Karena Ridhonya Zahwa Cintaku Diterima

Aku memiringkan kepala melihat ekspresi Zahwa. Matanya menyipit dengan bibir melengkung ke atas. Manis.

"Romantis, ya?" Lalu dia menerawangkan pandangan seperti membayangkan sesuatu.

"Iya. Romantis. Kamu mau kayak gitu?" Aku bertanya sambil melihat kembali, ke arah di mana seorang perempuan menyuapi es krim pada lelaki di sebelahnya. | Cerpen Cinta Karena Ridhonya Zahwa Cintaku Diterima 

"Mau," suara manjanya menjawab, "nanti, sama suami aku." Wajahnya kembali berpaling ke depan. Melanjutkan langkah yang sempat tertinggal.

"Dan semoga, itu aku," batinku dalam hati.

Entah doa yang keberapa puluh, ratus, atau mungkin ribuan.

Zahwa namanya, tetangga sebelah rumah. Teman sejak berusia lima tahun, hingga kini saat kami sudah duduk di tingkat sebelas Madrasah Aliyah. Bahkan aku melepaskan cita-cita untuk melanjutkan sekolah jurusan Teknik Mesin, yang selalu aku impikan. Demi menjaga Zahwa, agar tidak ada yang mendekatinya. Aku tidak rela, jika ada laki-laki lain yang berjalan di sampingnya, apalagi sampai mencuri hatinya.

Pagi ini seperti biasa aku memanggil namanya di depan pagar rumah untuk berangkat sekolah bersama.

"Zahwa, udah siap?"

"Bentar Dho, tinggal pake sepatu," kepalanya muncul di belakang daun pintu.

Aku mengangguk.

"Bu, Zahwa berangkat dulu. Assalamualaikum," terdengar dia berpamitan, lalu keluar dari dalam rumah. Menghampiriku.

Lihatlah dia, berjalan pelan dengan wajah manis itu. Kerudung putihnya berkibar karena angin pagi yang berhembus.

"Yuk, Dho!" Dia memberi isyarat saat melewatiku.

Segera aku melangkah, di sampingnya. Dengan radius satu meter. Seperti ini, setiap pagi.

Dulu aku menganggap, ini hanya perasaan sebagai sahabat yang selalu ingin menjaga dan melindunginya. Tapi rasa itu berubah, saat dua tahun lalu aku memergoki dia sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Firman namanya. Terang-terangan menyatakan rasa cinta, tepat di hari perpisahan.

"Kamu mau jadi pacar aku?" Firman memberikan sebuah boneka panda berwarna coklat.

"Aku baru lulus SMP, masih mau melanjutkan pendidikan. Aku belum mau menikah." Zahwa mendorong boneka yang Firman berikan. Menolak.

"Aku mau kita pacaran, bukan nikah." Firman mulai terlihat gelisah, atau mungkin terkejut.

"Buat aku, pacaran itu cuman ada setelah aku menikah."

Ada perasaan haru dalam hati. Menyadari teman yang selama ini selalu bermain bersamaku, ternyata sudah memegang teguh sebuah prinsip. Menolak Firman yang notabene lelaki terkeren di sekolah kami.

Bagaimana bisa, Zahwa yang saat kecil terkesan manja dan cengeng, menjadi sedewasa itu? Dulu aku yang sering membelanya ketika dia menangis karena diganggu anak-anak komplek. Memanggilnya dengan sebutan ... 'si pincang'.

Aku berjalan agak cepat, saat melihat sebuah angkot melaju di kejauhan. Melambaikan tangan agar pak supir berhenti.

Agak lama menunggunya.

"Naik!" aku memberi perintah saat Zahwa sudah mendekat. Sudah biasa, tidak ada waktu untuk sekedar berdiri di pinggir jalan.

Zahwa langsung naik, walau agak sedikit kesulitan saat mengangkat kaki. Karena angkot sudah penuh, membuatnya harus duduk di bangku jok amper. Aku pun segera naik dan duduk di sampingnya, memutar badan menghadap keluar. Menghalangi supaya Zahwa tidak duduk di ambang pintu angkot.

Masih kuingat jelas, tangisannya kala itu. Dia berjalan dengan kaki tertatih. Mengusap wajah yang sudah basah dan kotor, juga suara terisak.

"Kenapa lagi, Zahwa?" Ibunya menghampiri dengan ekspresi cemas.

"Mereka ninggalin Zahwa, Bu. Sarah bilang jalan Zahwa lelet." Ucapnya dengan suara tersedu.

"Ibu udah bilang jangan main sama anak-anak itu. Sini, ikut Ibu. Hari ini kita punya tetangga baru, dan kamu punya teman baru juga. Dia sama besarnya sama Zahwa."

