Kisah Cinta Yang Terhalang Tradisi

Malam menjelang larut. Alunan musik Tayub masih mengiringi tarian Ledek berparas ayu di atas panggung setinggi pinggang. Kulit mulus berwarna kuning langsat terlihat semakin menggairahkan ditimpa cahaya sinar lampu petromax dan api-api obor yang terikat di tiang-tiang bambu kecil pada halaman.

Nyai Jenar. Wanita berusia 31 tahun yang diharuskan seumur hidup menjadi lajang. Menari diiringi desah para pria berkedudukan tinggi. | Cerpen Sedih Kisah Cinta Yang Terhalang Tradisi 

Wajah nyaris sempurna dengan hidung bangir dan bibir sensual penuh itu sedikit berkeringat. Ditambah dengan aura mistis pengasihan, menambah gairah para priyayi yang tengah menonton sambil menenggak minuman keras sebagai pemantas hajat.

Di sebuah kursi jati yang menandakan kedudukan tinggi dalam masyarakat, duduk seorang pemuda berusia dua puluh lima. Berkulit sedikit pucat karena perpaduan antara perempuan londo dan pria bangsawan pribumi. Rambut ikal kemerahan dengan hidung lancip dan mata kecoklatan.

"Nak Kalandra, kenapa ndak duduk bersama para tamu-tamu kehormatan yang lainnya?" Seorang wanita sepuh berkebaya khas ningrat jawa datang menyapa.

"Ndak apa-apa Eyang, saya di sini saja," jawab pemuda itu dengan raut wajah sekelam malam. Bibirnya yang kemerahan terkatup rapat. Lalu rahang kokoh itu semakin mengeras saat melihat salah satu penyawer menjejalkan lembaran uang kertas ke belahan dada Nyai Jenar.

Ingin menghantam wajah bersenyum mesum itu, tapi dia sadar tak punya kedudukan apa-apa di hati wanita berparas menggoda di panggung sana.

Lagi, dia menenggak minuman dalam cawan hingga sebagian membasahi leher dan kain baju yang dikenakan. Panas hatinya. Berusaha mati-matian menahan amarah saat melihat tangan si mesum mencoba untuk menggerayang.

Ditepis Nyai Jenar dengan kelembutan, tapi lagi-lagi tangan itu semakin liar.

"Kurang ajar!"

Meja papan berbentuk bulat yang di atasnya tersuguh minuman keras dan beberapa jajanan khas adat itu melayang terkena tendang.

Kalandra bangkit berdiri dengan napas memburu dan wajah memerah tegang. Tinjunya terkepal siap untuk dilayangkan.

Terbirit beberapa abdi berusaha menenangkannya, sementara para tetamu yang lain hanya mengamati sambil berbisik satu sama lain. Pemandangan biasa, saat ada satu dua priyayi ngamuk-ngamuk setelah menenggak minuman memabukkan yang disuguhkan sebagai tanda kehormatan.

Suasana sedikit menegang. Di panggung sana goyangan Nyai Jenar sejenak berhenti. Mata berbulu lentik dengan kerlip memabukkan bagi Kalandra itu mengarah padanya. Tapi kemudian kembali jemari lentiknya terangkat, dengan pinggul menggoyang pelan. Membiarkan dinikmati oleh hasrat-hasrat yang tertahan.

Koyak lagi hati Kalandra malam ini. Demi mendapati bahwa perasaan yang ia punya hanya serupa sampah di mata Nyai Jenar sang pujaan hati. Sama sekali tak berarti.

Masih terkepal tangannya saat melangkah pulang. Menghentak perut kuda dengan teriakan memecah keheningan malam. Lalu menghilang di balik rimbun pepohonan hanya diterangi pucat cahaya bulan.

Gadis itu bernama Ambar. Berkulit eksotis dengan mata bulat bermanik hitam. Ada kuntum bunga-bunga menghiasi gelungan rambut hitam bercahaya.

"Kang Mas serius ingin melamarku?" Ternyata dia seorang gadis pemalu. Terbukti sama sekali tidak berani melawan tatapan Kalandra yang duduk dalam posisi gagah di hadapannya.

"Iya, Nduk. Apa kamu bersedia?" Kalandra mengulang pertanyaan. Datar suaranya.

Ambar memainkan jemari di pangkuannya. Semakin tak tahan duduk hanya berduaan dengan sang pemuda pujaan hati para wanita di desa mereka.

Mimpi apa dia semalam, hingga akhirnya bulan gagah yang diagungkan itu jatuh ke pelukannya? Seluruh keluarganya pasti akan merasa bangga.

