“Aku tidak butuh pacar, Yah. Tapi calon istri. Yang bisa menemani dan mengurus aku.”
“Baiklah kalau begitu, bagus. Ayah salut. Berarti mulai sekarang, coba kamu dekati Khalwa perlahan-lahan. Dekati dengan cara yang baik dan terhormat.” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 8
“Ayah nggak usah ngajarin, aku lebih pintar dari yang ayah kira.”
Sifat sombong dan tinggi hati itu tetap ada, walaupun Karan sedang bicara dengan ayahnya. Mendapat perkataan seperti itu, Pak Graha hanya bisa diam. Dia tahu sifat putranya saat ini sedang naik. Tidak baik dihadapi dengan sikap yang sama pula. Salah-salah, akhirnya malah bertengkar.
●●●
Rencana Karan untuk pulang cepat dari kantor, sepertinya harus dia lupakan. Karena ada satu hal yang dituju. Siapa lagi kalau bukan Khalwa. Perempuan berhijab yang cantik dan anggun itu sebenarnya tidak terlalu memikat hatinya, apalagi cinta. Tidak ada sama sekali. Karena satu misi yang telah dia susun rapi atas saran dari Cakra juga, mau tidak mau dia harus mendekatinya.
Sampai kini, rasa cinta kepada perempuan sudah mati. Seiring dengan kematian Vaela saat itu. Semua rasa sayang sudah terlanjur tercurah kepada mendiang istrinya dan tidak bisa dipindahkan kepada perempuan lain. Rencana menikah lagi, bukan karena dia mencintai perempuan yang diincarnya. Namun lebih kepada karena ingin numpang hidup saja. Dia sudah capek dengan masa lalu. Merasa tertekan dan diintimidasi oleh perempuan yang bernama Vaela Vaniasari.
“Hai Khalwa, baru mau pulang?” Tanya Karan keluar dari ruangannya.
“Iya Pak, ini sedang siap-siap.”
“Nggak dijemput? Sama siapa gitu. Sopir atau pacar mungkin?”
“Saya naik taksi saja Pak. Lumayan berbagi rezeki kepada mereka yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Lagipula, saya belum punya pacar.” Khalwa menjawab cukup lancar, tidak ada hambatan sama sekali sambil merapikan meja kerjanya.
“Bagus juga ya prinsip hidup kamu, jarang sekali perempuan seperti itu.”
“Biasa saja Pak. Mari Pak.” Khalwa keluar dari meja kerjanya kemudian berlalu meninggalkan Karan.
Tadinya Karan mau memanggilnya, namun niat itu diurungkan. Baginya, itu adalah cara lama. Kuno, sudah tidak jaman lagi. Dia harus mencari cara agar semua terlihat alami dan tidak dicurigai oleh Khalwa bahkan siapapun kalau dia sedang mengincar perempuan itu untuk dijadikan sesuatu yang berharga dan menguntungkan tentunya di masa depan.
Akhirnya Karan pun mengikuti langkah Khalwa di koridor sampai menuju ke lift. Melihat itu, Pak Graha tersenyum kecil dari depan meja kerjanya Khalwa. Beliau lega, akhirnya anak itu mau menikah lagi setelah ngotot tidak ingin melakukannya dalam waktu dekat. Trauma ditinggal pergi selamanya oleh Vaela masih membekas sampai sekarang. Tapi insya allah, anak itu sudah move on sepertinya.
“Ya Allah… berikanlah anakku keberkahan dan keselamatan. Aamiin.” Rintih Pak Graha pelan.
●●●
Dari tadi, Karan memperhatikan Khalwa sedang menunggu taksi yang tak kunjung dapat di lobi kantor. Sedangkan antiran di belakangnya semakin mengular. Maklum, di jam pulang kantor seperti ini, untuk mendapatkan taksi memang cukup susah. Karena semua orang sedang membutuhkan, belum kalau jalanan sedang macet. Alhasil, volume taksi yang datang ke setiap lobi gedung perkantoran jadi berkurang. Tidak seramai yang ada di jalan raya yang mungkin saat ini sedang terperangkap dalam kemacetan.
Karan melihat, Khalwa ada di antrian paling depan. Menunggu sampai taksi yang berikutnya datang. Kalau dilihat-lihat perempuan itu memang cantik, Karan mengakui itu. Hijabnya tetap terbalut rapi walaupun sudah sore seperti ini. Tapi entahlah, perasaan tertarik tidak ada di hatinya. Semua sudah terserap habis kepada Vaela. Tak bersisa sama sekali. Seharusnya Karan merasakan getaran-getaran aneh ketika melihat Khalwa. Tapi ya sudahlah. Toh tujuannya mendekati, bukan karena cinta.
