Jika merasa pasangan kita bukanlah yang terbaik, kenapa tidak berpikir jika sebenarnya kitalah yang terbaik yang diberikan Tuhan sebagai anugerah untuk pasangan kita? Sedari tadi semua gerak-gerikku diikuti olehnya. Aku yang mondar-mandir membersihkan rumah, mengemas meja makan, bahkan dia terus menguntitku yang sedang membawa keranjang jemuran | Cerpen Romantis Ketulusan Yang Diperjuangkan Membuat Bahagia
Aku mulai membenahi kaos ke dalam hanger dan menggantungkanya di tiang jemuran, lalu pria di sebelah juga melakukan hal yang sama. Aku memang sengaja mencuci baju sore begini, karena seperti biasanya jika sedang marah maka aku akan mendiamkannya. Maka dari itu aku memilih menyibukan diri untuk menghindarinya. Merasa canggung dengan tindakan Dia, aku memilih meninggalkannya dan mengerjakan pekerjaan yang lain.
"Bunda... kok jadi ayah yang ngerjain?" Protesnya manja.
Aku pura-pura tidak mendengar rengekannya, dan membimbing anak bungsuku ke kamar mandi dan segera memandikannya. Tak berama lama, tampak suamiku juga selesai menjemur baju ketika aku keluar dari kamar mandi.
Selesai memakai baju, si kecil kembali bergabung dengan kakaknya menonton televisi. Aku menangkap dengan ekor mata, suamiku tengah sibuk mencuci piring. Sambil tersenyum tipis, aku melenggang ke kamar mandi.
Aku tengah duduk di ujung ranjang sedang menyisir rambut ketika Dia dengan pelan memelukku dari belakang.
"Selamat ulang tahun Bunda, maaf banget ayah lupa. Bunda jangan ngambek ya. Ayah kan paling gak bisa didiemin Bunda kayak gini." Rengeknya.
Aku menurunkan sisir dari kepalaku. Dan memainkannya di tangan.
"Kalo Bunda gak kirim pesan tadi pagi kan ayah gak ingat, sama seperti tahun-tahun yang lalu." Dengusku marah.
"Ayah inget Bunda... tapi semalam aja Ayah pulang jam sebelas. Sebenernya Ayah nunggu mau ngucapin, tapi yang ada malah ketiduran karena saking capeknya."
Aku meliriknya sekilas lalu kembali menyisir rambutku. Tapi sisir itu dirampasnya dan sekarang dengan pelan dia menyisir semua helaian rambutku.
"Ayah emang gak bisa kasih perhatian yang seperti itu Bunda, Ayah juga bukan tipe pria romantis, Bunda juga pastinya bisa hitung berapa kali selama kita nikah Ayah bilang sayang ke Bunda. Tapi asal Bunda tau, nyawapun Ayah rela tukar buat kebahagiaan Bunda dan anak-anak," Dia menyibakan rambutku ke salah satu sisi dan menopangkan dagunya ke bahuku.
"Maaf kalo Ayah belum bisa menjadi suami seperti keinginan Bunda, tapi Ayah akan selalu berjuang untuk kebahagiaan kalian." Tangannya erat di lingkar pinggangku.
Aku terdiam. Entah kenapa pikiranku kembali mengingat beberapa tahun lalu. Sebelum aku menjadi istrinya. Mengingat dulu aku selalu diperlukan manis dan penuh perhatian oleh mantan pacarku.
***
Sebelum menikah, aku menjalani hubungan jarak jauh dengan kakak kelasku dulu. Karena Dia itu masih kuliah dan aku juga bekerja. Tapi walaupun kami berbeda kota, Dia selalu menyempatkan berkirim pesan setiap waktu. Entah sekedar mengingatkan aku makan, istirahat, bahkan ucapan-ucapan kecil seperti "i love you". Lalu malamnya lewat telepon, kami habiskan dengan bercerita apa saja yang hari itu kami kerjakan. Ketika tidak ada yang bisa kami ceritakan, maka kami akan bernyanyi bersama-sama dan kami sering mengakhiri telpon karena salah satu dari kami tertidur.
Waktu itu kontrak kerjaku 2 tahun dan dia juga akan wisuda tak berapa lama setelahnya. Tak banyak yang bisa Ia janjikan. Aku pun belum berpikir untuk lebih serius. Dan hubungan kami pun mengalir begitu saja. Bangun pagi dengan mengirim pesan untuk mengucapkan selamat pagi, lalu menyemangati kerja, mengingatkan makan siang, dan malamnya ngobrol di telpon seperti biasa.
