Kebanggaan Seorang Anak Perempuan

"Apa yang kau banggakan dari anak-anak perempuanmu? Mereka tidak bisa memberikan engkau keturunan yang meneruskan namamu!" | Cerpen Sedih Kebanggaan Seorang Anak Perempuan

"Ha ha ha ha
Hi hi hi hi..
Akulah permaisuri

Lihatlah lihat semua
Aku punya pasangannya
Sepasang sepatu kaca" (Sepatu Kaca - Ira Maya Sopha)

Malam ini giliran pemadaman listrik di perumahan yang kami tinggali. Aku dan istriku lalu mengajak anak-anak kami untuk keluar rumah. Kami akan "berpiknik" di halaman belakang. Aku sibuk membuat api unggun dibantu oleh anak keduaku. Sedangkan istriku menyiapkan bekal berupa roti dan buah-buahan. Setelah semuanya siap, kami pun duduk menghadap api unggun. Aku dan istriku memainkan gitar sambil bernyanyi. Si bungsu bergelut manja dalam pelukan si sulung. Semua bernyanyi riang menyanyikan lagu Sepatu Kaca dari Ira Maya Sopha. Setelah menyanyi, anak-anak juga bergiliran membacakan puisi atau menceritakan kembali cerita yang mereka baca dari majalah Bobo. Si sulung bercerita tentang Juwita dan Si Sirik, anak keduaku bercerita tentang keluarga Bobo, anak ketigaku membacakan puisi yang dikarangnya sendiri. Melati anak keempatku, bercerita tentang petualangan 5 sekawan karya Enid Blyton. Si bungsu pun tak mau ketinggalan dia menyanyikan lagu Heli guk guk yang dipopulerkan Chica Koeswoyo.

Namaku Adi, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanku yang ke-15. Aku merasa sangat beruntung karena diberikan Tuhan seorang istri yang baik dan cantik, juga kelima putriku. Putri pertamaku bernama Indah, dia lahir ketika usia pernikahan kami memasuki tahun ketiga. Putri keduaku bernama Mawar sekarang usianya 10 tahun, selanjutnya Aida usianya 8 tahun, lalu Melati usianya 6 tahun dan si bungsu Nirmala usianya baru 3 tahun. Hari ini kami merayakan ulang tahun pernikahan dengan sangat sederhana. Hanya ditemani oleh api unggun dan bintang-bintang, tanpa makan malam romantis yang mewah. Namun aku tahu bahwa aku sangat bahagia memiliki keluargaku.

Aku adalah seorang laki-laki yang terlahir dari budaya patriarki yang sangat kental. Dimana seorang ayah dan anak laki-laki adalah raja di rumah. Aku adalah anak bungsu, dari 6 orang anak ayah dan ibu. Ketika ibu melahirkan kak Rita, kakak ketigaku. Ayah tidak tahan lagi, beliau ingin memiliki seorang anak laki-laki. Beliau lalu meminta izin ibu untuk menikahi Tante Yati. Tante Yati adalah seorang janda muda beranak 2. Tidak perlu menunggu untuk waktu yang lama, karena setahun kemudian tante Yati dan ibu sama-sama melahirkan. Bedanya ibu kembali melahirkan seorang anak perempuan dan Tante Yati melahirkan anak laki-laki.

Ayah semakin jarang di rumah, walaupun materi dan uang dari ayah tak pernah putus. Ayah adalah juragan tembakau di kampung kami. Hasil kebun tembakau ayah tidak hanya dijual ke Jakarta, tetapi ayah juga menjualnya ke luar negeri. Dari kecil aku sangat dimanjakan, maklumlah karena aku anak dari istri pertama ayah. Setelah kelahiranku ayah ingin punya anak laki-laki lagi, padahal sudah ada 2 orang anak laki-laki dari tante Yati. Ayah kemudian mengambil tante Ratna sebagai istri ketiga. Tante Ratna adalah seorang perawan ketika menikah dengan ayah. Namun karena sering sakit, tante Ratna hanya memberikan ayah 1 orang anak perempuan. Lalu ayah mengambil tante Sri sebagai istri, lalu ada tante Jamilah, tante Lilis dan beberapa tante lain yang datang ke rumah dan mengaku kepada ibu bahwa mereka adalah istri ayah.

