Pengunjung restoran nampak asyik menikmati makanan yang mereka pesan. Ada yang datang bersama keluarga, sahabat. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 6
Bahkan yang datang dengan pasangan juga banyak. Termasuk Ditya dan Shahira yang siang itu sedang makan siang. Sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja walaupun ada perbedaan usia. Shahira lebih tua lima tahun dari Ditya. Namun hal itu tidak menjadikan kendala di antara mereka. Karena keduanya sama-sama komitmen dan saling mencintai apa adanya.
Walaupun pada awalnya hubungan itu sempat tidak ditestui oleh kedua orangtua Shahira, namun mereka bisa meyakinkan kalau hubungan itu serius dijalani.
Shahira yang hingga saat ini masih bekerja di rumah sakit sebagai dokter umum, berusaha untuk mengatur waktu agar bisa bertemu sesering mungkin dengan Ditya. Karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit daripada di rumah atau bersama Ditya. Terlebih kalau ada pasien rawat inap atau masuk IGD, tentu saja Shahira lebih mengutamakan tugasnya daripada yang lain.
Namun alhamdulillah, Ditya sangat memahami profesi kekasihnya sebagai dokter. Karena itu sudah menjadi konsekuensi. Berbeda bila berhubungan dengan orang kantoran, anak sekolah atau sesama mahasiswa, mungkin akan lebih sering bertemu dan ngajak jalan. Maka dari itu, mumpung saat ini Shahira sedang cuti, dia menghabiskan waktu bersama Shahira. Salah satunya makan siang di restoran. Hal yang jarang sekali mereka lakukan.
“Aku seneng banget deh kita bisa jalan seperti ini.” Cetus Shahira sambil mengunyah makanannya.
“Alhamdulillah, aku lebih dari seneng. Soalnya kamu sibuk terus di rumah sakit. Sampai-sampai mau ketemuan aja susah.”
“Oh ya Dit, besok malam Mami sama Papiku ngundang kamu ke rumah untuk malam. Papa sama Mama kamu ajak juga ya. Katanya biar lebih dekat.”
“Insya Allah, aku usahakan datang. Semoga Mama Papaku bisa. Sekaligus…”
“Sekaligus apa?”
“Kamu penasaran ya, Ra.”
“Hmmm… aku udah tahu nih kayanya. Mau ngelamar aku kan?”
“Ahayyy. Ketahuan deh.”
“Emang kamu beneran serius sama aku Dit? Aku kan janda, pernah punya anak. Usiaku lima tahun lebih tua dari kamu. Sudah dipikirkan baik-baik belum untuk ke depannya? Aku takut… nanti kamu kecewa atau menyesal. Karena aku tidak ingin gagal lagi.” Kekhawatiran mulai menghampiri Shahira. Bayang-bayang masa lalu tentang pernikahannya yang gagal, kembali menghantui.
“Shahira, cinta di hati ini tulus. Sejak pertama melihat kamu, aku sudah suka dan tertaik. Tidak peduli masa lalu kamu seperti apa. Untuk apa harus menoleh ke belakang terus. Yang penting aku ingin memabangun masa depan dengan kamu nanti. Aku serius. Tidak masalah janda atau usia kamu lebih tua dari aku. Yang penting aku tidak merebut istri atau pacar orang lain. Bagiku, apalah arti sebuah keperawanan. Toh di jaman sekarang ini, banyak perempuan yang masih gadis dan belum menikah tapi sudah tidak virgin lagi. Dan itu fakta. Daripada aku kecewa karena hal itu, tidak ada salahnya aku memilih janda. Di Al-Qur'an pun tidak ada larangannya kan?
Semua ini karena takdir. Allah yang sudah mempersatukan kita. Dan aku ingin menjadi laki-laki tebaik untuk kamu. Allah yang menjadi saksi. Aku tidak akan menyakitimu, seperti yang sudah dilakuan almarhum suamimu dulu.”
“Aku hanya takut saja, di tengah jalan… kamu berubah.”
“Maka dari itu, doakan terus aku ya. Semoga bisa menjadi imam yang baik untuk kamu nanti. Sama seperti Kang Karan ketika menikah dengan Kak Vaela dulu. Dia sangat sayang. Berkorban apa saja untuk kakakku. Hatinya sangat baik dan mencintai sepenuh hati, jiwa dan raga. Setia dengan satu hati. Aku ingin seperti itu mencintai kamu. Berjuang sampai kita bahagia.”
“Kang Karan… bukannya sekarang dia sudah berubah jadi jahat ya.”
Mendengar kata jahat, Ditya langsung menghentikan makannya. Seleranya mendadak hilang ketika mendengar nama manatan kakak iparnya itu disebut-sebut lagi.
“Entahlah Ra, aku juga bingung dengan dia. Aku seperti tidak mengenalnya lagi. Perubahannya sangat drastis. Dulu itu dia berhati malaikat, tapi sekarang… tidak ubahnya seperti setan. Bahkan lebih dari itu.”
“Jadi beneran kalau uang yang dulu pernah dia keluarkan untuk biaya pengobatan Vaela dianggap sebagai hutang karena sekarang dia bangkrut. Begitu?”
“Bukan hanya itu, kebaikan-kebaikan berupa materi yang pernah dia berikan dulu kepada kami, semua dianggap hutang. Termasuk biaya kuliahku beberapa semester yang saat itu memamg dia yang membayarnya. Aku benar-benar tidak menyangka. Kasihan Mama sama Papa. Setiap hari harus berpikir bagaimana caranya bayar hutang.”
“Gila, koq bisa seperti itu ya. Padahal dulu itu Kang Karan baik banget. Aku saja sampai ngiri, kapan ya aku punya suami seperti dia. Yang mau mengurus istrinya dengan telaten dan sabar. Tidak pernah mengeluh.”
“Aku sedih sekaligus kecewa sama Kang Karan. Sempat bilang sama Papa, apa mungkin aku berhenti kuliah agar bisa membayar hutang-hutangnya.”
“Husss, jangan ah. Sayang tahu. Tinggal satu semester lagi. Aku nggak setuju.”
“Tapi aku kasihan sama Mama Papa. Mereka terus memikirkan bagaimana caranya membayar hutang.”
“Memang tinggal berapa sih hutangnya?”
“Sekitar Sembilan ratus juta lagi?”
“What?”
Shahira hampir tersedak mendengar nominal angka yang disebutkan Ditya.
Tidak menyangka bisa sebanyak itu. Wajar saja Mama dan Papanya Ditya pusing memikirkannya. Karena itu bukan jumlah uang yang sedikit. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 6
“Sebanyak itu? Bagaimana cara dia menjumlahkannya. Jangan-jangan…”
“Itu benar Shahira, aku melihat semua rinciannya. Dari biaya pengobatan Kak Vaela selama sakit, sampai biaya kuliah aku.”
“Nggak nyangka banget. Astaghfirllahaladzim.”
“Maka dari itu aku minta maaf sama kamu. Mungkin, saat kita menikah nanti aku tidak bisa memberikan pesta yang mewah dan meriah, seperti yang kamu inginkan. Tidak bisa menyewa gedung atau ballroom hotel yang besar dan megah. Aku harap kamu ngerti ya.”
“Aku tidak memikirkan kemewahan Dit, aku hanya butuh keseriusan dan kesungguhan dari kamu saja. Segala tentang kemewahan kalau pada akhirnya kamu menyakiti aku, untuk apa? Semua akan sia-sia.”
“Terima kasih sayang, aku semakin cinta sama kamu. I love you.”
“I Love you too.”
Jawaban itu bukan keluar dari mulut Shahira, namun dari suara seorang laki-laki. Datang tiba-tiba saja di antara mereka berdua dengan wajah antagonis. Kedua matanya dipicingkan. Dahinya berkerut-keerut. Baik Shahira ataupun Ditya, kaget.
“Kang Karan?” Ya. Itu memang Karan, sedang berdiri tegak di samping meja makan.
“Kang Karan?”
“Ouwh… jadi tidak lama lagi kalian akan segera menikah ternyata?”
“Iya Kang. mohon doanya ya.” Cetus Ditya dengan sikap biasa saja.
“Tentu saja. Tapi kamu harus ingat Ditya. Kamu tidak akan pernah bisa menikah kalau hutang-hutang keluarga kamu belum lunas.” Ucapan Karan mengagetkan Ditya dan Shahira.
“Apa? tidak bisa begitu dong Kang. Jangan campuradukkan masalah pernikahan aku dengan Shahira. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan hutang.”
"Ya jelas ada dong."
“Kang… awalnya aku tidak percaya. Tapi sekarang aku melihatnya sendiri. Kenapa kamu jadi berubah seperti ini Kang? Aku benar-benar nggak nyangka.” Shahira ikut-ikutan bicara, dia tidak tahan dengan gaya dan nada bicara Karan yang begitu menyebalkan.
