Sore itu, seperti biasa Pak Jajang membenahi isi tas ranselnya. Sebagai perantau yang bekerja di kota menjadi seorang buruh, hari ini adalah waktu dimana pembuktiaannya sebagai kepala rumah tangga harus dilaksanakan. Pulang kampung, demi anak istri tercinta. | Cerpen Misteri Kisah Misteri Sosok Kondektur Bus Malam
"Pulang, Pak?" Dani yang baru masuk berbaring di atas dipan kayu.
"Iya, Dan. Udah tanggalnya ini, takut istri kehabisan bekal uang." Pak Jajang menyimpan tas di sudut kamar lalu duduk bersandar pada tembok di belakangnya.
"Kenapa ga suruh istri bikin rekening aja, Pak. Biar mudah. Jadi Bapak tinggal transfer tiap bulan." Dani memberi saran.
"Wah, kasian istri Saya, Dan. Udah repot ngurus tiga anak, masa harus pergi-pergi lagi buat ambil uang kiriman. Ga apalah, sekalian Saya nengok mereka. Ya, walaupun cuma sebulan sekali." Pak Jajang menerawangkan pandangan ke atas menatap langit-langit, seolah bayangan anak dan istri mereka ada disana.
"Oh, begitu ya, Pak. Maklumlah, saya belum punya istri," Dani menyeringai, "jadi mau jam berapa berangkatnya?"
"Nanti, habis isya seperti biasa. Biar enak di jalannya, bisa tidur sepanjang jalan."
Dani mengangguk, lalu mulai memainkan ponsel di tangannya. Sementara Pak Jajang masih terlarut dalam lamunannya, mengingat bagaimana terakhir kali Ia meninggalkan anak istri bulan lalu, demi menyambung hidup sekeluarga. Bukan tak tega, melihat kesedihan yang selalu terpancar dari wajah istrinya. Apalagi menatap pandangan mata anak-anaknya yang masih menyimpan sejuta rindu. Tentu saja, hanya dua hari dalam sebulan. Tidak akan cukup untuk meluapkan rindu yang terpendam. Inginnya setiap hari berkumpul bersama keluarga tercinta, tapi mungkin takdir belum mengijinkan.
"Pak, bangun Pak. Katanya mau pulang, kok tidur?" Dani menepuk lengan Pak Jajang.
"Masya Allah, Saya ketiduran ya?" Pak Jajang terhenyak kaget dari tidur pulasnya.
"Iya, Pak. Maaf, Aku baru pulang nih, makanya baru bangunin Bapak."
"Ga apa, Dan. Tadi sehabis magrib niatnya cuma rebahan sebentar nunggu isya, eh malah kebablasan. Ya, sudah. Makasih sudah dibangunkan, Saya solat isya dulu langsung bersiap berangkat."
Pukul sebelas lebih, Pak Jajang baru keluar dari rumah kontrakan yang dikhususkan untuk para pekerja proyek. Hampir semua pekerja berasal dari desa, sehingga sang mandor sengaja menyewa sebuah rumah untuk tempat tinggal mereka.
Pak Jajang turun dari angkot, beruntung masih ada beberapa yang melintas. Lalu menyusuri terminal, mencari bus yang biasa Ia tumpangi untuk membawa ke daerah asalnya. Suasana cukup lenggang, mungkin karena hampir tengah malam. Biasanya Pak Jajang berangkat sekitar pukul setengah delapan, sehingga pada pukul delapan Ia sudah mendapatkan bus. Tapi malam ini sepertinya kendaraan besar itu tidak ada di antara jajaran bus yang terparkir di pinggiran terminal.
"Pak, bus ke Tasik udah ga ada ya?" Pak Jajang bertanya pada seorang pria, dari tampilannya seperti calo.
"Wah, baru beberapa menit lalu berangkat, Pak." Jawab pria itu, "mau ke Tasik?" Lanjutnya.
"Iya, kebetulan tadi telat berangkat. Bus selanjutnya kapan ya?" Pak Jajang mulai cemas.
"Satu jam lagi biasanya. Tapi coba Bapak cek kepertigaan di bawah sana, moga aja ada rejekinya, bisa jadi masih mangkal." Saran si pria.
"Oh, iya. Saya coba. Terima kasih, Saya pamit. Mari."
Pak Jajang keluar dari terminal, kembali menyusuri trotoar jalanan. Udara dingin terasa menusuk kulit, walau memakai jaket tetap saja masuk disela lubang tangan dan leher. Pak Jajang mengepalkan kedua tangan ke atas menjadi satu, berharap mendapat sedikit kehangatan sambil menghembuskan nafas dari mulut kesela jemarinya.
