplikasi percakapan terkenal itu, dan langsung melihat nomer kakakku. Tanpa perlu dicatat, kupikir otaknya langsung bekerja mengingat, dengan bantuan sedikit komat kamit mengulang-ulang nomer itu.
“Iya, iya, ini. Nama bagus-bagus Antin Purwanti, kamu ganti Mpok Bawel,” cengirannya meredakan kekesalanku. Langsung kukunci telepon selulerku, bersyukur ia tidak membuka aplikasi buku diary yang ada di sana. Kalau sempat dibacanya, bisa malu tujuh turunan aku nanti. | Cerpen Cinta Kisah Lobi Cinta Sang Singa