Layar monitor masih menyala. Tapi, tak terdengar suara ketikan keyboard itu. Sesekali tangan mungilnya menyeka airmata, berusaha menanggalkan apa yang tengah berkecamuk di kepala.
Semakin dipaksa, justru kian kuat dan jelas. Kepedihan sekaligus kekosongan. Yang tidak pernah ia bagi. Tersimpan rapat untuk diri sendiri. | Cerpen Cinta Kirimkan Jodoh Sejati Hanya Untuk Arushi
"Ayah, Arushi juga mau didongengi Ibu sebelum bobo," ujar bocah perempuan itu pada ayahnya. Sudah hampir pukul sepuluh malam, tapi matanya belum mau tertutup.
Sambil mengelus rambut putrinya, ayah tersenyum. Seperti ada hal lain mengganggu. Walaupun kelihatan mengantuk berat, putrinya masih sempat bertanya. Padahal sejak tadi, kelopak mata Arushi nyaris pejam. Kemudian terbuka lagi. Entah apa sebabnya. "Memangnya, beda ayah atau ibu yang dongeng? Kamu nggak suka dengerin cerita ayah, ya?"
Arushi menggeleng. Agak kecewa karena setiap malam ibu tidak pernah datang ke kamarnya dan menceritakan kisah-kisah petualangan si Kancil. Padahal Adiba--kakaknya tidak absen diberi wejangan atau pun berbagai macam cerita dari ibu. Arushi ingin itu. Bisa memeluk ibu sebelum tidur. Menceritakan kejadian apa saja di sekolah, berbicara banyak tentang guru-gurunya yang baik dan memberi nilai bagus. Tapi, ibu seolah menghindari semua itu. Hanya ayah. Menasehati, membantu mengerjakan PR sepulang kerja, serta mau mendengar curhatan Arushi.
Arushi menggeleng. Agak kecewa karena setiap malam ibu tidak pernah datang ke kamarnya dan menceritakan kisah-kisah petualangan si Kancil. Padahal Adiba--kakaknya tidak absen diberi wejangan atau pun berbagai macam cerita dari ibu. Arushi ingin itu. Bisa memeluk ibu sebelum tidur. Menceritakan kejadian apa saja di sekolah, berbicara banyak tentang guru-gurunya yang baik dan memberi nilai bagus. Tapi, ibu seolah menghindari semua itu. Hanya ayah. Menasehati, membantu mengerjakan PR sepulang kerja, serta mau mendengar curhatan Arushi.
"Ayah ... bilang sama Ibu; Arushi pengen cerita kalo nilai Arushi udah bagus," tukas Arushi seraya tersenyum lebar, "Ibu bilang Arushi bisa nggak naik kelas kalo selalu dapat ponten lima puluh. Ayah, Ayah bilangin sama Ibu juga; Arushi udah nggak suka ngejahilin Hana sama Rara. Sekarang kita udah jadi teman." Netra gadis cilik berusia delapan tahun itu mulai sayu. Sementara ayah tetap membelai pucuk kepala dengan senyum yang nyaris tak lepas.
Usapan lembut tangan Ayah membuat mata Arushi semakin berat. Dan perlahan, terlelap. Satu kecupan hangat mendarat di ubun-ubun Arushi.
Sekarang, gadis kecil itu beranjak dewasa. Menginjak masa-masa pencarian jati diri. Tapi, seolah-olah bayangan tentang ayah tak pernah bisa lengser dari otak. Selalu memutar di kepala, jika malam tiba. Kini segalanya berakhir. Sirna. Arushi tak mengerti kenapa ayah harus berpulang secepat itu? Kenapa ayah dulu tidak mengatakan kalau dia akan pergi jauh sekali? Kenapa ayah tidak mengajakknya ke angkasa sana? Sekali lagi dihapus airmata itu.
"Ayah! Ayah kenapa nggak mau ngajak Arushi? Arushi mau ikut!" Setengah berteriak gadis berusia sepuluh tahun itu menepuk-nepuk gundukan tanah merah yang masih basah. Tepat di depannya. Ia menangis paling kencang ketika semua orang satu per satu kembali ke rumah masing-masing. Tinggalah Adiba, ibu dan Arushi. Mereka menangis tersedu-sedu. | Cerpen Cinta Kirimkan Jodoh Sejati Hanya Untuk Arushi
Bahkan mata Arushi berubah memerah lantaran tak mau berhenti menangis sejak sesi pemakaman berlangsung.
Semenjak hari itu semuanya bertransformasi. Bocah yang dulu amat ceria dan ceriwis, menjadi introvert dan menarik diri dari sosial. Kakaknya berusaha membangun kepercayaan diri Arushi. Berjuang sangat keras supaya adiknya tidak terus menerus mengunci diri dalam sunyi. Ketika itu upaya Adiba berbuah manis. Namun, mangkel. Tidak sepenuhnya sukses. Arushi menyimpan begitu banyak luka. Dan itu membutuhkan bertahun-tahun untuk sembuh.
Itu kenangan. Tapi, menusuk hingga ke dalam. Gadis berhijab abu-abu itu akhirnya memutuskan tidak melanjutkan diksi-diksi indah yang siap meluncur ke layar laptop. Dengan gerakan cepat, laptop itu ditutup . Ia mengatur napasnya. Kembali menyandarkan badan pada kursi. Meletakkan kepala di sana. Membiarkan kesedihan luruh bersama airmata.
Drrt! Drrt!
Arushi meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas. Lalu, menggesek layar ponsel untuk mengangkat panggilan.
Arushi meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas. Lalu, menggesek layar ponsel untuk mengangkat panggilan.
"Gimana hari ini? Udah nulis berapa bab? Aku nggak sabar mau baca buku kamu yang ke lima," seru suara pria dari seberang telepon. Bernada riang. Seperti biasa.
Bahkan sebelum Arushi menjawab satu pun, pria itu menginterupsi lagi. "Hai, Arushi! Kamu di sana?" tanya suara itu. Sekarang terdengar khawatir.
"Kakak nggak ngasih kesempatan aku bicara," sahut Arushi. Berusaha berbicara senormal mungkin. Menghapus linangan yang tak berhenti mengalir. Meredam serak.
Untuk beberapa saat tidak terdengar sahutan.
"Lagi nulis part sedih, ya?"
Arushi mencoba tersenyum. Meski sangat susah dan pahit. "Bukan. Kak Rudra sok tau," sungutnya.
Tidak ada suara lagi. Hening. Kemudian terdengar Rudra menghela napas.
"Bukan novel yang lagi kamu garap, kan?" ini terdengar serius, "Arushi ... yang ada memang punya batas bertahan." Ia berkata agak parau. | Cerpen Cinta Kirimkan Jodoh Sejati Hanya Untuk Arushi
Menahan sesuatu di benaknya.
- Bersambung -