Gadis itu duduk termangu di atas sebuah kursi roda yang diletakkan di samping salah satu bangku panjang di taman rumah sakit ini. | Cerpen Sedih Kiran Gadis Belia Yang Lumpuh Raganya
Sudah sekitar tiga puluh menit ia duduk di sana sendirian, tidak mau ditemani siapa-siapa, bahkan oleh mamanya yang telah mengantarnya ke taman ini. Sang mama pun menurut, dia tau kalau saat ini putrinya memang butuh waktu sendiri.
Untuk sekedar menghirup udara bebas di luar ruangan rumah sakit ataupun hanya untuk merenungkan sesuatu. Wajah gadis itu terlihat begitu pucat, seolah tak lagi punya rona. Pandangannya kosong ke depan. Di matanya kini juga tak ada lagi binar yang biasanya terlihat. Yang ada hanya sendu.
Awalnya semua baik-baik saja, dia masih tetap setia dengan pandangan kosongnya. Namun entah pada detik ke berapa dan entah dari mana asalnya, sekelebat kejadian nampak di depan matanya. Di suatu perempatan sebuah motor dari arah selatan melaju dengan kecepatan tinggi melintasi mobil yang dikemudikan ayahnya. Ayah yang melihat itu langsung kaget sekaligus panik dan akhirnya langsung banting setir ke kanan sehingga seketika membuat mobil berada tepat ditengah jalan. Lalu detik berikutnya ... "Ayahhh!"
BRUUKKK
Sebuah truk melaju kencang dan menabrak mobil itu. Mobil itu hancur dan remuk.
Gadis itu memejamkan matanya. Dia masih mengingat semuanya. Dia yang sedang duduk di samping ayahnya itu melihat dengan jelas di balik kaca jendela detik-detik ketika truk itu mendekati mobil ayahnya dan kemudian menabraknya. Tak akan pernah dia lupa kejadian itu. Kejadian na'as yang menewaskan ayahnya sekaligus membuat lumpuh kedua kakinya.
Kejadian yang berawal dari kecerobohan remaja seumurannya yang kemudian menghancurkan kehidupannya. Sungguh dia tidak akan pernah lupa dan tidak mungkin bisa menerima. Menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada. Menerima kenyataan bahwa dia selamanya tidak akan mampu lagi berjalan menggunakan kedua kakinya. Dia benci semua ini, dia benci.
Apa salahnya sehingga Tuhan memberi musibah semenyakitkan ini?. Seharusnya pemuda itu saja yang harus menerima semuanya, seharusnya pemuda itu saja yang tewas, atau seharusnya pemuda itu saja yang lumpuh. Bukan dirinya, bukan dirinya yang tak salah apa-apa, bukan ayahnya yang mengemudi dengan baik-baik saja tanpa melanggar aturan di jalan raya. Semua ini terasa tidak adil. Mengapa Tuhan begitu tidak adil?.
Dia kini tidak lagi bisa berjalan. Tidak lagi bisa mengikuti lomba lari setiap ada PORSENI. Hilang sudah impiannya menjadi seorang atlet lari. Dan satu kenyataan pahit lagi yang harus diterimanya baru tadi pagi, bahwa kini tak ada lagi yang mau berteman dengannya. Bahkan sahabatnya sendiri juga malu memiliki teman yang cacat seperti dirinya. Dia masih ingat percakapan kedua sahabatnya di luar ruangannya saat tadi pagi mereka mengunjunginya.
"Lo kenapa sih Ris, kok kayaknya gak suka gitu gue ajak jenguk Kiran?" tanya Elina.
"Dua alasan El, yang pertama karena gue benci rumah sakit dan yang kedua gue emang udah gak berminat lagi berteman sama Kiran," jawab Risa datar.
"Kenapa Ris? Karena Kiran sekarang cacat?"
"Iya, karena dia cacat," jawab Risa mantap.
"Kok gitu Ris?. Lo jahat banget tau gak? Sekarang dia lagi butuh kita Ris, tapi lo malah dengan mudahnya bilang gak mau berteman lagi hanya karena dia cacat?. Gue gak nyangka kalo ternyata lo bisa sejahat ini," kata Elina tak habis pikir dengan Risa.
"Gue malu punya temen cacat El. Terserah apa kata lo El, tapi gue gak mau munafik bilang kalo gue akan tetep selalu ada untuk dia sementara hati gue malu menganggapnya sebagai teman. Terserah lo mau nganggep gue kayak apa, tapi gue tetep sama pendirian gue, gue gak mau jadi orang munafik."
Begitulah kiranya yang terdengar di telinga Kiran. Dia telah kehilangan satu sahabatnya. Selain telah kehilangan impiannya. Dan semua ini gara-gara kaki sialan ini. Kaki sialan yang tak mau digerakkan. Kaki sialan yang membuatnya kehilangan segalanya dan membuat dirinya menjadi seorang yang tidak berguna.
