"Jadi, kamu lebih memilih istri orang itu daripada aku?" "Maafin aku, Ay...." November 2010
"Peseeek... Hoeee... Pesseeeekkk...." gemas aku melihatnya.
Karyawan baru di tempatku bekerja. Namanya Ayu. Gadis manis berhidung pesek dengan poni depan dan lesung pipit. Ah... Manis sekali. Kulitnya tidak terlalu putih, tapi juga tidak hitam, sedap dipandang dengan pipinya yang kemerah-merahan alami tanpa polesan blush on. | Cerpen Sedih Alibi Pembenaran Atas Nama Cinta
"Apa maumu, Mas Pendek?" tanyanya dengan wajah kesal dan berkacak pinggang. Lucu sekali.
"Eits... Ada kresek warna merah, si hidung pesek marah. Hahahaha...." aku terus menggodanya. Tidak ada maksud lain, aku cuma suka menggodanya.
"Dasar cowok pendek, jelek! Aku do'akan semoga istrimu lebih pesek daripada aku!" ucapnya masih berkacak pinggang.
"Ya kalau takdirnya aku jodoh sama kamu, alhamdulillah. Hahahaha...." jawabku asal.
"Huft!" dengusnya sambil berlalu pergi melanjutkan pekerjaannya.
Aku bekerja di sebuah restoran cepat saji yang menjual ayam crispy sebagai menu andalannya. Meskipun hanya brand lokal, tapi rasanya cukup bersaing dengan brand terkenal yang ada di kota-kota besar.
"Pi, nanti malam ngopi yuk ...." ajak Windy. Dia adalah gadis yang aku suka, belum bisa dikatakan pacaran. Kami hanya saling menyukai, tapi aku tidak pernah memintanya untuk jadi pacarku.
"Boleh, tapi ajak yang lain juga ya," aku menyetujuinya.
Kami sering jalan bersama, tapi selalu bersama teman-teman yang lain. Aku dan Windy sangat dekat, seperti orang pacaran. Aku tidak biasa mengungkapkan perasaan kepada wanita secara langsung, tapi aku hanya membuktikan lewat sikap dan perhatianku kepada Windy. Sebenarnya Windy tidak terlalu cantik, kulitnya hitam, hidungnya mancung, punya tahi lalat di atas bibir. Hitam manis.
"Win, bener kamu udah dilamar orang?" tanyaku dengan nada datar sambil menahan emosi.
Windy tidak langsung menjawab. Dia hanya diam menunduk.
"Jawab, Win!!" bentakku.
"Iya, Pi ... Aku tidak bisa menolak pilihan orangtuaku. Tapi aku cinta kamu, Pi. Aku mohon jangan tinggalin aku. Aku sayang banget sama kamu ...." jawab Windy sambil menangis tersedu-sedu. Windy selalu memanggilku Papi. Melihatnya menangis, aku jadi tak tega. Ah ... Aku benci melihat wanita menangis.
"Sudah. Hapus air mata kamu."
"Kamu jangan resign, Pi. Kita ketemu cuma di tempat kerja. Aku nggak bisa kalau nggak ketemu kamu lagi. Aku nggak bisa kehilangan kamu ...." Windy masih menangis, malah makin menjadi.
Akhirnya aku genggam kedua tangannya.
"Aku nggak resign kok. Kamu jangan nangis lagi, ya ...." bujukku sambil menggenggam kedua tangannya.
Jujur, saat itu hatiku hancur. Lalu, apa arti semua perhatian dan sikap manjanya selama ini kepadaku, jika akhirnya kini Windy lebih memilih pilihan orangtuanya. Padahal mestinya dia bisa menolak karena mencintaiku. Apakah semua karena harta? Ah ... Iya. Aku bukan siapa-siapa. Cuma seorang pegawai restoran dengan gaji kecil dan tak punya apa-apa selain cinta. Sedangkan calon suami Windy anak orang kaya, punya tanah dimana-mana.
Saat itulah, Ayu hadir menghapus kesedihanku. Aku senang setiap melihatnya. Wajahnya selalu ceria. Ayu yang tomboy, periang, dan mudah bergaul. Banyak laki-laki yang mendekatinya. Entah kenapa, aku suka melihatnya tersenyum. Lesung pipit itu akan tercetak jelas di pipi kirinya saat tersenyum.