"Aku bersedia, asal Kang Mas datang melamar ke rumah ... menemui orangtuaku .." Sedikit berbelit lidahnya saat mengatakan itu. Saking bergejolak hatinya oleh perasaab menggebu.

"Baiklah, seminggu lagi aku dan keluargaku akan datang ke rumahmu. Agar keluarga bisa segera menentukan tanggal pernikahannya."

"Baik, Kang Mas ..."

"Ya sudah, aku pamit pulang. Kau bisa meneruskan latihan menarimu!" Kalandra tersenyum tipis.

Bukan. Bukan kepada Ambar yang masih menundukkan kepala di hadapannya. Tapi kepada Nyai Jenar, si pemilik sanggar tari dimana Ambar belajar. Wanita itu hanya diam. Sekilas menatap punggung Kalandra dari manik mata indahnya.

Datar. Tanpa rasa.

Pertemuan kedua keluarga berjalan lancar. Segera ditentukan tanggal pernikahan dan segala tetek bengek yang bahkan enggan Kalandra dengarkan. Karena tujuannya cuma satu.

"Ini semua keperluanmu." Wanita separuh baya berkulit putih dengan bintik kemerahan itu meletakkan buntalan kain berisi pakaian dan beberapa keperluan putranya. Kata-katanya terasa kental berlogat Banyuwangi. Mungkin karena sedari kecil dia sudah diboyong ayahnya ke desa ini.

Pemuda berhidung mancung itu berdiri di balik jendela kamar. Menatap keluar tapi pikirannya jauh entah ke mana.

"Cah bagus? Ada apa?" Wanita itu melangkah mendekat. Mengusap bahu lebar itu pelan dengan cara khas keibuan.

"Ibu, apa di Belanda sana ada tradisi semacam ini?" Suaranya terdengar seperti sebuah keluhan.

"Tradisi apa?"

"Bahwa ada satu perempuan yang sudah didaulat agar memberi pengalaman ranjang dan pendidikan rumah tangga kepada pria yang akan menikah. Tapi seumur hidup dia ndak boleh menikah."

Wanita berambut kekuningan itu menghela napas, "Ndak ada tradisi seperti itu di sana. Tapi memang ada banyak tradisi kurang masuk akal bagi kita yang berpikir tentang norma. Entah di manapun itu. Baik di pulau Jawa, atau negeri Belanda. Seiring berjalannya waktu tradisi lama yang kurang baik memang akan ditinggalkan, tergantung seberapa cepat kesadaran masyarakatnya ..."

Kalandra terdiam. Tradisi ini ... membuat hatinya mati.

Masih diingatnya pertama kali benih-benih cinta itu muncul. Bukan saat Nyai Jenar berdandan seperti putri bulan dengan dada separuh terbuka. Tapi saat wanita itu sendiri duduk di atas batu pinggir kali. Menangis. Hanya mengenakan kemben basah yang membuat lekuk tubuhnya terlihat nyaris sempurna.

Kalandra berusia 18 tahun saat itu. Selesai berburu, akan mencuci wajah di sungai berair bening. Tapi tertegun saat menyadari ada seorang wanita muda menangis terisak di sana.

"Nyai," tegurnya sopan.

Wanita itu menoleh. Ah, seperti terjatuh hatinya melihat binar mata penuh kaca itu. Paras seperti dewi kayangan. Wanita paling cantik yang pernah dilihat oleh Kalandra. Bahkan lebih cantik dari para putri londo yang kerap bergaul di sekolah yang sama dengannya.

"Kenapa menangis?" tanyanya lagi. Kali ini sambil menapaki batu-batu kali menuju wanita muda yang hanya terdiam itu.

Kini mereka berhadapan. Saling menatap, di bawah cahaya kekuningan matahari sore. Wajah itu terlihat pucat, kedinginan.

"Ndak baik wanita cantik sepertimu sendirian di sungai dalam suasana sepi begini ... banyak orang jahat ..."

"Tinggalkan aku ...!" Mata itu menyala menatapnya.

Kalandra sedikit terhentak. Lalu menyadari bahwa mungkin gadis itu sedang tertimpa masalah.

"Sebaiknya pulang dulu ... ayo kuantar!"

"Pergi!"

Pemuda itu terdorong ke belakang, hampir terjatuh di dalam air sungai tapi segera menahan keseimbangan. Baru saja akan bernapas lega karena tak jadi jatuh, tapi kemudian kembali tegang karena wanita itu menyeret langkah ke aliran lebih dalam.

"Nyai!"

"Tinggalkan aku! Biarkan aku mati!"

"Jangan berbuat bodoh!" Kalandra menarik lengan wanita itu lalu menghempaskan tubuh sintalnya ke dada. Membenamkan kepala yang tadinya berusaha menghindar dengan memukuli dada sang pemuda.

Hingga akhirnya tangisnya tumpah disertai sumpah serapah. Diiringi rentetan kalimat kepedihan yang sungguh menghunjam ulu hati Kalandra. | Cerpen Sedih Kisah Cinta Yang Terhalang Tradisi 

"Aku diperkosa ... oleh bangsamu!"

Wanita itu begitu rapuh setelah mengalami kejadian biadab. Dia merasa tak lagi berharga. Apalagi setelah aibnya terbuka dan para wanita sibuk menggunjingkannya.

Jenar adalah penggoda katanya, karena itu hingga usia 22 tahun sibuk mempelajari seni tari dan ilmu-ilmu kejawen seperti para leluhurnya.

Itu tidak benar. Kenyataanya Jenar hanyalah wanita dengan mimpi meraih bulan. Dia tidak ingin berakhir di pelaminan tanpa menggenggam satu keberhasilan. Dia pernah mengikuti lomba-lomba menari hingga tingkat keraton. Tapi sempat terhalang keinginan sang ayah agar ia segera menikah.

Sayangnya, bajingan yang seharusnya menjadi pelindung bagi Jenar malah menjualnya pada seorang londo dengan bayaran mahal. Jenar diperkosa, oleh bangsa Kalandra. Setelah itu ia ditinggalkan karena masalah keperawanan yang telah hilang.

Jenar merasa terluka, menganggap diri dan hidupnya tak lagi berharga.

Karena itu ia memutuskan untuk bunuh diri di sungai. Tapi malah ditolong oleh pemuda dari bangsa yang sangat dibencinya.

"Nyai ... aku serius mencintaimu!" Kejar Kalandra hari itu. Pemuda itu mendengar bahwa akhirnya Jenar memutuskan mengikuti langkah yang diambil oleh salah satu leluhurnya, menjadi seorang Nyai Gowok.

Menyakitkan. Karena trauma wanita itu tak kunjung hilang meski Kalandra berusaha menunjukkan keseriusan. Dia lebih baik didaulat sebagai 'nyai gowok' pengganti Nyai Gendhis, bibinya yang telah pensiun, daripada harus dinikahi oleh bangsa londo yang sangat dibencinya.

Selama beberapa purnama mengikuti ritual-ritual mistis sebagai simbol pengangkatan diri. Termasuk ritual mengangkat rahim secara gaib agar kelak tak pernah bisa hamil, juga penghapusan segala rasa dari dada.

Setelah itu, Jenar terlihat semakin cantik. Semakin menggoda, semakin beraura. Tapi ia tak lagi punya cinta.

Masih teringat jelas di pelupuk mata Kalandra, saat pertama kali dia harus melihat wanita pujaannya disewa sebagai gowok, untuk mengajari urusan ranjang bagi perjaka yang akan menikah di kemudian bulan.

Hancur berkeping hatinya.

Rembulan terang mengiringi perjalanan Kalandra ke rumah sang pujaan.

Pintu rumah yang seluruhnya terbuat dari kayu jati itu terbuka setelah diketuk lama. Di dalam begitu sederhana. Hanya ada kursi dan meja menyambut di ruang tamu.

Hening. Dengan aroma mistis yang kuat.

"Masuk." Terdengar suara itu sedikit bergetar. Dari bibir sensual dengan rambut hitam wangi yang terurai panjang.

Kalandra melangkah masuk dengan dada berdebar.

Terdengar hentakan cambuk di punggung kuda di luar sana. Lalu suara derit roda kereta menjauh dari rumah persinggahan Nyai Jenar. Rumah yang biasa digunakan sebagai tempat mengajari para perjaka untuk melakukan malam pertama. Juga memberi wejangan-wejangan saat kelak menjalani kehidupan pernikahan.

Detak-detak itu semakin terasa di dada Kalandra. Saat mata saling menatap. Ada yang berdesir di dalam hati. Ah, bahkan Kalandra tak mampu menyembunyikan rona kemerahan di wajah bersihnya.

Tak peduli ia bahwa yang berada di hadapannya adalah seorang gowok, yang sudah piawai dalam memainkan rasa. Wanita yang telah berkali-kali disewa untuk mengajari seks para calon pengantin pria. Ia tahu bahwa Jenar tak lagi menjadi wanita dengan keadaan sempurna, tapi tak bisa dihentikannya desir hati dan tetap membiarkan asmara mengulum dada.

