Kepingan Hati Ini Yang Terserak Berai

Ini sudah ketiga kalinya, aku menyusuri Jalan Malioboro sendirian. Menyusuri jejak keberadaannya. Berawal dari menapakkan kaki menuruni Kereta Prameks, yang berhenti di Stasiun Tugu Jogja. Setelah sekitar satu jam perjalanan dari Stasiun Balapan Solo. | Cerpen Sedih Kepingan Hati Ini Yang Terserak Berai

Mengikuti arus penumpang yang menuruni lorong jalan keluar stasiun, kemudian berbelok ke kiri. Lalu memanjang hingga koridor berpagar di sayap selatan, menembus pertigaan Jalan Malioboro.

Aku tersesat tak di sepanjang jalan kenangan. Masih basah dalam ingatan, dulu menyusuri jalan ini berdua bersamanya. Purnama hati. Sejauh mata memandang, bayangan sosoknya ada di mana-mana. Berhenti sejenak di depan kios pedagang Blangkon. Tersenyum saat mengingat tingkah polahnya, mencoba beberapa blangkon dengan ekspresi konyol. Beralih ke kios aneka gantungan kunci khas Jogja. Berlari-lari di sepanjang jalan. Lalu menyantap gudeg Yu Djum dengan liur yang menetes karena kelaparan.

Sungguh sekarang, semua itu sangat menyakitkan. Melihat dia di manapun aku memandang. Membuat hati seperti digodam, serta tubuh menggigil karena teramat sakit merindukannya. Mata coklat itu, setiap kali menatapnya bagai melihat sinar purnama di dalam sana.

Apa yang harus aku lakukan? Entah, apa aku nanti bisa melupakan sosok tegap dan pelukan hangatnya.

"Sungguh, aku amat merindu."

"Kursi 4B?"

Seorang pria berkaca mata bertanya padaku yang tengah asyik membaca novel.

"Iya, samping jendela kaca."

Aku menggeser duduk, memberinya ruang untuk melintas. Mempersilahkan duduk. Melirik sekilas barang bawaannya yang ditaruhnya di kabin atas. Menurutku, mungkin dia baru saja melakukan pendakian entah di Gunung Lawu, Gunung Merapi, atau bisa juga di Gunung Merbabu. Melihat ransel besar dengan peralatan khas seorang pendaki yang dia bawa. Meneruskan bacaan yang tertunda karena sapaannya. Tak ada percakapan, kami sibuk dengan kegiatan masing-masing untuk beberapa saat.

Suasana gerbong sedikit gaduh, saat rombongan turis masuk. Menelisik nomer-nomer kursi dan mencocokkannya di kertas. Aku lihat, tak ada satupun yang sudi berdiri atau sekedar menjawab pertanyaan para turis itu. Mungkin para penumpang itu tidak terlalu paham Bahasa Inggris. Tiba-tiba pemuda di sampingku tadi berdiri menghampiri orang-orang berambut kuning keemasan itu. Bertanya, lalu menunjuk gerbong bagian belakang. Memberitahu bahwa tempat duduk mereka ada di sana. Satu poin plus untuknya. Tanpa sadar aku menyungging senyum samar.

"Ganis."

Dia sudah mengulurkan tangan sesaat sebelum kembali ke tempat duduknya.

"Zaya," jawabku

Siapa sangka perkenalan singkat di atas kereta itu, menjadi permulaan takdir yang selalu mempertemukan kami secara tidak sengaja.

Tidak ada yang menyangka sama sekali, kami berdua ternyata satu kampus walau berbeda jurusan. Dia senior, selisih empat semester. Secara kebetulan kami berpapasan di perpustakaan kampus. Sama-sama tertegun sesaat ketika pandangan kami beradu. Lalu senyumnya mengembang cerah. Membuatku seketika gugup tanpa alasan. Aku ingat ... setelah itu, berangkat ke kampus bukan lagi hal yang menjengkelkan. Walau tanpa kata, kami seperti bersepakat untuk selalu bertemu di perpustakaan setiap hari. Memilih kursi di samping jendela besar yang menghadap taman kampus. Jika bukan dia yang menunggu, pasti aku yang akan menunggu di sana.

Terlalu dalam kami merenda kasih dan merajut mimpi-mimpi masa depan.

"Purnama hati, tak akan sanggup hidup tanpamu.

Selalu ada dalam setiap aliran darah, tersebut namamu disetiap doa."

"Menikahlah denganku," Ganis mengucapkan kalimat itu tanpa menoleh. Menatap lekat hamparan sawah sejauh mata memandang, "maukan?"

Aku menoleh sejenak untuk mencari kejujuran di matanya. Lalu mengangguk, ikut memandang sawah terasering di depan sana. Berkelok-kelok bagaikan ular yang meliuk-liuk. Tentu saja itu adalah impian tak terucapku. Bukankah setiap hubungan menginginkan akhir bahagia dengan duduk bersanding di pelaminan?

