Kisah Hidupku Yang Sangat Tidak Beruntung

Hei, aku mau bertanya dulu. Pada siapapun yang ada di sini—walaupun memang tidak ada siapa-siapa. Ya sudah, aku mau bertanya pada diriku sendiri. | Cerpen Sekolah Kisah Hidupku Yang Sangat Tidak Beruntung

Apa sekolah merupakan tempat yang menyenangkan? Jawabannya tidak. Lalu mengapa banyak orang yang suka sekali dengan bersekolah? Tentu saja, karena mereka memiliki otak yang bagus. Sedangkan aku, aku hanyalah seorang manusia bodoh yang sama sekali tidak diagrunahi bakat dalam bidang akademik.

Coba bayangkan, aku sekarang berumur 9 tahun, tapi membaca saja aku masih belum lancar. Untuk membaca saja, aku masih harus mengejanya tiap suku kata agar bisa membacanya. Untuk menghitung, jangan dibahas. Bahkan pertambahan juga aku masih kebingungan.

Lalu ayo kita bandingkan dengan Talia. Dia adalah seorang jenius menurutku. Sangat berbanding terbalik denganku yang serba di bawah rata-rata. Gadis itu bisa membaca dan menghitung ketika umurnya 4 tahun. Jujur saja, aku iri dengannya.

Talia diagrunahi bakat yang banyak, bahkan terlalu banyak. Setidaknya aku ingin mendapatkan salah satu bakatnya itu. Gadis itu gambarannya sangat bagus, dibandingkan denganku yang hanya bisa menggambar dua gunung dan satu matahari di tengahnya.

Oh iya. Ingatanku sangat payah, seperti sampah. Hanya untuk dibuang. Aku sangat sering lupa, meski umurku masih bocah, tapi mengapa ingatanku seperti ini? aku hanya bisa merenung, dan memikirkannya dalam-dalam. sebab akibat dari diriku ini.

Nyatanya apa? Tidak ada. Diantara sebab aku menjadi seperti ini hanyalah karena aku memang dilahirkan untuk seperti ini. lalu mengapa? Aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin, jika aku dilahirkan untuk menciptakan, atau membuat dunia sesuai dengan aliran takdir. Ya, aku dilahirkan karena takdir. Hanya itu saja.

“Firhan, ayo cepat. Nanti terlambat!”

Terdengar teriakan seorang gadis. Siapa itu? tentu saja, itu Talia. Memangnya ada apa? Dari kata-katanya tadi sepertinya dia sedang terburu-buru. Sekarang jam berapa?

Kulihat jam tanganku, dan waktu menunjukkan pukul 06.50. apakah ada yang istimewa dengan itu? tentu saja tidak. Ini hanyalah jam masuk sekolah, sama sekali tidak ada apa-apa. Toh, aku juga malah memperlambat jalanku menuju sekolah. Berbeda dengan Talia yang begitu terburu-buru.

“Santai aja Talia.” | Cerpen Sekolah Kisah Hidupku Yang Sangat Tidak Beruntung

“Santai-santai, ini sebentar lagi bel masuk. Nanti kalo terlambat gimana?”

“Masih ada sepuluh menit kok. Santai aja.”

Tidak mengacuhkanku, Talia berlari menuju sekolah. Ayolah, ke sekolah itu hanya membutuhkan waktu 5 menit. Mengapa buru-buru banget sih. Hm… mungkin saja Talia lupa mengerjakan PR. Aku sih masa bodo dengan PR, yang penting itu aku masuk sekolah aja.

Tapi, aku benci dengan sekolah. Aku sangat berharap untuk bisa cepat-cepat lulus dari sekolah. Kalau bisa sih 1 tahun, tapi itu tidak mungkin. Aku saja baru kelas 3 SD.

“Firhan, belajar yang giat lagi ya,” kata seorang guru sembari menyodorkan kertas kepadaku.

Sialan, kenapa orang-orang seperti mereka selalu saja mengatakan hal semacam ini. Aku bosan dengan omongannya yang selalu sama jika berkata kepadaku. Pasti tidak lain atau tidak jauh dari hal yang bernama “Nilai”.

Memangnya ada apa dengan nilai, apakah nilai itu penentuan sikap seseorang? Jadi, jika nilai seseorang bagus, itu berarti sikapnya juga bagus? Tentu saja tidak. Semua orang juga tahu itu, tapi mengapa tetap saja selalu ribut-ribut mengenai nilai. Aku capek, sebuah kalimat yang selalu ditanamkan dalam diriku dengan embel-embel “Nilai”.

Omong kosong dengan nilai, nilai bahkan tidak menentukan kesuksesan seseorang. Itu aku ambil dari salah satu omongan seseorang di internet.

“Ya bu.”

Aku hanya menjawab lemas, sembari menutup isi lembaran kertas itu di dadaku. Wajahku saat ini pasti seperti seorang kucing yang ditinggal oleh pemiliknya. Ungkapan yang buruk, tapi itu memang benar.

Orang-orang di kelas hanya duduk dan bercakap satu sama lain, tidak ada yang memperhatikanku sama sekali. Tidak-tidak—itu bohong. Semua orang menatapku, dengan ekspresi berbeda-beda di setiap orangnya.

Ada banyak orang yang berbisik kepada teman sebangkunya. Aku tau apa yang dibicarakannya itu. Tidak akan jauh mengenaiku.

Aku duduk di kursiku, dan langsung menyimpan kertas yang aku terima ini.

Di sebelahku—tidak ada siapapun. | Cerpen Sekolah Kisah Hidupku Yang Sangat Tidak Beruntung

Aku tidak memiliki teman sebangku, dan itu rasanya melegakan bagiku. Karena jika ada, suasana ini akan menjadi tegang yang melebihi ketegangan seisi kelas