"Ih ih ih ... Dasar kaki sialan," kesalnya sambil memukul-mukul kedua kakinya.
"Kenapa kamu gak mau gerak?. Ayo bergerak! Bergeraklah kaki! Bergerak!" bentaknya sambil terus mencoba menggerakkan kakinya meskipun dia tau selamanya itu tidak mungkin bisa dilakukannya.
"Kaki sialan! Kamu gak berguna lagi. Kamu membuat hidupku tak berguna. Kamu gak berguna!" lanjutnya masih mengutuk kedua kakinya.
"Aku nggak berguna ..." lirihnya putus asa dengan air mata yang menganak sungai.
'Mengapa semua ini terjadi padaku Tuhan?'
"Ehm!"
Sebuah dehaman seketika membuat Kiran menegakkan kepalanya setelah tadi menunduk menangisi kemalangan yang telah menimpanya.
"Gue boleh duduk di sini kan?" Kiran langsung menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Diam berarti iya," ujar seorang cowok yang telah duduk di bangku panjang di samping kursi roda Kiran.
Kiran hanya diam saja, dia tidak tau harus bagaimana dalam menanggapi. Meski sebenarnya dirinya juga penasaran sejak kapan cowok ini duduk di sampingnya.
"Gue mau cerita, boleh nggak?" tanya cowok itu.
Kiran masih diam, dia semakin tidak mengerti dengan cowok ini. Tiba-tiba saja dia telah duduk di sampingnya dan sekarang malah ingin berbagi cerita.
"Diam berarti boleh," putus cowok itu sepihak.
Kiran hanya menatap cowok itu heran. Sedang cowok yang ditatap malah memandang lurus ke depan. Kedua tangannya ia letakkan di belakang kepala, punggungnya ia sandarkan pada sandaran kursi taman yang didudukinya. Dia nampak begitu santai, sama sekali tak memedulikan tatapan tidak mengerti yang Kiran berikan padanya.
"Waktu gue kecil mama gue pernah cerita ..." cowok itu memulai ceritanya.
Kiran mengembuskan napas gusar. Baiklah, sepertinya dia tak punya pilihan lain selain mendengarkan. Dia akhirnya ikut memandang lurus ke depan dan mulai mendengarkan ceritanya.
"Dulu ada seorang kakek yang tinggal di lereng bukit. Dalam mencukupi kebutuhan airnya, dia harus mengambil air dari sebuah sungai yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalnya. Dia mempunyai dua ember yang selalu ia gunakan untuk mengambil air, salah satu ember yang dimiliknya itu bocor, sedang yang satunya lagi masih bagus. Setiap hari dia mengambil air dari sungai itu.
Namun ada yang menarik saat dia mengambil air. Dia selalu menempatkan ember yang bocor itu di sebelah kanannya dan ember yang bagus di sebelah kirinya. Terus saja seperti itu hingga beberapa bulan lamanya. Beberapa bulan digunakan, tentu ember miliknya yang bocor itu lubangnya semakin lebar dan lebih banyak menumpahkan air yang telah diambilnya. | Cerpen Sedih Kiran Gadis Belia Yang Lumpuh Raganya
Namun kakek itu tetap menggunakannya.
Dia sama sekali tak punya niat untuk membuang ember bocor itu. Hingga pada suatu masa, si ember bocor menjadi penasaran mengapa si kakek masih saja menggunakan dirinya, padahal dia selalu menumpahkan airnya dan membuat pekerjaan kakek itu sia-sia. Si ember itu pun akhirnya bertanya, 'Hei kakek, mengapa kau masih menggunakan aku, padahal aku ini adalah ember bocor, ember yang cacat dan tidak berguna?
Aku selalu menumpahkan air-airmu dan menjadikan kerja kerasmu sia-sia'." Cowok itu kemudian mengambil napas dan memberi jeda sebentar. "Tau nggak apa jawaban sang kakek?." Tanya cowok itu lantas mengalihkan pandangannya ke arah Kiran.
Mendengar pertanyaan cowok itu, Kiran juga langsung mengalihkan pandangannya, lalu menatap cowok itu dengan tatapan yang seolah bertanya 'apa?'. Cowok itupun membalas tatapan Kiran. Lantas memberikan satu simpul senyuman sebelum menjawab pertanyaan dari tatapan gadis itu.
"Kakek itu menjawab, 'Itu menurutmu, tapi tidak dengan yang lain. Kau lihat jalan itu?. Lihatlah jalan setapak yang biasa aku lewati itu ketika membawamu! Di sisi kanan sepanjang jalan itu, berbagai macam tanaman tumbuh dengan baik, sedang di sisi kiri jalan tidak.
Menurutmu, bagaimana mereka bisa tumbuh sesubur itu, padahal beberapa bulan ini adalah musim kemarau, tidak ada setetes hujan pun yang menyirami mereka?. Jawabannya adalah itu berkat kau. Kau si ember bocor yang selalu menyirami mereka dengan tumpahan air-airku. Kaulah yang membuat mereka tumbuh subur hingga bunga-bunga mereka bermekaran.
Itulah sebenarnya gunamu, makanya aku tidak mau membuangmu. Kau memang tak berguna untukku, karena yang berguna untukku adalah ember yang selalu aku bawa di sebelah kiriku. Kau memang tak berguna menurutmu, tapi tidak dengan tumbuh-tumbuhan itu. Mereka membutuhkanmu, kau berguna untuk mereka'." Cowok itu mengakhiri ceritanya.
Berakhirnya cerita dari cowok itu, Kiran langsung menolehkan kepalanya ke arah cowok di sampingnya itu dan menatapnya lekat. Apakah cowok ini tengah ingin menyadarkannya akan sesuatu?. Mengapa cerita dari cowok ini begitu menamparnya dan membuatnya berpikir, jika ember bocor saja masih punya guna, mengapa dirinya yang kini kehilangan kedua kakinya menjadi merasa tidak berguna?. Dan sebenarnya siapa cowok ini?. Apakah dari tadi dia juga melihat dirinya tengah memukuli kedua kakinya sendiri?.
"Kamu siapa?" tanya Kiran ragu.
Mendengar pertanyaan Kiran, cowok itu pun menoleh. Lalu membalas tatapan Kiran sambil tersenyum. Namun, bukannya menjawab, cowok itu malah berkata.
"Dengarlah Nona, jangan pernah merasa tidak berguna hanya karena kau telah kehilangan kedua kakimu. Jika ember yang bocor saja masih berguna, mengapa kau sebagai manusia, makhluk sempurna ciptaan Tuhan, masih merasa tidak berguna hanya karena Tuhan mengambil sedikit dari kesempurnaanmu?.
Semua penciptaan pasti punya tujuan dan manfaat, begitu juga dengan penciptaanmu. Tuhan menciptakanmu, pasti punya tujuan, termasuk di antaranya memberi manfaat pada mereka sesama makhluk Tuhan. Kau manusia yang berguna Nona, selama kau mau selamanya kan seperti itu.
Meskipun itu bukan sekarang, bukan pula untuk mereka yang saat ini berada di sekililingmu. Tapi tetap percayalah, kalau kau masih berguna, untuk mereka di sana yang tengah menunggu manfaat darimu, menunggu kau bangkit dari keterpurukanmu."
Kiran mendengarkan nasihat cowok itu dengan baik, bahkan dia hampir tanpa berkedip menatap cowok itu. Hingga kemudian dia mengulang lagi pertanyaanya yang sama.
"Kamu siapa?"
"Kamu siapa?"
"Kiran?" suara seorang wanita itu membuat Kiran segera menolehkan kepalanya ke sumber suara.
Kiran mendapati mamanya yang tengah berjalan mendekat ke arahnya. Sedetik kemudian dia menoleh kembali ke sampingnya, ke tempat cowok itu. Namun, tidak ada siapa-siapa. Cowok itu ke mana?. Cepat sekali dia pergi. Kiran menolehkan kepalanya ke segala arah, kelimpungan mencari. Dia belum tau siapa nama cowok itu. Dan dia juga belum mengucapkan terima kasih atas nasihat dan ceritanya yang begitu menginpirasi.
"Kamu nyari siapa?" tanya mama Kiran yang kini telah berdiri di samping putrinya.
"Ha?" jawab Kiran kaget. "Mama lihat nggak cowok yang tadi duduk di samping Kiran?" tanyanya kemudian.
"Siapa? Mama nggak lihat. Bukannya dari tadi kamu sendirian?"
"Cowok yang tadi duduk di sini ma," Kiran menepuk bangku di sampingnya. "Beneran mama nggak lihat?"
"Enggak sayang," jawab Mama Kiran sambil mengelus kepala putrinya. "Yuk ke dalam yuk, udah gelap." Katanya lagi sambil mendorong kursi roda Kiran.
Sementara itu, Kiran masih berpikir siapa gerangan cowok itu?. Benarkah mamanya tidak melihatnya?. Bukankah tadi dia masih di sampingnya saat mamanya memanggilnya?. Cepat sekali cowok itu pergi. Ke mana perginya?. Kiran benar-benar penasaran. | Cerpen Sedih Kiran Gadis Belia Yang Lumpuh Raganya