"Bulan depan, aku akan berkunjung ke rumah orang tuamu. Ayo kita buat hubungan ini lebih serius."

Ganis menggenggam tanganku, kedua matanya berbinar cerah. Laksana purnama yang bersinar benderang. Dan aku bagaikan seorang putri tercantik di dunia kala itu.

Ganis benar-benar bertandang ke rumah menemui orang tuaku. Ayah menyambut sumringah. Pipiku menghangat tiap kali pemuda itu melirikku. Debar jantungku seraya berloncatan tak menentu. Hai, padahal bukankah dia sudah mengatakan lamaran itu sebelumnya. | Cerpen Sedih Kepingan Hati Ini Yang Terserak Berai

Kenapa dada ini rasanya masih saja ingin meledak. Ayah beberapa kali menyenggol pundak, menggodaku. Aku hanya bisa meringis dan tergelak sebagai jawaban.

Tapi perasaanku seperti tak menentu. Ada sesuatu yang salah dari tatapan Ganis sesaat sebelum berpamitan pulang. Tak seperti biasa dia menatap seperti itu. Dan, aku sulit sekali melukiskan maknanya. Tatapan yang berarti entah. Bahkan dia hanya menyalamiku tanpa mengacak rambut seperti biasa. Apa malu karena ada ayah? Entah, hingga mengantarnya di balik pagar rumah. Aku tak menemukan jawabannya.

Setelah itu Ganis bagaikan hilang di telan bumi. Tak kudapati lagi dia berada di kampus. Bahkan tiap kali aku menanyakan kepada teman terdekatnya, mereka semua menggeleng sebagai jawaban. Ada apa? Kenapa Ganis tak bisa kutemukan di manapun. Di sudut terjauh, kosong. Tak kutemukan apapun. Apa aku harus menangis dan meratapi, kehilangan seorang yang begitu terkasih. Raib begitu saja tanpa pesan. Apa salahku? Sekali saja, pertemukan. Aku hanya ingin bertanya, kenapa? Tapi dia tidak pernah muncul lagi, hingga kelulusannya.

Aku melambai pada salah satu abang becak yang mangkal di depan Stasiun Gombong. Menyerahkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat rumah. Menerima sebuah anggukan sebagai jawaban.

Di atas becak yang melaju, aku dapat melihat deretan kios-kios penjual buah yang berada di pinggir jalan keluar dari stasiun. Berbelok ke kanan, berhenti sebentar karena palang pintu rel kereta menutup. Tanda ada kereta yang lewat. Kereta dari barat, jurusan Jakarta - Surabaya. Lima menit berselang, becak motor yang kutumpangi kembali melaju. Terus ke arah selatan hingga berbelok ke kiri di perempatan lampu merah. Melewati hamparan sawah, deretan kios dan bangunan sekolah menengah kejuruan. Berbelok ke kanan, ada puskesmas pembantu dan bangunan sekolah dasar. Terakhir, berbelok lagi ke kanan. Lurus hingga ke ujung.

Di sinilah aku berada, turun dari becak dan menatap rumah sederhana bercat hijau yang dinaungi pohon-pohon kelapa di sekelilingnya. Mencari jawaban, setelah sebelumnya hanya bisa mengejar bayangannya di setiap tempat yang pernah kami lalui bersama. Tersenyum kikuk kala mendapati tatapan bertanya dari seorang ibu muda yang menggendong balita.

"Cari siapa, mbak?"

"Ganis, Ganis Salim," suaraku tercekat

Perempuan itu mengelus pundakku pelan, melihatku terpaku sejak menjejakkan kaki di ruang tamu. Beberapa kali aku menatapnya penuh tanya. Antara penasaran dan tangis yang hendak meledak. Dia hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Iya, itu ibu kami. Sudah lima belas tahun kami tidak dapat menatap wajahnya lagi."

"Mama meninggal sepuluh tahun yang lalu, setelah lima tahun hanya bisa terbaring. Berjuang melawan kanker payudara yang menggerogoti kesehatannya," jawabku bergetar

"Ganis sangat terpukul mengetahui kenyataan ini, melihat foto ibu yang terpajang di dinding rumahmu."

"Dan dia pergi begitu saja tanpa penjelasan apapun?" Teriakku berusaha melepas segala sesak di dada.

"Kamu saat itu masih kecil, gadis mungil berkepang dua. Sepuluh tahun usiamu. Saat kita bersama-sama menghadiri pemakaman ibu. Setelah itu, ayahmu membawa engkau pindah entah kemana."

"Sakit ini, akankah nanti terobati?" Terasa pilu | Cerpen Sedih Kepingan Hati Ini Yang Terserak Berai

"Dek ... biarkan dia menyembuhkan lukanya. Aku tau kalian berdua sama-sama tersakiti. Setelah itu, dia pasti akan datang padamu. Siap mencintaimu lagi, cinta yang baru dan berbeda."