Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 7

Tujuan Karan kerja di kantor Pak Graha Ayahnya, semata-mata untuk formalitas saja. Bahwa dia punya penghasilan tetap. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 7

Tidak menganggur lagi seperti biasa. Kalau bukan karena saran dari Cakra, dia tidak mau melakukannya. Sudah malas untuk berkerja kantoran lagi semenejak istrinya meninggal.

Merasa hidunya tidak berarti lagi. Kalaupun dia menerima tawaran ayahnya, itu adalah salah satu cara untuk mendekati seorang perempuan yang akan dinikahinya nanti. Dia juga malu bila sudah punya pasangan nanti, tidak punya pekerjaan apa-apa. Tidak punya penghasilan.

Toh pada akhirnya nanti bila sudah berhasil menemukan perempuan kaya yang diincarnya, dia akan resign dan hidup enak menikmati harta kekayaan istrinya. Menyenagkan bukan? Mengapa harus demikian? Karena Karan sudah capek dan bosan dengan ruinitas kantor kalau pada akhirnya nanti istri yang disayangi dan dinafkahinya penyakitan dan akhirnya meninggal lagi.

Seperti yang sudah dibicarakan bersama Pak Graha, Karan ingin santai berangkat ngantor. Tidak tergesa-gesa seperti yang lain. Shubuh-shubuh sudah gedebag-gedebug mempersiapkan perlengkapan apa saja yang akan dibawa beraktivitas. Berangkat jam setengah Sembilan dari rumah, persis seperti manager atau bos besar saja. Pak Graha sebernarnya malu, baru pertama masuk, tapi putranya sudah tidak disiplin. Tidak enak dengan karyawan yang lain. Mentang-mentang anak bos, datang ke kantor sesuka hatinya.

Namun Pak Graha memaklumi semua itu. Dia tahu apa yang sedang dirasakan putranya. Setidaknya lebih baik datang terlambat daripada jadi pengangguran seperti dulu. Namun sepertinya kesabaran dan keimanan Pak Graha diuji dengan sikap putranya selama di kantor. Masih sama seperti biasa. Wajahnya kecut dan sangat tidak bersahabat. Berkali-kali Pak Graha memperingatkan, untuk bersikap baik dan ramah kepada seluruh karyawan kantor, namun dianggapnya angin lalu.

Kedatangan Karan ke kantor menjadi pusat perhatian seluruh karyawan. Terutama para wanita dan ibu-ibu. Walaupun kecut dan kurang bersahabat, namun wajah Karan tetap menarik perhatian. Wajah khas Timur Tengah. Bercambang dan berkumis tipis. Membuat daya Tarik sendiri. Namun lain halnya dengan karyawan laki-laki. Merasa kurang nyaman dan tergangggu karena attitudenya kurang baik. Tidak ada wibawanya samasekali. Namun mereka bisa apa. Karan adalah anak bos, tidak berani mengungkapkan secara langsung. Hanya bisa berkicau di dalam hati.

●●●

Ruangan kerja Karan lumayan besar. Dilengkapi lemari es, rak buku yang besar dan berukir. Di pojok ruangan ada pot bunga berukuran besar untuk pemanis ruangan. Di meja kerjanya sudah disediakan laptop berukuran 10 inchi untuk membantunya beraktivitas. Beberapa menit yang lalu orang kepercayaan Pak Graha sudah menjelaskan dan mentraining Karan, apa yang harus dilakukannya. Namanya Pak Suwardi. Selama pembekalan, Karan hanya mendengarkan.

Ketika duduk di kursi kerjanya, Karan jadi teringat ke masa lalu ketika bekerja di kantor lama sebagai wakil direktur. Almarhum Pak Ilham direkturnya. Karan berusaha untuk menepiskannya. Semua sudah berlalu, tidak ingin terjebak lagi di dalamnya. Sekarang sudah berbeda. Dia hidup di masa kini, tidak selayaknya mengingat masa lalu. Sedang asyik duduk bersandar di kursi kerjanya, suara pintu ada yang mengetuk dari luar. Jelas terdengar.

“Masuk.” Ucap Karan tanpa menoleh ke arah pintu. Kedua matanya serius ke depan laptop.