“Itu bukan urusan kamu kamu Shahira. Jangan campuri urusanku.”
“Aku yakin, arwah Vaela di alam sana pasti menangis melihat kelakuan kamu seperti ini Kang.” Cetus Shahira kemudian.
“Jangan bawa-bawa nama perempuan penyakitan itu lagi di hadapanku. Aku muak dan benci mendengarnya. Dia sudah mati.”
"Astagfirullahaladzim. Nyebut Kang. Walaupun penyakitan, dia itu istri Kang Karan. Pernah dikejar untuk mendapatkan cintanya. Dialah perempuan yang sudah membuat Kang Karan jatuh cinta. Jangan lupakan itu."
"Kamu cuma bisa ngomong saja Shahira. Tentang hati aku, kamu tidak pernah tahu. Jadi aku minta, kamu jangan banyak bicara. Bagaimanapun Vaela itu adalah kesialan dalam hidupku. Paham?!" Kedua mata Karan mendelik tajam. Shahira yang melihat, kaget dan ketakutan. Akhirnya dia pun diam. Ditya berusaha untuk tetap tenang. Karena kalau dihadapi dengan emosi lagi, akan semakin panas."
“Akang sebenarnya ada perlu apa? Mengapa ada di tempat?” Tanya Ditya mencoba untuk tenang mungkin menghadapi Karan.
“Jangan kepo, kamu tidak perlu tahu Ditya. Yang penting kamu harus ingat itu. Lunasi semua hutang-hutang keluarga kamu, baru bisa menikah dengan Shahira. Kalau kamu tidak bisa melunasinya, aku yang akan menikahi Shahira. Hahaha…”
Tertawa Karan sangat puas dan keras. Selain mengagetkan beberapa pengunjung restoran, tentu saja mengagetkan Shahira dan Ditya. Tidak menyangka, Karan akan berkata seperti itu. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Kang Karan! Apa-apaan ini? Jangan kurang ajar ya.” Shahira langsung bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arah Karan.
“Akang benar-benar keterlaluan.”
“Ya terserah kalian sih. Aku hanya mengingatkan saja. Apalagi dulu itu Vaela pernah menjodohkan aku dengan Shahira. Wajar kan kalau sekarang aku tagih?”
“Kang Karan!”
“Aku tahu apa yang ada dalam otak kamu Ditya. Shahira itu berasal dari keluarga kaya raya. Papinya seorang pengusaha, Maminya seorang direktur perusahaan salah satu produk kecantikan. Dan dia sendiri seorang dokter umum di rumah sakit. Usianya lebih tua lima tahun dari kamu. Janda pula. Apa yakin masih mau menerima dia apa adanya? Nonsense. Itu dusta. Pasti kamu cuma mau numpang hidup aja kan sama dia? Numpang kaya. Sudah kebaca!”
Ucapan Karan benar-benar keterlaluan, sudah di luar batas. Mempermalukan Ditya sedemikian rupa. Tentu saja Ditya tidak terima.
“Astaghfirlahaladzim, tarik kembali kata-kata itu Kang. tentu saja itu tidak benar.”
“Kita lihat saja nanti.”
"Sebaiknya Akang pergi dari tempat ini. Jangan ganggu kami.” Lama-lama, Shahira tidak tahan dengan sikap Karan yang sudah berlebihan.
“Aku ragu, apakah Rayiditya Satria bisa menikahi kamu Shahira. Secara, hutangnya masih banyak sama aku. Bagaimana mungkin dia bisa membayarnya dalam waktu cepat. Tapi kamu tenang saja, kalau Ditya dan keluarganya tidak bisa melunasi semua hutangnya, aku siap jadi pengganti Ditya. Ya anggap saja… menuruti permintaan Vaela yang dulu sempat tidak kulakukan. Bagaimana?”
Karan begitu terang-terangan. Sikapnya sangat menyebalkan. Membuat Shahira mengangkat tangannya dan hampir menampar Karan.
“Apa? Mau tampar aku? ayo tampar! Tampar! Biar kamu puas Shahira. Tapi ingat, suatu hari nanti kamu akan menyesal dan akan bertekutk lutut di kakiku. Ingat itu.” Usai mengatakan itu, Karna langsung pergi meninggalkan Shahira dan Ditya dengan wajah sinis dan antagonis.
“Astaghfrillahaladzim… Ya Allah… cobaan apalagi ini.”
“Ditya, aku nggak mau nikah sama dia.
Aku nggak mau.” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 6
- Bersambung -