Ibuku adalah perempuan yang sangat cantik, namun garis-garis penuaan nampak jelas di wajahnya. Padahal usianya waktu itu baru 35 tahun dan umurku sudah 10 tahun. Ibu menikah muda, usianya baru 15 tahun ketika dinikahi oleh ayah. Alasan ibu menikah seperti alasan yang akan kau temukan pada jurnal-jurnal feminis. Kemiskinan adalah pintu masuk pernikahan dini. Ibu bercita-cita menjadi seorang dokter karena ayahnya meninggal akibat lambat ditangani oleh petugas medis. Alasannya masih sama yaitu kemiskinan, sehingga nenek tidak memiliki uang untuk berobat. Ibu ingin menjadi dokter yang melayani orang miskin. Namun sayang takdir berkata bahwa dia harus menjadi seorang "pelayan" yang lain, pelayan dari seorang suami yang kaya. Takdirnya adalah menjadi seorang istri dari anak juragan tembakau.

Waktu itu usia ayah 25 tahun, beliau sangat gagah dan juga berpendidikan. Ayah jatuh cinta kepada ibu pada pandangan pertama. Ibu juga akhirnya mencintai ayah yang lembut dan baik hati. Kami anak-anaknya lahir dari buah cinta mereka. Namun ternyata cinta ayah adalah cinta yang semu, setelah mengambil tante Yati sebagai istri keduanya. Ayah terus "berpetualang" mencari cinta yang baru demi mendapatkan seorang pewaris. Seorang pewaris haruslah seorang anak laki-laki yang akan menguasai segala kekayaan ayah. Anak-anak perempuan hanya akan diboyong oleh suaminya, dan anak dari anak perempuan hanya akan mewarisi nama ayahnya bukan nama ibunya.

Jember, 14 Agustus 1985

"Apa yang kau banggakan dari anak-anak perempuanmu? Mereka tidak bisa memberikan engkau keturunan yang meneruskan namamu!"

"Saya mencintai mereka ayah, mereka adalah harta saya yang paling berharga"

"Ayah ingin kamu menikah lagi, lihat si Midah dia cantik, muda dan sehat. Dia bisa memberikanmu beberapa anak laki-laki"

"Tidak ayah, istri saya cuma Dewi seorang. Saya sangat mencintai Dewi. Dia telah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan anak-anak saya"

"Hahaha, dia melahirkan anak-anak perempuanmu yang tidak berguna itu", ayah berkata sinis sambil menertawanku.

"Tidak ayah, saya tidak akan pernah menjadi seorang laki-laki seperti ayah. Sampai mati saya hanya menjadi suami Dewi seorang!"

"Dasar anak bodoh! Menikahlah dengan Midah! Berikan aku cucu laki-laki!"

"Tidak ayah. Aku telah bersumpah aku tidak akan menjadi seperti ayah!"

"Plak" bunyi tamparan dan rasa panas di pipi mengagetkanku.

"Anak kurang ajar! Berani sekali kau menghina ayahmu sendiri! Sekarang kau tinggal pilih, menikah dengan Midah dan berikan aku cucu laki-laki atau kau keluar dari rumah ini!"

Aku memilih pilihan kedua, dan namaku dihapus dari daftar ahli waris ayah. Akhirnya dengan modal nekat dan ijazah insinyur pertanian jurusan ilmu tanah, aku memboyong keluargaku pindah ke kota hujan Bogor. Aku bersyukur karena Dewi istriku mendukung dan setia mendampingiku di masa-masa terberat kami, masa-masa meninggalkan segala kenyamanan di Jember dan memulai hidup baru di Bogor.

Ayahku tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku dan kakak-kakakku. Ayah hanya tahu kami bahagia, karena kami punya banyak uang jajan dan mainan yang bagus. Ayah tak pernah tahu bagaimana sakitnya melihat ibu yang sering diam-diam menangis. Ayah tak pernah tahu bagaimana pedihnya melihat bekas luka di wajah ibu, bekas pukulan tangan ayah yang selalu diakui ibu sebagai luka bekas jatuh di kamar mandi. Ayah tak pernah tahu perihnya hati kami, ketika bertamasya dan melihat anak-anak lain tertawa bahagia karena didampingi oleh kedua orang tuanya.