Aku memperhatikan langkah Zahwa, terlihat dia berjalan dengan menyeret kaki kanannya.

"Ini namanya Ridho. Nak Ridho, ini anak Tante. Namanya Zahwa. Ridho mau kan jadi teman Zahwa?"

Aku mengangguk. Kasihan, pikirku.

Ya, berawal dari kasihan. Setiap hari aku harus bermain dengan dia dan menemaninya pergi ke warung. Kasihan, Zahwa tidak punya teman. Kasihan, Zahwa sering jatuh karena jalannya yang tidak biasa. Itu kata Mama. Terpaksa, aku menuruti perintah Mama.

Angkot berhenti, aku melompat segera lalu berdiri menunggunya. Menunggu Zahwa turun.

"Cepetan dong, udah siang nih!" Teriak seorang siswi di belakang Zahwa.

Tidak aneh, memang kadang seperti itu.

Tap, Zahwa sudah berdiri di hadapanku.

"Ini ongkosnya," dia memberikan selembar uang dua ribuan.

"Biar aku aja." Kutolak halus uluran tangannya, lalu melangkah ke bagian depan, menyimpan ongkos kami berdua di dashboard mobil.

"Yuk!" Kembali aku memberinya isyarat untuk melangkah.

"Zahwa, tunggu bentar, dong!" Aku berteriak sambil mengejar Zahwa yang sudah berjalan lebih jauh dariku.

Tapi dia bergeming, tetap melangkah terus ke depan.

"Zahwa!" Aku sudah berdiri di depannya. "Kenapa? Tadi aku ke kelas kamu, tumben udah keluar duluan?" Sambil berjalan mundur karena Zahwa tak menghiraukanku.

"Kirain mau pulang sama Salma?" Dia malah balik bertanya, dengan raut wajah yang ... marah?

Aku berhenti melangkah, membiarkan dia melewatiku.

"Salma?" Tawa tertahan dari bibir, mengingat kejadian tadi pagi di sekolah.

Ah, rupanya dia melihat aku dan Salma. Ya, waktu itu Salma menghalau langkahku yang baru keluar dari toilet. Dan dia, memberikan sepucuk surat dengan amplop pink merona. Aku menerimanya, tapi tidak membalasnya.

Tentu saja, aku sempat melihat Zahwa. Kala itu dia pun hendak masuk ke toilet perempuan. Dan Zahwa, berpaling begitu saja dengan tatapan acuh. | Cerpen Cinta Karena Ridhonya Zahwa Cintaku Diterima 

"Zahwa!" Lagi aku mengejarnya. "Kamu marah?" Kembali aku berjalan di depannya dengan langkah mundur.

"Marah apa?" Zahwa tak menatap wajahku sedikitpun.

Aku kembali berhenti, lalu berjalan di sampingnya seperti biasa. Dengan radius satu meter. Tapi terasa ada yang berbeda, hatiku. Detakannya ... begitu kencang.

Hari ini aku tidak memanggil Zahwa untuk berangkat sekolah bersama, karena sudah dua hari dia pergi keluar kota. Ada rasa rindu, juga bahagia. Saat beberapa hari lalu dia mengatakan, jika uang tabungan ayahnya sudah cukup untuk membawa Zahwa ke sebuah rumah sakit ternama di kota. Memeriksakan perihal kondisi kakinya.

"Tumben sendiri, mana si pincang?" Tanya Adi saat melihatku berjalan sendirian.

"Kerumah sakit, mau operasi."

"Oya? Tapi nyokap gue bilang itu cacat bawaan dari lahir, ga bakalan bisa jalan normal." Adi memberikan ekspresi mengejek, "lu mau-maunya aja jadi kacung dia. Mau sampe kapan?"

Sampai kapan? Seumur hidupku kalau bisa.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Zahwa. Aku langsung melempar ponsel dan melihat dari jendela kamar. Zahwa, dia turun dibantu Ayahnya.

"Udah pulang Bu Asih?" Terdengar suara Mama di depan rumah.

"Sudah Bu Mira," jawab Ibu Zahwa diiringi sebuah senyum.

Segera aku berlari keluar rumah, menghampiri Mama dan Tante Asih.

"Gimana, Tante, bisa?" Aku langsung bertanya, tak sabar.

Tante Asih memandang Zahwa dan Oom Ridwan hingga masuk ke dalam rumah. Lalu kembali menatapku dengan sebuah senyum. "Zahwa harus lebih ikhlas ... dengan kondisinya ini, nak Ridho."

Mencelos hatiku mendengar semua cerita Tante Asih. Tentang vonis Dokter yang menyatakan, bahwa Zahwa tidak akan pernah bisa berjalan normal. Sebisa mungkin menahan desakan air mata yang terus memaksa keluar, dari tempat persembunyiannya.