“Assalamu’alaikum, selamat pagi Pak Karan.” Suara seorang perempuan terdengar di telinga. Seketika Karan menghentikan aktivitas. Perhatiannya tersita kepada perempuan yang baru saja datang ke ruangannya.

Suara itu mengingatkannya pada seseorang yang tidak asing lagi. Dan ketika matanya menatap siapa yang datang, Karan cukup terperanjat. Seorang perempuan cantik dan anggun. Lengkap dengan hijab warna hijau cerah membalut wajahnya yang oval. Kulitnya putih bersih. Kedua matanya berbinar cerah, seperti tidak beban masalah di dalamnya.

Namun yang membuatnya lumayan kaget, suara perempuan itu mirip sekali dengan mendiang Vaela. Sangat mirip, tidak ada bedanya. Hanya saja wajahnya berbeda. Lebih cantik.

“Pak… Pak…” Perempuan itu menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah karena Karan. Bengong.

“Emm… iya, maaf. Silakan duduk.”

“Perkenalkan saya Khlawa Ainiyya Fathiyyaturrahma. Bapak bisa paggil saya Khalwa. Saya ditugaskan oleh Pak Graha untuk menyerahkan berkas-berkas ini. Mohon diterima ya Pak.”Perempuan itu menaruh berkas-berkas di meja kerja Karan.

Ketika perempuan bernama Khalwa itu berbicara, Karan terpaku dengan suaranya. Juga wajahnya. Tidak mungkin, bagaimana bisa suara itu begitu mirip dengan almarhumah istrinya. Hampir tidak bisa dibedakan. Vaela seperti hidup kembali. Mendengar Khalwa berbicara, dia seperti sedang berhadapan dengan istrinya.

“Pak… Pak Karan…”

“Oh iya, maaf. Kamu bisa panggil saya Fatir. Saya tidak suka dengan nama itu.”

“Nama Bapak Karan Syah Alfatiry kan?”

“Iya, itu memang nama saya. Tapi saya tidak nyaman dengan nama itu. Saya rasa tidak perlu menjelaskannya kenapa.” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 7

“Baiklah kalau begitu Pak Fatir. Kalau begitu saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.” Khalwa bermaksud balik kanan dan keluar ruangan, namun ditahan oleh Karan.

“Eh, tunggu-tunggu.”

“Iya Pak, ada apa?”

“Besok-besok kalau mau ke ruangan saya, kamu telepon dulu. Saya tidak mau diganggu. Ngerti?” Nada bicara Karan mulai terdengan sinis lagi.

“Oh iya, baik Pak. Kalau begitu saya minta maaf. Permisi.” Khalwa keluar ruangan dengan wajah menunduk.

“Hey… kenapa harus menunduk seperti itu. Saya ini bukan monster tahu?”

“Hanya menjaga etika saja Pak. Saya kan cuma karyawan biasa, Bapak atasan saya. Permisi Pak, assalamu’alaikum.”

Khalwa segera bergegas, dia tidak mau berlama-lama berada di ruangan itu. Mungkin benar apa yang dikatakan semua orang, karyawan baru yang bernama Karan, orangnya memang menyebalkan. Sinis dan tidak ada keramahan sama sekali.

“Ya Allah… ganteng banget. Astaghfirllahaladzim.” Setelah beberapa langkah keluar dari ruangan Karan, Khalwa berbicara sendiri sambil memejamkan matanya. “Tapi sayang… dia jutek dan menyebalkan."

“Khalwa… hey. Kamu kenapa?” Tita, rekan kerja satu divisi menegurnya di koridor ketika melihat sahabatnya itu senyum-senyum sendiri.

“Manager yang baru itu wajahnya Timur Tengah banget ya Ta.”

“Oh, Pak Karan. Anaknya Pak Graha.”

“Iya, dia. Laki banget gitu. Emang sih rambutnya agak gondrong. Tapi dia itu macho. Ada cambangnya, kumis tipis.”

“Tapi dia itu duda, kamu mau sama dia. Kalu aku sih ogah. Masih banyak perjaka, ngapain milih duda.”

“Ihhh… kenapa sih?”

