Karan menghentikan motornya di depan rumah mewah di bilangan Jakarta Selatan. Setelah menempuh perjalanan dari rumahnya lima belas menit yang lalu, akhirnya tempat yang dituju sampai juga.
Setelah mematikan mesin motor dan menyimpan helmya, dia melangkah menuju ke pintu yang tidak ditutup rapat oleh penghuninya. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 4
“Halo bro, apa kabar?” Karan menyapa seorang lelaki sebaya dengannya yang sedang asyik main game di depan laptopnya.
“Hai, bro. Sini lo, mau ikutan maen nggak?” Ajaknya tanpa menoleh ke arah Karan.
"Gue nggak suka maen game.”
“Nanggung nih, ntar dulu ya.”
“Yahhh, elo ah. Jalan yuk, keman gitu. Cuci mata, cari hiburan, ya nggak.” Karan menyeruput segelas kopi yang ada di meja. Namun yang diajak bicara masih asyik main game, ia hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Gue balik lagi deh kalo gitu.”
“Tunggu, tunggu. Jangan ngambek gitu dong, kaya cewek aja lo. Iya, gue udahan nih maennya.”
Namanya Cakra Baskara. Perantauan dari kota Purwakarta. Lima tahun dia tinggal di Jakarta dan sudah menikah selama dua tahun dengan istrinya yang baru. Di rumah itu, dia tinggal berdua bersama istrinya. Cakra sendiri seorang pengangguran biasa, sedangkan istrinya seorang wanita karir. Awal pertemuan Karan dengan Cakra, beberapa hari setelah kematian Vaela dan keluarganya. Saat itu, Karan sedang duduk termenung sendirian di sebuah restoran sambil mengacak-acak makanannya, tanpa dia makan. Wajahnya yang terlihat tidak bersemangat, menjadi pusat perhatian Cakra yang saat itu sedang makan siang bersama salah satu rekannya.
Sudah hampir satu jam, Karan memainkan makanan yang dia pesan. Suara piring dan sendok saling beradu tidak karuan. Bentuk makanan yang tadinya rapi, indah dan memikat mata, jadi amburadul dan berantakan. Di saat itulah seoang laki-laki menghampirinya, tak lain adalah Cakra.
“Boleh duduk di sini?” Tanya Cakra mohon izin. Yang ditanya tidak menjawab, hanya menatap dengan tatapan kosong dan hampa.
“Saya tidak kenal anda.” Ucap Karan datar, tanpa ekspresi.
“Makanya kita kenalan, saya mau berteman dengan anda.” Awalnya Karan tidak peduli, dia masih asyik memainkan makanannya di piring.
“Sepertinya anda sedang punya masalah.” Cakra terus bicara.
“Sebuah penelitian baru-baru ini menyatakan. Bahwa, orang yang senang merenung dan menyendiri karena memendam masalah, sembilan puluh persen hilang kesadarannya. Akhirnya gila, karena tidak ada solusi sama sekali. Tidak bercerita kepada siapa-siapa.”
“Anda soq tahu.” Ucap Karan masih dengan nada datar.
“Perkenalkan, saya Cakra Baskara. Anda bisa panggil saya Cakra.”
“Saya Karan.”
●●●
Awalnya Karan tidak terlalu menanggapi kehadiran laki-laki itu. Secara, dia tidak mengenalnya sama sekali. Jangankan untuk mengobrol, menatap saja tak mau. Merasa tidak terlalu penting bahkan sebaiknya memang tidak usah dihiraukan. Namun sepertinya, usaha Cakra untuk mendekati dan mencari tahu, tidak berhenti sampai di situ. Laki-laki itu terus berusaha mendekati, layaknya kepada perempuan yang sedang ditaksirnya. Ke mana pun Karan pergi, selalu diikuti. Aneh dan hal yang tidak biasa. Tujuan dan maksudnya tidak jelas. Sampai akhirnya Karan merasa risih.
“Mau sampai kapan anda mengikuti saya?”
“Sampai anda cerita apa masalah yang sedang anda hadapi. Itu terlihat dari wajah dan sorot mata anda.”
“Kenapa anda begitu tertarik dan penasaran dengan saya?”
“Entahlan, mungkin masalah kita sedikit mirip.”
“Anda bukan paranormal kan?”
“Tentu saja bukan, saya hanya manusia biasa.”
Semenjak saat itu, Karan mulai bercerita apa yang sedang dialami. Tentang pernikahannya yang selama lima tahun tidak dikarunia keturunan, tentang kemandulan Vaela, tumor ganas, penyakit lupus dan kematian. Pada akhirnya diungkapkan kepada Cakra.
Mungkin tidak ada salahnya menceritakan masalah itu kepada orang lain. Agar hati dan jiwanya tidak terus digelayuti perasaan sedih yang berkepanjangan. Walaupun pada awalnya dia sudah berkomitmen, masalah dalam hidupnya bukan untuk diketahui orang lain. Baginya, biar dipendam sendiri. Cakra mengikuti alur cerita yang ada. Setiap kalimat dan kata didengarkan dengan baik dan tekun.
“Pantas saja, akhirnya saya tahu jawabannya.” Ucap Cakra setelah Karan selesai bercerita.
“Saya tidak tahu, apakah ini ujian atau apa. Datang begitu bertubi-tubi. Tiada henti. Uang saya habis, perusahaan bangkrut, jatuh miskin.”
“Saya turut prihatin. Tapi bagi saya, bukan saatnya untuk anda berlaku sabar dan sabar. Semua harus ada timbal baliknya.” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 4
“Maksud Mas Cakra?”
"Saya pernah merasakan apa yang Mas Karan alami. Dulu, Ketika menikah dengan istri saya yang pertama, kami tidak dikarunia keturunan selama lima tahun. Saya pikir, mungkin kami memang belum dipercaya untuk diberikan anak. Namun setelah masing-masing memeriksakan diri ke dokter, ternyata istri saya mandul. Sel telurnya tidak bisa berproduksi dengan baik. Tidak hanya itu, seminggu setelah vonis mandul, istri saya jatuh dari kamar madi. Dan akhrinya stroke.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan melayani saya sebagai suaminya, mengurus diri sendiri saja sudah tidak sanggup. Setiap seminggu sekali saya rutin mengajaknya berobat ke rumah sakit untuk terapi dan pengobatan ahli syaraf. Namun hasilnya, tidak terlalu menggembirakan. Selama setahun istri saya tidak ada perubahan. Saya mencoba untuk tetap bersabar. Sampai suatu hari istri saya jatuh dari kursi roda. Wajahnya membentur kaki tempat tidur. Setelah dibawa ke dokter, retina matanya rusak. Akhirnya dia buta. Tidak bisa melihat apa-apa. Sudah stroke, buta pula.
Mas Karan bisa banyangkan bagaimana hancurnya hati saya saat itu. Namun sabar, harus tetap saya pegang sebagai pedoman. Tapi… ujian belum berhenti sampi di situ. Sebulan setelah divonis buta, istri saya mengalami kecelakaan mobil ketika akan pergi ke rumah bibinya di luar kota bersama orangtuanya. Mobil yang dikendarai isti dan kedua mertua saya ditabrak bis pariwisata. Seketika kedua mertua saya meninggal di tempat. Sementara istri saya kritis.
Seperti halnya yang Mas Karan alami, saat itu hati saya hancur dan sakit. Beberapa jam setelah mertua saya meninggal, istri saya mengembuskan nafasnya yang terakhir di rumah sakit. Lukanya parah, darah banyak yang keluar.
Saat itu, dunia seperti runtuh menimpa saya. Tidak ada celah untuk tersenyum. Akhirnya... kesabaran saya habis, tidak bersisa. Saya merasa, Tuhan sudah tidak berlaku adil kepada saya. Dia jahat. Memberikan ujian di luar batas kemampuan. Uang, perusahaan, tabungan, semuanya habis. Saya pun jatuh miskin.
“Astaghfirllahaladzim. Cerita Mas benar-benar mirip dengan saya. Keadaannya saja yang berbeda.”
“Inilah insting. Ketika melihat Mas Karan di restoran saat itu, saya merasa punya sinyal itu. Dan tebakan saya ternyata tidak salah. Kita senasib.”
●●●
Karan dan Cakra kian hari kian dekat. Mereka cocok satu sama lain. Hubungan pertemanan pun tidak bisa terelakkan. Dari yang sempat ragu, Karan jadi yakin bahwa Cakra adalah orang baik yang bisa dijadikan teman. Tempat untuk menumpahkan semua masalah, sampai meminta solusi. Hingga tanpa disadari, Cakra mulai menebarkan benih-benih sifat jahat pada dirinya. Salah satunya dengan meracuni pikiran baiknya menjadi kotor. Sifa-sifat positif yang ada pada diri Karan, mulai terkontaminasi dengan hasutan dan ide-ide yang tidak sejalan dengan hatinya.
Semakin lama Karan semakin terpengaruh, bahkan semakin jauh. Sikap kasarnya kepada Pak Rasyid dan Ibu Hanny, adalah berkat campur tangan Cakra. Termasuk tentang uang-uang yang dianggap hutang, perangai bengal dan jahat yang dimilikinya saat ini. Ketika imannya sedang lemah dan kosong, datang seseorang meniupkan karakter jahat dalam hatinya, maka jadilah seperti sekarang. Sifat Karan berubah drastis, seratus delapan puluh derajat. Bahkan Cakra menyarankan hal yang sangat di luar dugaan.
“Sekarang, elo cari perempuan yang kaya raya, janda juga tidak masalah. Terus kamu nikahi. Yang penting elo bisa numpang hidup sama dia. Tidak susah-susah harus kerja segala. Seperti gue sekarang. Cuma ongkang-ongkang kaki di rumah.”
“Tapi gue nggak ada niat untuk nikah lagi, takut seperti dulu. Dapat istri penyakitan.”
“Nggak masalah, yang penting kan hartanya jatuh ke tangan elo. Jadi jangan khawatir hidup miskin. Dengan catatan, elo harus main cantik. Gimana? Oke kan ide gue?”
“Boleh juga. Ngga ada salahnya gue coba. Thanks bro.” | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 4
- Bersambung -