Semenjak perusahaannya bangkrut, Karan tidak punya pekerjaan tetap. Luntang-lantung tidak jelas. Uang tabungan yang dimilikipun habis untuk biaya pengobatan Vaela saat itu. Nyaris tidak ada yang tersisa. Karena saat itu cukup menguras kantong. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 3
Hingga akhirnya dia tidak bisa menggaji para karyawannya di kantor. Terlebih setelah Pak Ilham sang ayah meninggal, semua jadi kacau.
Satu persatu para karyawan mengundurkan diri karena keadaan ekonomi perusahaan semakin menurun. Karan yang saat itu sedang berduka, tidak bisa fokus mengurus perusahaan sendiran. Terlalu berat setelah ditinggalkan sang ayah. Pada awalnya dia ikhlas menerima. Namun setelah dipikir, semua itu ada sebabnya. Vaela.
Ya, apa lagi kalau bukan karena hal itu. Kebangkrutan yang dia alami berawal dari itu. Penyakit yang diderita istirnya mengharuskan banyak biaya yang keluar tidak sedikit. Mungkin karena saat itu hatinya sedang rapuh dan sedih, membuat pola pikirnya jadi berubah. Bahwa semua yang terjadi karena almarhumah istrinya. Selalu yang dia sangkakan, Vaela membawa kesialan.
Sempat ada pemberontakan, tidak seharusnya dia menyalahkan penyakit Vaela. Bila sisi baiknya berpikir kalau semua itu sudah kehendak Allah, mungkin dia tidak akan pernah berpikir kalau semua ini adalah kesialan, tapi takdir. Namun karena sisi jahatnya lebih mendominasi pikirannya, diapun beranggapan kalau semua ini karena kesalahan Vaela. Bukan karena takdir. Maka dari itu, pola pikirnya jadi kacau. Setan lebih menguasai hati dan pikirannya. Mempengaruhi sedemikan rupa. Sampai akhirnya sekarang, dia berubah menjadi jahat. Bahkan sangat jahat. Terutama kepada Pak Rasyid, Ibu Hanny dan juga Ditya.
Setiap mengingat atau melihat mereka, Karan menganggapnya awal dari malapetaka. Kesialan yang tiada berakhir. Maka dari itu pikiran jahat dan piciknya mulai merasuk ke dalam jiwanya. Jumlah uang yang dulu dia keluarkan untuk biaya pengobatan Vaela, dia anggap sebagai hutang dan harus dibayar. Dan yang harus melunasi semua itu tentunya Pak Rasyid dan keluarganya. Dia tidak peduli mereka punya uang atau tidak. Yang jelas, karena Vaela hidunya menjadi miskin. Tidak makmur dan kaya raya seperti dulu.
“Kamu pulang jam berapa semalam, Nak?” Ibu Garneta muncul dari arah kamar, menyapa Karan yang sedang menikmati sarapan pagi.
“Kenapa harus tanya begitu sih Bu? Aku bukan anak kecil lagi. Nggak perlu soq-soq memantau gitu deh, aku nggak suka.” Timpal Karan tanpa menoleh ke wajah ibunya.
“Ke rumah Pak Rasyid lagi ya.”
“Ya iyalah, hutang dia masih banyak sama aku. Kalau belum lunas, aku tidak akan berhenti untuk menagih.”
“Karan…”
“Fatir Bu, bukan Karan. Sudah berulangkali dikasih tahu juga. Semenjak aku bangkrut, namaku bukan Karan lagi. Tapi Fatir. Ingat itu.” Karan mulai bernada tinggi berbica kepada Ibu Garneta.
“Iya maaf, ibu lupa. Sebaiknya hentikan perbuatan kamu, Nak. Itu sama saja, kamu tidak ikhlas mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan Vaela dulu. Lagipula dia itu istri kamu, sudah kewajiban kamu sebagai suami memberi nafkah sama dia. Termasuk sedang sakit.”
“Nggak bisa begitu dong, Bu. Aku bisa bangkrut seperti sekarang, itu karena siapa? Ya karena anaknya Pak Rasyid yang penyakitan itu. Kalau saja si Vaela itu nggak kena lupus sama tumor, aku tidak mungkin miskin seperti sekarang. Dulu aku kaya, punya segalanya. Rumah mewah, mobil mahal dan tabungan yang banyak. Tapi, semenjak perempuan itu penyakitan dan tidak ada gunanya, uangku habis untuk pengobatan dia dan mencukupi keluarga dia. Kalau dihitung-hitung lebih dari satu miliar Bu. Itu uangku, hasil kerja keras aku. Tapi sekarang… Ibu lihat sendiri kan? Aku tidak punya apa-apa.”
“Kenapa kamu tiba-tiba seperti ini Nak, jadi perhitungan dengan uang yang sudah kamu keluarkan. Padahal Vaela itu istri kamu dan orangtuanya adalah mertua kamu. Cerita Pak Rasyid dan Ibu Hanny yang mengatakan kamu itu sangat baik, mulia, ramah, santun... Ibu bangga dan kagum. Tapi lihat sekarang… kamu berubah 180 derajat.”
“Sudahlah Bu. Jangan bicara masa lalu. Dulu orang itu yang bernama Karan, dia memang baik. Sangat baik. Aku juga iri, mengapa dia bisa sebaik itu. Tapi sekarang aku bukan dia. Aku Fatir. Jangan samakan aku dengan yang dulu. Dan Ibu jangan pernah minta agar aku kembali ke masa lalu. Semua sudah mati. Mati!” Nada bicara Karan mulai meninggi, aktivitas sarapan pagi seketika dihentikan. Ibu Garneta terperanjat. Putranya demikian marah. Namun beliau harus sabar. Mungkin ini adalah ujian untuknya.
“Astaghfirllahaladzim Fatir, ini Ibu Nak. Tidak usah keras-keras seperti itu bicaranya.”
Merasa sudah berkata-kata agak kasar, