Di tengah panas terik, aku meringis melihat isi dompetku. Di dalamnya hanya tersisa uang sepuluh ribu rupiah untuk ongkos angkot pulang ke rumah. Teman-teman uang sepuluh ribu tadi sudah berpindah ke tangan ibu. Sekarang aku sendiri yang kebingungan dan berjalan dengan langkah gontai mencari angkot.
Masih kuingat saat aku mampir ke rumah ibu untuk menengoknya tadi pagi.
Masih kuingat saat aku mampir ke rumah ibu untuk menengoknya tadi pagi.
“Da, obat ibu sudah habis. Kamu punya uang tidak untuk belikan ibu obat?” Suara ibu terdengar lirih dan berhati-hati karena ia selalu merasa sungkan jika merepotkan anaknya. | Cerpen Sedih Berbohong Demi Kebaikan
“Ada, Bu,” jawabku berbohong. Kubuka dompet, hanya ada uang dua ratus sepuluh ribu rupiah di dalamnya. “Ini uangnya, Bu.”
Tangan ibu yang sudah ringkih dan banyak keriput, bergetar saat mengambil uang itu dari tanganku.
“Alhamdulillah ... makasih, Da. Uang pensiun ayahmu belum turun, belum bisa tebus obat ibu.” Mata ibu berkaca-kaca.
“Sudah, Bu. Sudah seharusnya Ida bantu ibu. Nanti kalau uang obatnya kurang, Ida kasih lagi,” Ujarku berbohong lagi, memberikan janji yang aku sendiri tidak tahu bagaimana menepatinya.
Setelah turun dari angkot, dompetku benar-benar kering kerontang, tidak ada yang tersisa. Rekening di bank sudah lama meminta maaf karena saldo tidak pernah mencukupi alias nol kosong. Uang dua ratus ribu rupiah itu sebenarnya untuk mencukupi belanja kebutuhan hidup rumah tanggaku selama beberapa hari.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah, lalu menjatuhkan tubuh letihku di kursi ruang tamu. Pikiranku berkelana, mencari cara bagaimana bertahan hidup untuk esok hari, bertanya-tanya darimana uang untuk membayar kontrakan, uang sekolah anak, bayar hutang di warung, sedangkan uang untuk makan saja belum tentu ada....
Tidak terasa setetes air mata bergulir menuruni pipi, beban hidup kurasa sangat berat.
“Bu, Nisa capai, lapar.” Tiba-tiba suara anakku, Nisa, yang baru pulang sekolah membuatku tersadar, cepat-cepat kuhapus air mata dari pipi.
“Makan nasi pakai garam dulu saja ya, Nis," kataku perlahan.
Tenggorokanku tercekat mengatakannya. Tidak tega melihat anakku hanya bisa makan dengan garam. Tapi anak gadisku yang baru saja menginjak bangku SMP itu, tersenyum padaku. Ia mengambil nasi dan menaburinya dengan sejumput garam.
“Makan nasi pakai garam juga enak kok, Bu,” kata Nisa. Ia pun makan dengan lahapnya.
Aku tersenyum melihatnya dan merasa bersyukur mempunyai anak yang mengerti kesulitan orang tuanya.
Hamdan, suamiku, baru saja di Putus Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaannya dua bulan yang lalu. Sambil menunggu panggilan kerja dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia berusaha mencari uang dengan mengajar les privat. Tentu saja honornya kurang mencukupi kebutuhan hidup kami sehari-hari.
Kami tidak memberitahukan kesulitan kami pada ibuku dan ibunya. Karena takut membuat ibuku bertambah sakit dan tidak ingin ibunya bertambah sedih karena baru saja kehilangan suaminya, ayah Hamdan.
Malam harinya, suamiku pulang setelah seharian lelah mencari uang. Ia langsung menuju meja makan sambil bersiul. Tidak biasanya ia bersiul senang saat sedang susah. Biasanya, mukanya terlihat muram dan hanya terdiam membisu, memikirkan nasibnya yang apes. Kemudian terdengar ia membuka tudung saji yang berada di atas meja makan. Hening sesaat, suara siulannya tidak terdengar lagi.
“Daaa....” Terdengar suara suamiku yang berteriak.
“Kenapa, Mas?” tanyaku dengan tergesa-gesa menghampirinya, walau aku sudah mengerti arti teriakannya.
“Kenapa meja makan kosong? Aku kan sudah memberimu uang tadi pagi. Memang gak banyak, tapi bisalah untuk beli kangkung dan tempe,” ujarnya dengan nada gusar.
Kuceritakan semuanya secara jujur di hadapan Hamdan. Bukankah seorang istri harus mempertanggungjawabkan harta suaminya? Mendengar ceritaku, Hamdan terdiam.
“Mau gak mau aku berbohong, Mas. Aku gak tega lihat ibu yang sakit.” Kugenggam tangannya dengan erat, berharap ia mengerti. “Sekarang, makan nasi pakai garam saja dulu ya, Mas,” ucapku dengan sedikit memelas.
Tidak kuduga, Hamdan tersenyum, kukira ia akan memberengut dan memarahiku karena memberikan seluruh uangnya pada ibu.
“Besok kau berikan lagi uang tambahan untuk biaya obat ibu, ya,” katanya dengan raut wajah yang tidak kumengerti. Matanya berkaca-kaca dan menatapku dengan lembut, bibir tebalnya menyungging senyuman.
“Uang dari mana? Apa aku harus berbohong lagi?” tanyaku bingung.
“Kalau perlu berbohong, berbohonglah terus demi kebaikan, demi rasa sayang.” Hamdan terlihat serius mengucapkannya.
Kuraba dahi suamiku, mungkin saja ia sedang sakit. Ia kembali tersenyum lebar, kemudian menggenggam erat tanganku dan menciumnya.
Seketika dilepasnya lagi kedua tanganku, tangannya merogoh ke dalam saku celana. Ia mengeluarkan amplop berwarna coklat dari celananya, lalu diberikannya amplop itu padaku.
“Seorang sahabat yang dulu pernah kubantu keuangannya, membalas kebaikanku,” kata Hamdan dengan suara yang lembut. “Ia juga mengajakku untuk bekerja di perusahaannya. Besok aku sudah mulai bekerja, Da.”
Aku tidak dapat berkata apa-apa, selain mengucap syukur. Kurasakan kegembiraan membuncah di dada, hatiku terasa lega, hilang sudah semua beban, air matapun mengalir di pipi. Hamdan langsung memelukku dan mencium keningku berkali-kali.
Cukup puas berpelukan, aku mulai membuka amplop coklat yang tadi diberikan Hamdan padaku. Ternyata di dalamnya ada uang kertas berwarna merah, kuhitung dengan berhati-hati. Jumlahnya ada dua juta rupiah ... Mulutku ternganga, Hamdan pun tertawa. | Cerpen Sedih Berbohong Demi Kebaikan
“Segala kebaikan takkan terhapus oleh kepahitan....” Terdengar suara nyanyian merdu dari mulut suamiku.