Ayahku tak pernah tahu beruntungnya aku memiliki ibuku. Walaupun dengan pendidikannya yang sangat terbatas, ibuku mengajarkan aku dan kakak-kakakku untuk mencintai buku. Buku adalah hiburan terbaik bagi kami ketika ayah semakin jarang berkunjung ke rumah. Berbagai buku pengetahuan baik sains, sejarah, novel, dongeng dan cerita rakyat selalu menemani hari-hari kami yang sepi tanpa ayah. Buku adalah jendela dunia, dengan buku kami menjajahi segala penjuru dunia. Dengan membaca kami sejenak melupakan penderitaan kami, dan melupakan kenyataan bahwa kami harus berbagi ayah dengan anak-anak ayah dari ibu yang lain. Ayahku tak pernah tahu, betapa aku sangat mencintai ibuku dan tak ingin menyakiti hati ibuku. Lalu bagaimana mungkin aku harus menyakiti Dewi istriku, dengan menikahi perempuan lain. Dewi adalah perempuan yang melahirkan anak-anakku. Sama seperti ibuku yang melahirkan aku. Selain itu, aku juga memiliki anak-anak perempuan. Bagaimana mungkin aku tega melihat anak-anakku diduakan oleh suami-suami mereka.

Bogor, 10 April 2018

"Pa, papa bangun dulu. Ini suster udah datang. Waktunya papa untuk minum obat" Mawar putri keduaku dengan lembut membangunkan aku. Aku harus bangun dan minum obat. Sudah seminggu aku dirawat di rumah sakit, karena ada masalah dengan jantungku. | Cerpen Sedih Kebanggaan Seorang Anak Perempuan

Hari ini tepat sebulan setelah aku dan istriku merayakan ulang tahun pernikahan kami yang ke-45. Seminggu yang lalu aku dibawa ke rumah sakit oleh istriku. Aku jatuh pingsan pada saat meminum kopi. Aku lupa bahwa aku bukanlah Adi, sang laboran yang gagah. Aku sudah pensiun dari pekerjaan itu bertahun-tahun yang lalu. Aku lupa bahwa tubuhku yang dulu gagah, kini sudah kurus dan keriput. Aku lupa bahwa kelima gadisku bukan lagi bocah kecil, yang selalu menuntut tamasya di belakang rumah ketika mati lampu. Aku lupa bahwa akulah yang memberikan restu kepada para lelaki pilihan mereka. Sekarang gadis-gadisku telah menjadi istri dan ibu.

Aku bersyukur ketika terbangun di malam hari. Kelima putriku masih setia menemaniku. Malam ini aku melihat mereka sibuk dengan bukunya masing-masing. Nirmala si bungsu sibuk membaca buku kedokteran, Melati anakku yang nomor 4 sibuk membaca buku fisiologi tanaman. Aida putriku yang ketiga sibuk membaca karya sastra dari William Shakespeare. Mawar anakku yang kedua sibuk mempelajari fisiologi hewan. Indah si sulung sibuk membaca buku tentang tata negara. Aku merasa bangga karena "warisan" ilmu yang aku berikan sangat berguna di masa depan mereka. Aku tak punya harta benda yang bisa kuwariskan kepada mereka. Hanya pendidikan terbaik dan ilmu agama, yang kuwariskan kepada mereka untuk mencari jalan bagi masa depan mereka sendiri.

Aku merasa bahagia dan bersyukur karena anak-anakku saling menyayangi satu sama lain. Mereka juga sangat kompak dalam merawatku. Hanya Melati dan Mawar yang hidup satu kota dengan aku dan istriku, walaupun mereka menempati rumah mereka sendiri. Mereka berdua adalah dosen pada salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. Indah, si sulung juga berprofesi sebagai dosen namun dia memilih mengabdikan diri di daerah timur Indonesia. Aida adalah seorang penulis dari beberapa novel best seller, dia hidup di Jakarta. Sedangkan si bungsu Nirmala adalah seorang dokter yang mengabdikan dirinya bagi masyarakat di pedalaman Kalimantan.

Aku merasa sangat beruntung di tengah kesakitanku, karena didampingi oleh istri yang sangat setia dan mencintaiku. Aku merasa sangat beruntung karena kedua putriku yang jauh langsung memesan tiket penerbangan pertama untuk merawatku. Aku merasa sangat bersyukur karena kelima putriku bersedia meluangkan waktu mereka untuk merawatku. Aku merasa beruntung karena dicintai dengan tulus oleh kelima putriku. Anak-anakku adalah hartaku yang sangat berharga, tak pernah sedikitpun muncul niat di hatiku untuk meninggalkan mereka dan ibu mereka demi seorang anak laki-laki. Aku sangat beruntung memiliki kelima putriku, karena aku tahu aku akan mendapatkan 5 orang anak laki-laki dari mereka berlima. Aku merasa sangat beruntung dan bersyukur memiliki anak perempuan, karena merekalah yang merawatku dengan ikhlas dan tulus hati di masa tuaku.