Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku Part 3

"Siapa?" Tanya Yusa dengan tatapan menyelidik.

"Teman kerja," jawabku cuek.

"Teman kerja apa temen deket?"

"Apaan sih." | Cerpen Kehidupan Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku Part 3

"Aku perlu tahu, bagaimanapun kamu ibunya Fian. Aku harus memastikan siapapun yang dekat denganmu adalah orang baik."

"Dia baik kok," jawabku santai.

Kami berdua lalu terdiam. Aku berpura-pura sibuk dengan smartphone-ku. Sejujurnya terasa canggung saat mulai membicarakan hal seperti ini.

"Kamu punya teman dekat juga? Maksudku wanita yang sedang dekat denganmu."

"Punya."

"Boleh tahu siapa?"

"Kamu kan," ucapnya lirih tanpa melihat ke arahku. Dia menyenderkan kepala di kursi sambil memejamkan matanya.

Situasi macam apa ini? Mengapa pula hatiku berdebar?

"Aku bangunin Fian dulu ya," kataku akhirnya.

Sepulang kerja Yusa mampir ke rumah. Kangen Fian katanya. Naluriku ingin membuatkan masakan kesukaannya, tetapi kuurungkan. Bagaimana jika kami berdua terbawa suasana?

Namanya Brian, teman kerjaku. Kami tidak memiliki hubungan khusus selain itu. Di telepon dia membicarakan tentang laporan bulanan yang deadline-nya besok pagi.

Sejauh yang kutahu, Yusa memang tidak memiliki teman dekat wanita. Kami bersepakat saling memberi tahu apabila suatu saat memiliki calon. Ini tahun kedua perceraian kami, terlalu dini rasanya membangun hubungan dengan orang yang baru.

"Akhir pekan ini boleh aku touring sama teman-temanku, Hil?"

"Kemana?"

"Jogja."

"Oh, boleh saja. Tapi sebelum itu kamu ajak Fian ya. Biar dia nggak nyariin.

"Oke. Rabu dan kamis Fian biar sama aku."

Aku tidak pernah menyuruhnya izin padaku. Dia yang berinisiatif. Katanya itu salah satu cara menghargaiku. Apalagi weekend adalah waktu me time-ku. Sejujurnya aku tidak keberatan kalaupun setiap hari harus bersama Fian. Apalagi pagi hingga sore waktuku habis di tempat kerja. Menyenangkan bagiku menghabiskan sabtu minggu bersamanya.

Terkadang kami pergi piknik bertiga. Seperti keluarga normal pada umumnya, kami bercanda dan bersenang-senang. Tidak ada rasa canggung karena sebelumnya kami adalah teman dekat. Dan kami sepakat menjadi orang tua yang baik untuk Fian. Tidak akan kami biarkan dia kekurangan kasih sayang.

Kalian tahu, saat orang tua yang telah bercerai menjadi kompak, anak merasa seperti dihujani perasaan sayang. Karena masing-masing orang tua berusaha membahagiakan anak, seolah bersaing untuk menyenangkan anak.

"Kita ke Surabaya saja."

"Malas ah. Panas, bising, macet. Lagipula destinasinya paling kebun binatang. Mendingan ke pantai Tulungagung saja. Fian pasti senang main pasir."

"Kuno ah. Hari gini cuma main pasir. Di kebun binatang Fian bakalan lebih senang, ada banyak hewan. Lagipula di Surabaya banyak destinasi yang keren."

"Halah, bilang saja kamu mau beli sepatu sama jaket di sana."

"Kamu pikir aku nggak tahu, kamu pengen ke pantai karena di sana bisa santai kan. Fian bakalan anteng main pasir."

"Idih, kamu pikir Fian nggak bakal lari-larian gitu? Ujung-ujungnya aku juga yang mengejar dia. Nggak ingat kamu kalau ke pantai malah tidur?"

"Sudahlah. Aku serius mau ajak Fian ke Surabaya. Sudah gede masa mainnya cuma dekat Kediri mulu sih. Sekali-kali dong kita ke Surabaya."

"Oke. Karena ini pilihanmu, kamu yang bayar semuanya."

"Dasar emak-emak peritungan."

Aku menjulurkan lidah, kemudian meninggalkannya begitu saja. Kulirik sekilas dia tersenyum.

"Kayaknya tadi ada yang bilang nggak bakalan belanja baju buat Fian. Kenapa malah kamu beli banyak banget?" Yusa memelototi 5 stel pakaian anak yang hendak kubawa ke kasir.

"Mumpung lagi di Surabaya, lumayan harganya murah dan bajunya bagus-bagus."

"Dua stel aja. Aku kan udah belikan Fian baju dua stel. Lagian mendingan kamu beli daster atau apa gitu buat dirimu sendiri."

"Nggak ah. Baju buatku gampang, beli di Kediri juga bisa. Ntar malah kebanyakan barang bawaan."

"Bandel ih dibilangin. Berlebihan tahu beliin baju Fian sampai 7 stel."

"Baju yang aku pilih ini pasti nyaman dipakai, modelnya juga bagus."

"Apalagi yang aku beli. Kualitas distro. Udah balikin aja mumpung belum dibayar."

Aku merengut kesal. Dua jam aku menilih baju-baju ini hingga kakiku pegal, dan akhirnya malah tidak jadi kubeli. Tetapi lagi lagi, aku harus menekan egoku. Seharusnya aku berdiskusi dengannya dulu, bukannya langsung kalap memilih banyak baju untuk Fian.

Kami pulang dengan perasaan senang. Aku sama sekali tidak kesal. Sepanjang perjalanan di kereta Yusa meledekku yang berulang kali memijit kaki. Aku berulang kali memukul lengannya. Dia berpura-pura kesakitan, lalu tertawa tawa. Fian yang melihat ikut tertawa.

"Horeeee ibu menang..." dia bersorak..

Jika saja kami masih suami istri, mungkin aku akan marah dan mengatakan Yusa egois. Begitu sebaliknya. Namun lihatlah kami tidak bertengkar, hanya berdebat kecil dan saling meledek.

Kutegaskan, bukan berarti aku merasa bangga sudah bercerai dengannya. Aku hanya bersyukur hubungan kami membaik dan lebih bahagia sekarang. Beberapa orang mengatakan perceraian terjadi karena salah satu pihak kurang sabar dan tidak ada yang mau mengalah. Itu benar. Namun kita perlu melihat dulu duduk permasalahannya. Aku tidak mengatakan perceraian ini jalan terbaik. Aku hanya merasa ini adalah keputusan tepat. Bukankah yang paling penting kami bertiga hidup bahagia? | Cerpen Kehidupan Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku Part 3

- Bersambung -