Hari ini, hari pernikahan Windy. Ku lihat dia dari jauh. Nampak raut wajah bahagia. Senyum tak pernah hilang dari wajahnya. Jauh berbeda dengan yang aku rasakan.
Hatiku sakit melihatnya bersanding dengan laki-laki lain di pelaminan.
Seminggu setelah pernikahan itu, Windy masuk kerja karena masa cutinya sudah habis. Sepulang kerja, dia mengajakku jalan berdua saja. Aku turuti permintaannya, meskipun aku tahu ini salah. Jalan berdua dengan istri orang bukan hal yang pantas. Tiba-tiba di jalanan sepi, dia minta berhenti. Waktu itu sudah mulai senja dan hampir maghrib.
"Pi, kita check in di hotel yuk ...."
"Apa? Aku nggak salah denger? Kamu ini istri orang! Nggak pantes kayak gitu," jawabku setengah kaget.
"Aku nggak cinta sama dia, Pi. Aku bahkan nggak mau disentuh dia. Kita nginep di hotel. Kamu boleh ambil perawanku. Karena aku maunya sama kamu. Aku cintanya sama kamu ...."
"Hei! Terlambat. Kalau nggak cinta, kenapa kamu mau menikah sama dia. Padahal kamu bisa menolak. Kamu jangan egois. Biarkan aku bahagia juga."
Windy tidak menjawab. Dia hanya menunduk sambil menangis di atas motornya.
"Pulanglah. Suamimu pasti sudah menunggumu di rumah," sambungku kemudian.
Windy masih menangis dan akhirnya berlalu pergi.
Aku memang masih mencintai Windy. Tapi, aku tidak segila itu.
"Udah lah, Wan ... Kamu sama Ayu aja. Ayu tuh cantik lo. Lebih cantik dari Windy. Lagian nih, Wan, cewek tomboy itu kebanyakan pasti setia," celoteh Rudy sambil memegang cangkir kopinya.
"Masalahnya, apa Ayu mau sama aku?"
"Ya kamu deketin dulu to ... Nanti tak bantu comblangin. Kamu tenang aja. Habis ini, tak jemput si Ayu, tak ajak'e ngopi disini. Tapi pinjam motormu yo!"
"Yo wis lah, terserah ...." jawabku akhirnya. Mungkin memang tak ada salahnya aku membuka hati untuk Ayu.
Lima belas menit kemudian, Edo datang bersama Ayu. Dia tampak lain tanpa seragam kerja. Wajahnya benar-benar cantik natural tanpa polesan make-up sedikitpun. Mungkin tidak sulit bagiku membuka hati untuk Ayu. Tapi, apa Ayu juga menyukaiku?
Februari 2011
"Ay, maafkan aku. Aku masih belum bisa melupakan Windy. Kamu cari cowok lain aja ya ... Kamu pantas bahagia ..." berat rasanya aku mengucapkan, tapi aku benar-benar pada posisi yang sulit.
"Jadi, kamu lebih memilih istri orang itu daripada aku?"
"Maafin aku, Ay...."
"Oke ... Aku ngerti. Lanjutin aja semua kebodohan kamu. Silahkan! Tapi, ingat satu hal. Suatu saat, kamu pasti akan mencari aku." | Cerpen Sedih Alibi Pembenaran Atas Nama Cinta
Ayu berlalu pergi. Tanpa air mata. Tapi, aku tahu. Menangis dalam hati, pasti lebih sakit rasanya.
Ini memang salahku yang menyakiti Ayu. Sejak aku nongkrong bersama Edo dan dia di warung kopi itu, aku semakin dekat dengannya. Tepatnya, aku yang mendekatinya. Ku berikan dia perhatian-perhatian kecil, dan sering ku ajak jalan. Lama-lama perasaan sayang itu muncul. Lalu, aku putuskan mengungkapkannya. Dia menerimaku jadi pacar. Akupun mulai melupakan kesedihanku karena Windy. Ayu selalu membuatku tertawa dengan kekonyolannya. Dia lucu sekali, humoris, dan tidak mudah tersinggung. Tapi, Ayu harus dipindah ke cabang yang baru di luar kota. Kami bertemu tiap jadwal off bersama.