Nyai Jenar tersenyum, menggerakkan jemari lentiknya sebagai tanda agar Kalandra melangkah mengikuti masuk ke bilik kamar. Lalu dengan wajah tenang, ia berdiri di dekat ranjang. Lagi, ia memberi isyarat agar Kalandra duduk di tepi ranjang.

Di beberapa sudut, terlihat berbagai macam perlengkapan ritual.

Mereka saling diam. Nyai Jenar memejamkan mata sesaat sambil mulutnya merapalkan mantra. Lalu saat mata lentik itu terbuka, terlihat olehnya mata pemuda itu telah dipenuhi oleh kaca-kaca.

Tiba-tiba saja pemuda itu memeluk pinggang Nyai Jenar.

"Tradisi macam apa ini, Nyai? Tidak masuk akal ada wanita yang diserahi tugas untuk mengajari bercinta calon pengantin laki-laki ..." keluh Kalandra.

Nyai Jenar terdiam. Merasa ada sesuatu yang menekan hati.

Dia ingat, sebelum kejadian-kejadian yang membekukan hatinya dulu, pemuda ini pernah beberapa kali masuk ke dalam mimpi. Tersenyum dan menggandeng jemarinya lembut. Lalu saat terbangun, Nyai Jenar merasakan rona merah pada pipinya.

Padahal jelas dia tahu siapa pemuda berdarah campuran belanda itu. Hanya seorang pemuda tanggung yang berkali menggodanya tiap kali mereka berpapasan saat Jenar muda ingin mencuci di sungai.

Pemuda tanggung putra seorang bangsawan di desa mereka, yang tak mungkin direstui untuk menikahi gadis kelas bawah sepertinya. Terlebih lagi, usia mereka jauh berbeda.

Ini cinta yang menyakitkan pada akhirnya, Jenar tahu. Karena itu dia memutuskan menjadi Nyai Gowok, agar terhapuskan rasa mendamba untuk pemuda yang tak pantas menikah dengannya.

Apalagi ... dia telah diperkosa, tak lagi ada harganya.


Tangan lentiknya tertahan di udara, ingin membelai rambut coklat itu tapi gemetaran luar biasa.

Apa karena cinta ini begitu kuat hingga mampu melumat rapalan mantra leluhurnya?

"Katakan padaku ... apa kau menikmati semua ini? Saat harus mengajari para pemuda di atas ranjang?" Mata coklat itu terangkat menatap manik matanya.

Terbius Nyai Jenar melihat tetes air yang meluncur dari sudut mata itu.

"Bercinta itu insting, Nyai. Tidak ada laki-laki yang harus diajari ... bahkan aku bisa melakukannya sendiri ... aku bisa ... aku bisa ..." Tetes-tetes itu semakin deras mengaliri wajahnya.

"Kalandra ..."

"Berhentilah, Nyai ... berhenti ..."

"Aku ndak bisa. Aku telah mengucap sumpah."

"Sumpah yang terpenting adalah sumpah kepada Tuhan, bukan sumpah untuk mengabdi dalam tradisi masyarakat yang kita tahu ini menyakiti ..."

Pagi datang disertai kabar hilangnya Nyai Jenar dan Kalandra. Tak ada yang tahu mereka kemana. Lenyap, bagai ditelan kegelapan malam. Menciptakan isak tangis dan hujat tak berkesudahan di antara kedua keluarga besar.

Di jalan setapak, terlihat hanya ada satu jejak kaki di atas tanah berlumpur sisa hujan semalam. Jejak menuju ke arah sungai. Lalu menghilang.

Tersiar kabar Nyai Jenar diculik oleh Kalandra. Terbukti hanya ada satu jejak yang itu artinya Nyai Jenar dibopong oleh Kalandra secara paksa. Entah dibawa mengakhiri hidup di sungai, atau pergi menyeberang untuk menetap ke desa yang tak bertradisi sama?

Desas-desus cerita bahwa dulu mereka saling mencintai kembali terdengar. Juga kenyataan bahwa ayah Kalandra pernah menghina gadis jelata, yang kenyataannya menjadi pujaan hati sang putra

Nyatanya memang cinta memiliki kasta tertinggi di hati manusia. Hingga kekuatannya bisa merusak logika, dan meluluhkan segala mantra. | Cerpen Sedih Kisah Cinta Yang Terhalang Tradisi