Dan akupun mengalami kebosanan di tahun berikutnya. Aku bosan menerima pesan selamat paginya, aku bosan menerima pesan perhatiannya, bahkan karena terlalu monoton, aku hanya mengedit pesanku yang kemarin lalu mengirimkannya.
Puncaknya aku memarahinya di telpon ketika dia meragukan apa yang aku laporkan padanya dan dia juga mulai banyak mengaturku. Aku memang beberapa kali pergi dengan teman kerja tanpa memberitahunya. Aku pergi dengan pria lain tanpa sepengetahuannya. Dan dia merasakan itu. Karena itu aku sering terlambat membalas pesan dan beberapa panggilannya tidak mendapat responku.
Akhirnya dia berjanji untuk tidak akan sering lagi mengirimiku pesan dan tidak banyak melarangku. Tapi keadaan tidak menjadi lebih baik. Karena aku bosan terus menerus bermain dengan ponsel. Aku ingin perhatian yang nyata.
***
Sejenak aku tersadar. Bukankah perhatian yang berlebihan seperti dulu juga membuatku bosan. Lalu, apa lagi yang aku inginkan? Justru suamiku inilah yang tanpa menjanjikan apa-apa tapi langsung menerima dan selalu berusaha menjadi apa yang aku inginkan
"Kenapa malah ngelamun Nda? Bukan karena Bunda nyesel jadi istri Ayah kan?" Dia masih menggelayut manja di pundak.
Aku memalingkan wajah ke arahnya. Dan membuat pipiku tercium tak sengaja olehnya, lalu kami tersenyum.
"Mau jalan-jalan?" Nafasnya terasa sampai ke telingaku.
Aku hanya tersenyum dan mengusap kepalanya.
"Tapi habis maghrib ya, nanggung."
Tiba-tiba si sulung masuk ke kamar "Ayah ada teman Ayah nunggu di depan."
Aku melotot ke arahnya mencoba protes karena dia mengajak jalan tapi malah ada teman datang. Karena seperti biasa, temannya itu hanya menjemputnya.
Seperti tau arti tatapanku dia hanya tersenyum.
"Sebentar aja, Bunda siap-siap dulu sama sholat maghrib ya. Ayah sholat di sana, habis maghrib Ayah pulang langsung kita pergi. Janji" lalu dikecupnya keningku dan segera menghambur keluar.
Dzikir di mesjid sudah tak terdengar sedari tadi, tapi dia belum juga menampakan diri. Sementara anak-anak mulai gelisah dan terus menanyakan ayahnya. Begitulah... kalau sudah dijanjikan akan pergi, maka tidak bisa lagi berlama-lama.
Tak lama suara pintu diketuk dan salam darinya. Segera anak-anak menyerbunya. Aku hampir membombardirkan segala pertanyaan dan amarah saat terparkir mobil di depan rumah membuatku masuk kembali ke dalam rumah. Batinku merungut, dia malah membawa temannya ke rumah. Bisa sampai tengah malam kalau temannya berkunjung. | Cerpen Romantis Ketulusan Yang Diperjuangkan Membuat Bahagia
"Lho, ayo nda... katanya mau jalan?" Suamiku bingung, karena aku melepas tas dari pundak dan duduk menyalakan tivi.
"Trus itu temennya gimana?" Omelku.
"Teman yang mana?" Dia mengerutkan dahinya.
"Lah itu yang di mobil? Kan belum pergi dia."
"Kita mau jalannya emang pake mobil nda.. ayoklah nanti anak-anak keburu ngambek. Apa jangan-jangan Bunda yang ngambek ya gara-gara ayah kelamaan?" Godanya seraya ikut berjongkok di depanku.
Aku memalingkan muka, sementara dia mendekatkan wajahnya ke dekat telinga.
"Mobil itu kado buat Bunda, selamat ulang tahun si juteknya ayah" setengah berbisik suaranya terdengar dan pipiku juga dihadiahi kecupan.
Aku hanya bisa menatapnya ragu. Dan kudapati senyum manis di wajah tampannya.
"Sebenernya ayah gak niat beli mobil kasih kejutan ke bunda, tapi berhubung dari pagi ayah di jutekin terus jadinya ayah pasrah. Mobil itu rencananya bulan depan baru bisa ayah kasih karena masih proses ngurus balik nama. Maaf ya nda, bukan mobil baru, duit ayah gak cukup. Hehehe.." dia mencubit ujung hidungku.
"Seriuslah yah.." rasanya tenggorokanku tercekat.