Hingga hari itu, Windy memintaku untuk bertemu. Dia sudah menungguku di rumah Sari. Sari adalah teman satu kerjaan juga.
Disana, Windy menangis tersedu-sedu. Dia memintaku putus dengan Ayu. Dia tidak rela aku berpacaran dengan Ayu. Windy membawa pisau ditangannya.
"Putusin Ayu, atau aku mati di depanmu sekarang!!" ancamnya sambil memegang pisau dengan ujung di hadapkan ke perutnya.
"Hentikan, Win!! Kamu udah gila?" aku berusaha merebut pisaunya, tapi tidak berhasil.
"Aku gila karena kamu, Wanto!! Aku cinta kamu!! Aku nggak rela kamu pacaran sama cewek lain!! Aku benci Ayu!! Karena Ayu sudah merebut kamu dariku!!"
"Gila kamu, Win!!"
"Putusin, atau aku mati sekarang juga!!"
"Jangaaaann ....."
Aku memeluk Windy dan meminta dia menjatuhkan pisaunya. Dia menangis keras. Aku benci melihat wanita menangis. Aku jadi tak berdaya.
"Oke ... Aku putusin dia."
"Makasih, Wan ...."
Bodoh? Iya! Aku memang bodoh. Mencampakkan gadis sebaik Ayu hanya demi istri orang. Entahlah ... Aku benci semua ini.
Aku tahu, aku jahat kepada Ayu. Tapi, aku yakin. Ayu lebih kuat dari Windy. Aku tidak ingin Windy berbuat nekat mencelakai dirinya hanya gara-gara aku. Urusannya bisa panjang. Dan aku pasti akan terbawa masuk ke dalam masalah rumah tangganya.
"Pi, aku janji. Aku nggak akan mau disentuh suamiku. Suatu saat, aku akan minta cerai. Tapi aku lagi cari waktu yang pas," ucap Windy setelah tenang.
Aku hanya diam tak menjawab. Apakah memang Windy adalah jodohku?
Agustus 2013
"Saya terima nikah dan kawinnya Ayu Wandira binti Solahudin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."
"Bagaimana saksi? Sah?"
"Sah ...."
"Alhamdulillah ...."
Doa terpanjatkan dari para saksi dan para tamu undangan yang hadir.
Ayu, wanita yang pernah aku sakiti, dialah jodohku. Wanita yang kuat dan mau menerima segala kekuranganku.
Aku memilihnya, karena dia wanita yang setia. Banyak cobaan yang kami hadapi sebelum akhirnya kami sah menjadi pasangan suami istri. Bahkan kami sempat mengira tak berjodoh.
Ayu terlihat sangat cantik hari itu. Dia memakai gaun berwarna putih dengan hijab panjang sampai ke pinggang dan memakai mahkota bunga di kepalanya. Ayu sudah berhijrah, begitu pula aku. Ayu membawa perubahan besar dalam hidupku. Dan aku sangat mencintainya.
April 2011
Windy ternyata hamil. Wajahnya manis, tapi tak semanis janji-janjinya. Dia memohon-mohon padaku supaya tidak meninggalkannya. Tapi, aku sudah tidak mempedulikannya lagi.
Aku teringat kata-kata Ayu waktu itu. Bahwa suatu saat aku akan mencarinya. Ternyata terbukti. Sekarang aku mencarinya. Aku ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin meminta maaf sudah menyakitinya.
Sembilan bulan berlalu, Windy melahirkan. Ketika masa cuti melahirkannya berakhir, dia mencariku dan memintaku kembali padanya. Dia akan meminta cerai kepada suaminya.
"Win, sekarang kamu mengkhianati suamimu. Bukan tidak mungkin kamu akan mengkhianati aku juga ketika sudah menikah nanti. Kamu sudah punya anak. Jangan lari dari tanggung jawabmu sebagai ibu."
"Maafin aku, Wan ...."
"Aku udah maafin kamu dari dulu, sekarang biarin aku bahagia sama Ayu."
Aku pergi berlalu dari hadapannya. | Cerpen Sedih Alibi Pembenaran Atas Nama Cinta
Windy masih memanggil-manggil dan bertanya kenapa harus dengan Ayu?
"Kamu tidak tahu, Win ... Karena Ayu pantas kubahagiakan," bisikku dalam hati.