Sekitar lima menit, hampir merasa putus dan dan berniat berbalik menuju terminal lagi. Matanya dibuat berbinar saat melihat sebuah bus terparkir di bawah pohon beringin besar. Agak janggal, keadaan disana sepi, sangat sepi. Tapi itu tidak menjadi masalah, hanya ada perasaan senang dari Pak Jajang karena menemukan bus yang akan membawanya ke tempat tujuan.
Langkahnya sedikit dipercepat, takut bus itu melaju sebelum dia naik. Dengan tangan melambai-lambai memberi isyarat, saat melihat pria berseragam berdiri di samping pintu bus.
"Berangkat sekarang, Mas?" Pak Jajang bertanya dengan nafas terengah-engah.
Pria itu mengangguk pelan, dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
Tak menunda waktu, Pak Jajang naik ke dalam bus. Pandangannya melayang kesana kemari, memilih tempat yang cocok dan pas. Dibawah cahaya temaram, terlihat beberapa kursi diduduki penumpang. Sebenarnya tidak masalah duduk bersama orang lain, tapi kadang duduk sendiri itu lebih nyaman. Pilihannya jatuh pada sebaris jok yang kosong disebelah kiri, Pak Jajang segera menuju kesana.
Berbenah sebentar, menyimpan tas di atas pangkuan dengan membelitkan talinya pada tangan. Kebiasaan, walau bukan uang puluhan juta tapi jumlahnya sangatlah berharga bagi keluarga di rumah.
Wuuussshhh..., angin berhembus. Tirai jendela melambung ke atas, membuat bergidik tubuh Pak Jajang.
"Perjalanan tengah malam lebih dingin gini, ya?" Gumamnya.
Matanya melirik ke samping, penumpangnya duduk dengan tenang. Diam. Lalu memandang ke arah depan, sang supir dan beberapa penumpang pun tak melakukan kegiatan apapun. Mereka tampak terlalu khusyu pada posisinya. Di belakang, hanya ada dua. Merunduk, tertidur mungkin.
Brruuuggghhh..., terdengar suara pintu bus ditutup. Pak Jajang bernafas lega, akhirnya bus akan berangkat.
Perlahan kendaraan yang Ia tumpangi melaju pelan. Sempat Pak Jajang melihat sekilas ke arah depan, dimana ada jam digital disana. Tepat, menampakan angka nol berjumlah empat. Jika dihitung, perjalanan dari Jakarta ke daerah tempat tinggalnya memakan waktu sekitar lima jam. Tapi biasanya jika bus yang ditumpangi berjalan agak cepat dan rute jalan tidak macet, bisa berkurang sekitar setengah bahkan satu jam. Itu artinya, subuh nanti Pak Jajang bisa sampai.
Menyandarkan tubuh, berniat melewati perjalanan dengan tidur. Walau hanya beberapa jam, melanjutkan istirahatnya tadi. | Cerpen Misteri Kisah Misteri Sosok Kondektur Bus Malam
Hening, sunyi. Hanya ada suara deru mesin.
Tap..., tap..., suara langkah kaki mendekat.
Pak Jajang memalingkan kepala, kondektur berjalan melewatinya menuju ke depan.
"Aneh, kok ga minta ongkos. Apa nanti pas turun? Ya sudahlah, nanti juga pasti nagih." Ucapnya pelan.
Wuuussshhh..., angin kembali berhembus. Lebih lama, dan lebih kencang.
Hidung Pak Jajang menciut, mengendus bau yang kurang enak. Bau anyir. Seperti, bau darah. Atau, daging mentah. Agak lama, sampai Ia harus menutup hidung dan mulut beberapa saat.
Barangkali sampah di luar. Hanya itu pikirnya. Secara Ia duduk di samping jendela.
Terbawa suasa temaram dengan cahaya lampu semakin meredup, hanya dimaklum karena bus yang Ia tumpangi kelas ekonomi. Lama kelamaan Pak Jajang hanyut dalam lelapnya malam.
Puk..., puk....
Sebuah tepukan di bahu kanan.
Pak Jajang terhenyak, lalu mengerjapkan mata.
"Oh, sudah sampai ya, Mas?" Matanya melihat keluar jendela. Tampak perempatan jalan yang biasa Ia lewati menuju rumah.
Pak Jajang berdiri, segera mengaitkan kembali tali tas ransel dibelakang punggung. Berjalan menuju pintu depan. Ternyata para penumpang masih sama seperti tadi, sepertinya baru dirinya yang pertama turun. Orang-orang itu, masih duduk dengan posisi tegak dan kepala merunduk. Bahkan sang sopir pun terlihat fokus menatap ke arah depan sana.