"Ya seriuslah bunda, jadi demi siapa hampir setahun kemaren ayah tiap malam keluar? Kan ayah bilang ada kerja. Bunda aja yang nuduh kalo ayah maen keluyuran gak jelas. Udah punya istri sama anak ayah ini ya sadar kalo tanggung jawab makin besar. Gak mungkin seneng-seneng kayak bujangan" digenggamnya tanganku.
"Maaf.."
Dia mengecup kedua punggung tanganku.
"Ayah kasian aja bunda sama anak-anak kadang ke sekolah kehujanan. Belum lagi kalo jemput si kakak, adek sering ketiduran di jalan. Jadinya pas kemaren bagiin hasil proyek, ayah niatin buat beli mobil. Kebetulan temen yang sama-sama kerja bareng nawarin jadinya dapet harga bersahabat"
"Ayah.. ayah.. ayo cepat" teriakan si bungsu mengacaukan suasana romantis kami dan langsung menarik tangann ayahnya supaya segera keluar.
Setelah mengunci pintu rumah, aku duduk di samping bangku kemudi. Dan anak-anak begitu senang di belakang.
"Ayah ini mobil siapa?" Si sulung masih bingung. Dia memang cerewet seperti aku.
"Ini mobil teman ayah, tapi ayah udah beli buat bunda. Biar bunda bisa antar kakak sama adek ke sekolah naik mobil.
"Yeeeeeaaayyyy... " teriak mereka bersemangat disusul dengan tepukan tangan mereka.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Dan aku rasakan jemari tanganku di genggam oleh supir baru kami. Ku lihat jemari tangan kami saling bertautan sampai aku lihat di punggung tangannya banyak luka bakar.
Sebenarnya bukan kali ini saja. Hampir setahun ini seperti yang dia bilang. Dia ada proyek. Entah proyek seperti apa hanya saja setiap kali pulang, malamnya ada saja luka bakar di tangannya.
Suamiku memang punya keahlian welding dari tempat kerjanya dulu. Dan sering dia diminta temannya untuk mengerjakan entah itu kanopi atau pagar. Dan itu dikerjakan dia sepulang kerja malam harinya. Bukan karena tuntutan biaya hidup. Tapi karena dia tidak bisa menolak permintaan temannya.
Aku usap pinggiran lukanya. Dan dia hanya menyeringai menatapku. Sejenak pandanganku berkaca-kaca, menyadari betapa jahatnya aku. Rasanya seperti manusia yang tidak pernah bersyukur.
Air mataku semakin deras terlebih aku sempat mengingat mantan pacarku dan membandingkan dengan dirinya. Seharusnya aku tau bahwa tidak akan ada yang pantas jika dibandingkan dengan dirinya.
Dia memang tidak pernah merayu dan mengucapkan kata-kata mesra seperti kebanyakan pria. Tapi dia selalu menunjukan secara langsung apa yang dia rasakan.
Seperti dulu ketika dia baru beberapa lama mengenal tapi ingin menikahiku. Dan sebulan kemudian dari waktu itu, dia benar-benar melamarku.
Dia menghapus air mata dengan kedua ibu jarinya dan kedua tangannya menangkup di wajahku.
"Kenapa?" Kurasakan tangan kasarnya di wajahku. Tangan yang selalu bekerja keras untuk kebahagian kami.
Aku mendongak dan mencoba tersenyum. Namun malah membuat air mataku semakin deras. Anak-anak hanya diam melihatku, entah merasa prihatin atau hanya kebingungan.
"Terima kasih sayang.." ucapku sambil menciumi kedua telapak tangannya.
"Ya udah ayo jalan, kakak pimpin baca doanya" ujarnya dengan penuh senyuman.
"Subhanal ladzii sakhhoro lanaa haadzana wa maa kunnaa lahuu muqriniina wa innaa ilaa robbinaa ilaa robbinaa lamungqolibuuna.." suara si sulung nyaring mengiringi laju mobi kami.
Begitu beragam sifat manusia sehingga kita kadang membandingkan yang sekarang dengan yang terdahulu. Berpikir bahwa dia bukan yang terbaik, tapi bisa jadi kitalah yang dianggap paling baik menurut Tuhan untuk mendampingi pasangan kita.
Bukan dengan harta kadang kita bisa bahagia, bukan juga dengan perhatian kita bisa terlena.
Tapi dengan ketulusan yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh yang akan membuat kita luluh dan berusaha setia. | Cerpen Romantis Ketulusan Yang Diperjuangkan Membuat Bahagia