“Mbak… antri dong, koq nyerobot sih. Nggak bisa gitulah.”
Ketika Karan sedang asyik merenung, tiba-tiba saja terdengar keributan antara Khalwa dan seorang perempuan. Sepertinya ada masalah. Dia segera menghampiri.
“Saya anak pejabat, kamu jangan macam-macam dengan saya.” Suara perempuan itu sangat angkuh. Kedua matanya malah melotot tajam. Namun sepertinya Khalwa tidak terima.
“Eh Mbak, apa hubungannya anak pejabat sama naik taksi. Budayakan antri. Mbak berpendidikan atau tidak sih. Tahu aturan nggak?” Khalwa tertantang untuk menghadapi perempuan berwajah sangar itu. Lagian nih ya, saya nggak peduli tuh Mbak anak pejabat atau bukan. Nggak ngaruh. Antari ya antri, jangan nyerobot. Tahu etika, tatakrama dan sopan satntun. Songong banget jadi orang.” Khalwa semakin emosi, tidak terima dengan sikap perempuan jangkung dan berambut pendek itu.
“Elo lama-lama ngeselin juga, saya laporin juga kamu.”
“Sono laporin, saya tidak takut! Dasar songong.”
Perempuan jangkung dan berambut pendek itu tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Khalwa. Kedua matanya mendelik tajam, berapi-api. Beberapa saat setelah itu, tangan kanannya mengepal kemudian didaratkan ke wajah Khalwa. Belum sempat menyentuh, kepalan tangan itu ada yang mencekal dengan kencang. Kuat sekali.
Merasa ada yang mencekal tangannya, perempuan jangkung itu semakin geram. Karan. Siapa lagi.
“Hehhh… anda jangan lancang ya!
Anak pejabat, tapi kelakuannya rendah. Otaknya kosong.” Gertak Karan dengan tatapan tak kalah mendelik kepada perempuan itu. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 8
“Lepaskan tangan saya. Lepas!”
“Tidak akan saya lepaskan sebelum anda minta maaf sama dia karena sudah tidak mengikuti budaya antri.” Ancam Karan tidak main-main.
“Cuihhh! Tidak sudi!” Perempuan itu membuang ludah ke bawah.
“Oh… baiklah. Berarti tangan saya akan terus mencengkeram. Bahkan mungkin sampai tangan anda berdarah. Ingat itu.”
Khalwa takut melihat sorot mata Karan. Lebih berapi-api dari perempuan berambut pendek itu. Ibaratnya, bola mata seperti hendak keluar. Beberapa orang yang sedang antri taksi dan yang sedang melintas di tempat itu, terpaku perhatiannya pada kejadian tersebut. Tindakan yang dilakukan Karan, Khalwa nilai cukup berani dan menanggung risiko. Karena yang dihadapi katanya anak pejabat.
“Awww! Sakiiittt!”
“Orang seperti anda tidak bisa dibiarkan semena-mena kepada orang lain. Tidak peduli anda anak pejabat atau bukan. Karena di mata Tuhan, yang membedakan manusia adalah amal kebaikan. Bukan pangkat atau jabatan. Anda harus camkan itu!”
“Lepaaasss!”
“Minta maaf sama dia dan silakan antri di belakang!” Karan membentak tak mau kalah.
Perempuan itu tidak berkutik sama sekali. Tangan kanannya seperti di penjara oleh Karan, tidak bisa dilepas sama sekali.
“Oke. Saya minta maaf. Puas!”
“Tidak begitu caranya. Yang terhormat dong. Saya tahu anda berpendidikan. Percuma sekolah tinggi-tinggi tapi buta akan sopan santun dan etika. Ulang! Yang sopan dan berkualitas.”
“Mbak… saya minta maaf.” Perempuan itu terpksa mengatakannya. Terlihat dari sorot matanya. Khalwa menanggapinya dengan senyuman biasa. Setelah itu, Karan melepaskan cengkeraman tangan perempuan itu.
●●●
Karena insiden tadi, akhirnya Khalwa merasa berhutang budi. Sebagai ucapan terima kasih, dia mengajak Karan makan di sebuah restoran. Awalnya menolak dan tidak mau, namun perempuan berghijab itu memaksa. Sampai akhirnya, Karan pun mau.
Dan sebenarnya, memang itu yang ditunggu oleh Karan. Merasa berhutang budi, mengucapkan terima kasih dan akhirnya lebih dari itu. Padahal kejadian tadi murni, alami. Tidak direkayasa. Mungkin itulah yang namanya rezeki. Upaya Karan untuk mendekati Khalwa, dipermudah. Padahal baru langkah awal. Semoga di langkah-langkah berikutnya, semakin dipermudah lagi. Dan untuk renananya itu, dia harus ekstra sabar. Tidak bisa instat begitu saja, semua butuh proses. Setahap demi setahap pada akhirnya nanti pasti akan tercapai. Untuk saat ini dia harus berkorban terlebih dahulu.
“Pak Karan, Mmm maksud saya Pak Fatir… terima kasih ya tadi sudah menolong saya.”
“Orang seperti itu di negara kita banyak sekali Khalwa. Harus diberi pelajaran, jangan mau diinjak-injak. Jangan lemah atau takut. Kalau kita benar, kenapa tidak?”
“Perempuan itu matanya begitu tajam. Tapi ketika melihat mata Pak Karan, lebih seram lagi. Galak banget. Saya merinding lihatnya.”
“Saya kalau sudah marah, memang seperti itu Khalwa.”
“Saya paling nggak suka ada orang mengatasnamakan anak pejabat, lantas semua yang dia mau dan diinginkan harus diutamakan dan diprioritaskan. Ya nggak bisa begitulah. Semua ada aturannya. Betul begitu Pak?"
“Kalau di kantor, bolehlah panggil Pak. Tapi kalau di luar seperti ini, panggil Fatir saja, biar lebih akrab.”
“Aduh, ngga enak lah. Pak Fatir kan anaknya bos saya. Masa panggil nama.”
“Emang kenapa? Kan saya yang minta. Tidak ada masalah kan?”
“Baiklah… Karan. Eh maksud saya, Fatir. Maaf. Abis enak panggil Karan kayaknya. Lebih gagah.”
Karan hanya tersenyum kecil. Hati dan pikirannya terus bertanya. Suara itu benar-benar duplikatnya Vaela. Hampir tidak bisa dibedakan karena begitu miripnya. Bahkan menganggap, kalau dia sedang berbicara dengan istrinya. Dia juga bingung, mengapa Khalwa suaranya harus mirip dengan almarhumah istrinya. Membuat luka hati dan kesedihan di dalam hatinya bangkit lagi.
Namun dia harus bisa melupakan semua kenangan itu. Tidak seharusnya terus terpuruk. Harus bangkit dan bisa menyembunyikan itu dari Khalwa.
“Oh ya. Perempuan secantik kamu, tidak mungkin kalau belum punya pacar. Kamu pasti bercanda. Jangan-jangan nih, setelah ini ditelepon seseorang nih.” Karan mulai memainkan aksinya.
“Beneran, saya memang masih sendiri.”
“Kenapa? Tidak ada niat untuk berumah tangga gitu?”
“Mencari laki-laki yang pas di hati dan baik itu susah. Kalau cuma sekedar ganteng doang mah, banyak. Tapi yang sesuai kriteria dan yang diklik di hati itu yang susah.”
“Cari laki-laki yang kaya ya.”
“Kamu salah Fatir, saya tidah mencari laki-laki seperti itu. Apalah artinya kekayaan dan kemewahan kalau hati kita bahagia. Karena menurut saya, kebahagiaan itu tidak terletak pada kekayaan atau materi semata. Mungkin bagi sebagian perempuan, harta dan uang itu adalah segalanya yang bisa memuaskan nafsu dunia. Hingga menghalalkan segala cara, termasuk menjual harga diri dan kehormatan. Tapi tidak bagi saya. Karena pada akhirnya, berapapun uang yang kita punya selama di dunia, ketika kita menghadap Yang Maha Kuasa, tidak ada yang bisa dibawa sepeser pun. Karena bekal yang sesunggguhnya bukan itu, tapi amal kebaikan.”
Karan tepuk tangan penuh kebanggaan. Apa yang baru saja didengarnya adalah pernyataan yang hebat dari seorang Khalwa. Jarang ditemui perempuan seperti itu. Tidak memikirkan materi di jaman yang serba modern ini. Ketika banyak perempuan mendewakan uang dari seorang laki-laki, tapi tidak dengan dia. Itu yang membuat Karan kagum dan takjub. Dan karena hal itu, dia semakin berpeluang untuk mendapatkan perhatiannya. Mempermudah jalannya.
“Aku harus gerak cepat, tidak boleh keduluan yang lain.”
Ucap Karan di dalam hatinya. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 8
- Bersambung -