Aneh, baru kali ini naik bus seperti ini. Kembali batinnya berbisik.
Tap..., tap....
Kaki Pak Jajang menuruni anak tangga. Dengan tangan merogoh saku, berniat mengeluarkan ongkos yang sudah disiapkan sejak tadi.
Tap..., melompat menginjak tanah. Lalu berbalik hendak memberikan beberapa lembar uang.
Brruuuggghhh...., pintu tertutup.
"Lho, kok?" Pak Jajang terheran-heran. "Ya sudah, rejeki tak disangka." Pak Jajang menepukan uang dikeningnya beberapa kali. Memasukan kembali ke dalam saku celana, lalu melanjutkan langkahnya menyusuri jalanan tanah menuju rumah.
Beberapa meter di depan sana, terlihat cahaya melayang. Samar-samar semakin jelas, rupanya ada dua orang yang duduk di atas motor. Keberuntungan kembali berpihak, Pak Jajang tak harus berjalan kaki. Lumayan, jarak dari perempatan menuju rumah sekitar dua kilometer.
Langkahnya semakin ringan terasa, karena sebentar lagi akan bertemu keluarga tercinta.
"Mang Jajang, ya?" Salah satu tukang ojeg menatap lekat wajah Pak Jajang.
"Iya, Kus. Ini Saya." Pak Jajang menjawab keheranan Engkus. "Masih ngojek, nih? Bisa anterin, dong?" Pak Jajang menatap bergantian Aceng dan Engkus, tukang ojeg malam yang biasa mangkal.
"Bisa, Pak. Bisa. Tapi ngomong-ngomong, Bapak kesini naik apa?" Engkus masih tampak menyimpan rasa penasaran.
"Naik bus, seperti biasa. Apalagi, masa becak?" Pak Jajang tertawa.
"Bus?" Engkus dan Aceng berkata bersamaan, dengan mata saling melirik. Keheranan.
"Iya. Ya sudah, ayo cepet. Saya udah ga sabar mau sampai rumah." Pak Jajang duduk begitu saja di atas jok motor Engkus.
"Baik, Pak." Engkus mengangguk, lalu mulai menstater motornya.
Jalanan sangat sepi, karena desa yang dilalui berada di pelosok. Bahkan dari satu rumah ke rumah lain pun berjarak beberapa meter.
"Tumben masih ngojek, Kus. Biasanya ga sampai subuh kan?" Pak Jajang bertanya mengisi kesunyian.
"Masih Pak. Sebentar lagi sebenernya mau pulang, biasanya sampai jam tiga." Jawab Engkus.
"Jam tiga? Lho, emang sekarang jam berapa?" Gantian Pak Jajang yang merasa kaget.
"Masih jam dua, Pak."
"Hah, jam dua?"
Pak Jajang memendam rasa heran sendiri, hanya dua jam jarak yang ditempuh dari Jakarta menuju daerah tempatnya tinggal. Mana mungkin? Paling sebentar butuh waktu sekitar empat jam, pernah hanya tiga jam setengah. Dengan kondisi bus yang melaju super cepat. Tapi tadi, bus yang Ia tumpangi terasa berjalan santai.
Setelah sampai di depan rumah, Pak Jajang turun lalu menyerahkan selembar uang sepuluh ribu. Engkus mengangguk lalu permisi pergi.
Tok..., tok..., tok....
"Sebentar...," terdengar suara parau seorang perempuan dari dalam rumah.
Setelah tirai disingkap dari dalam, memastikan siapa yang datang. Pintu terbuka.
"Bapak," Bu Asih, istri Pak Jajang terlihat sumringah, "masuk Pak, pasti cape habis perjalanan jauh."
"Assalamualaikum," Pak Jajang pun masuk ke dalam.
"Waalaikumsalam." Bu Asih meraih tangan kanan suaminya lalu mencium beberapa detik seperti biasa.
"Jam berapa, Bu?" Pak Jajang duduk di kursi.
"Jam dua lebih seperempat, Pak." Bu Asih berjalan menuju dapur, hendak menyiapkan segelas minuman.
Pak Jajang menghela nafas berat, lalu menyandarkan punggung. Menyeimbangkan detak jantung yang sejak beberapa menit lalu berpacu lebih cepat. Tiba-tiba sebuah pertanyaan menggelitik nalurinya.
"Darimana kondektur itu tahu tempat Saya turun? Bukannya, selama perjalanan tadi Saya tidur, belum sempat kasih tau, ya?" | Cerpen Misteri Kisah Misteri Sosok Kondektur Bus Malam
Saya? Saya juga tidak tahu apa-apa, Pak. Maaf. Cuma nulis saja.