“Udah sono, nanti dicari Pak Graha lho.”

“Oke.”

Tanpa Khalwa dan Tita ketahui, obrolan mereka didengar oleh Karan yang mendengarkan dari balik pintu ruangannya yang sedikit terbuka. Hmmm…

“Sepertinya Khalwa suka padaku, ketahuan dari gaya bicaranya. Harus aku selidiki. Apakah dia itu orang kaya atau bukan. Kalau dia orang berada, pasti aku nikahi. Nggak cinta pun nggak apa-apa. Tapi kalau tidak kaya, untuk apa?” Karan berbicara sendiri di balik pintu. Setelah itu masuk kembali ke dalam ruangannya.

●●●

Pak Graha sedang mempelajari berkas-berkas yang ada di atas mejanya. Satu persatu dibaca bahkan ada beberapa yang ditandatangani. Segelas air putih sudah habis dari tadi. Dan pada saat itulah pintu ruangannya ada yang mengetuk kemudian dibuka dari luar.

“Hey… Karan, ayo masuk.” Setelah tahu putranya yang datang, Pak Graha mempersilakannya masuk.

“Fatir Yah, bukan Karan. Aku kan sudah bilang berulangkali.” Karan perlahan duduk di kursi hadap, menatap sang ayah yang sedang serius berkutat dengan berkas-berkas yang lumayan menumpuk.

“Ayah lupa Nak. Habis kebiasaan dengan nama itu. Ada perlu apa? Gimana kesan-kesannya hari pertama kerja di kantor Ayah? Senang nggak?”

“Yah… Khalwa itu siapa? Sekretaris Ayah ya.” Bukannya menjawab pertanyaan, Karan malah balik bertanya. Tentu saja Pak Graha kaget.

“Iya, dia sekretaris Ayah. Orangnya humble, rajin, baik, berhijab dan cantik pastinya. Kenapa, kamu suka sama dia?”

“Koq dia mau jadi kerja di sini jadi sekretaris Ayah. Pasti dia dari keluarga biasa ya. Solanya kalau dia orang kaya, nggak mungkin mau kerja seperti ini.”

“Husss… jangan salah kamu. Justru si Khalwa itu berasal dari orang kaya. Ayahnya saja seorang pemilik perusahaan salah satu property di Jakarta. Konglomerat lah. Ayah lumayan kenal sama beliau, orangnya baik koq. Sahamnya jangan diragukan lagi, ada di mana-mana. Khalwa mau kerja di sini karena ingin punya penghasilan sendiri, tidak mau tergantung kepada Ayahnya yang kaya raya. Hebat kan?”

Karan mendengarkan penjelasan Ayahnya tentang siapa Khalwa. Dan sepertinya gayung pun bersambut. Apa yang ada dalam pikirannya sejalan dengan kenyataan. Ternyata perempuan itu bukan dari kalangan biasa-biasa saja.

“Khalwa anak tunggal, Yah?”

“Sebenarnya dia punya kakak laki-laki, tapi sudah meninggal setahun yang lalu. Makanya dia harapan satu-satunya. Kenapa sih kamu tanya-tanya dia, kamu naksir?”

“Ibu kan sama Ayah mau lihat aku nikah lagi. Ya kalau calonnya nggak ada mana mungkin bisa? Nah tadi aku ketemu Khalwa. Ya… siapa tahu gitu.”

Setenang mungkin Karan bicara di depan Ayahnya. Jangan sampai Pak Graha curiga bahwa sebenarnya dia punya rencana khusus.

"Tadinya, Ayah rencana mau menjodohkan kamu sama dia. Tapi kata Ibu, kamu nggak mau dijodohin. Ya udah, nggak jadi. Ayah nggak berani. Soalnya Khalwa itu anak baik. Ibadahnya rajin dan yang pasti masih single."

"Ouhhh..."

"Kalau memang kamu suka sama dia, ya ajak ngobrol dia. Makan, atau apa gitu."

"Aku nggak mau pacaran Yah. Mau langsung ta'aruf." Cetus Karan mengagetkan Pak Graha.

"Apa?! Langsung ta'aruf?" | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 7

- Bersambung -