Bukan. Bukan karena aku berharap perempuan yang aku sayangi bisa berjalan normal seperti yang lain. Tapi, aku hanya takut. Takut jika Zahwa kecewa dan putus asa. Selama ini dia berharap lebih pada takdirnya.

"Dho, ini uang kamu," Zahwa memberikan sebuah amplop putih polos padaku pagi ini.

"Uang apa?" Aku bertanya tidak mengerti.

"Aku tau, selama ini kamu ongkosin aku tiap pulang pergi sekolah, supaya aku bisa nabung lebih besar buat nambahin biaya pengobatan yang ayah kumpulin kan?" Zahwa merunduk. "Sayangnya, aku udah ga punya harapan, Dho ...."

Ingin rasanya menghapus air mata itu. Menghapus kesedihan di wajahnya. Memberi sebuah kepastian, bahwa dalam kondisinya yang seperti apapun, aku rela menerima dia. Dan berjanji, akan selalu menemaninya.

Waktu berlalu, ujian sudah di depan mata. Aku belajar ekstra, agar bisa lulus dengan nilai baik. Demi mewujudkan semua cita-citaku.

Pak Pos datang mengantarkan surat kululusan. Aku dan Zahwa sama-sama membukanya di depan rumah.

"Syukur alhamdulillah. Aku lulus, Dho!" Zahwa berteriak kegirangan sambil menunjukan kertas di tangannya.

"Alhamdulilah, aku juga!" Balasku tak kalah senang.

"Kamu jadi lanjutin kuliah ke Yogja?" Ekspresi wajahnya berubah seketika, terlihat muram dengan tatapan sendu.

Aku mengangguk, "InsyaAllah, Papa udah kasih ijin."

"Dho, kalo kamu pergi, nanti siapa yang bakal jagain aku? Aku, ga biasa pergi sendiri, tanpa kamu."

Aku tersenyum kelu, "Kamu pasti bisa. Aku yakin, Zahwa yang sekarang udah jadi perempuan kuat dan mandiri."

Aku mengacak semua sudut meja. Mencari flashdisk, tempat semua rangkuman tugas tersimpan di dalamnya.

"Ya ampun, dimana lagi?" Gerutuku.

"Kenapa, Dho?" Rahmat, teman satu kamar yang baru saja masuk, menghampiri dengan wajah tanda tanya.

"Flashdisk, aku lupa simpan, Mat!" Menggaruk kepala dengan pikiran berputar-putar, mengingat keteledoranku.

"Oh. Malem itu kan kamu simpen dalam tas itu tuh," tunjuknya, "coba cari dulu, kali aja aku ga salah lihat."

Aku menoleh, "Ah, ya. Aku baru inget."

Segera kuraih tas ransel yang tergantung di paku, mengeluarkan semua isinya.

"Apa ini?" Mataku terpaku,menatap sebuah amplop.

Warna putihnya sudah tak bersinar, agak lusuh dan kusam.

"Uang?" Aku terhenyak saat melihat isinya. Lalu kutarik semua yang ada di dalam sana. Ada kertas kecil terselip.

Ini uang kamu, Dho.

Aku ga bisa terima.

Tapi, jika suatu hari nanti Allah mengijinkan.

Aku berharap uang ini jadi mahar yang kamu berikan buat aku.

Itu pun jika kamu mau menerima keadaanku.

"Zahwa?" Bibirku tertawa pelan seketika.

Hampir setahun aku tidak bertemu dengannya. Minggu lalu saat menelepon Mama, aku dengar Zahwa sekarang sibuk dengan kegiatannya, sebagai tenaga pengajar di sekolah Paud baru yang didirikan di lingkungan kami.

"Kenapa Dho, ketemu flashdisk-nya?" Tanya Rahmat.

Aku mengangguk, "udah."

"Girang bener nemuin flashdisk, kayak dapet hadiah undian!" Serunya.

Ah, kamu tidak tahu jika ini lebih dari sekedar undian.

Hatiku berbunga seketika, mengetahui ternyata Zahwa sudah menyadari perasaanku. Aku bahagia. Sangat. Lalu tersenyum sendiri membayangkan bagaimana pertemuan kami jika nanti aku pulang untuk berlibur?

Aku sadar.

Adalah sebuah kebahagiaan, saat kamu tahu bahwa perasaan yang selama ini tersimpan dalam diam, ternyata dia rasakan juga. | Cerpen Cinta Karena Ridhonya Zahwa Cintaku Diterima 

Kesempurnaan fisik mungkin perlu, tapi kesempurnaan hati menurutku lebih utama.

Karena, bukankah dengan hati, diri ini berpikir dan bertindak?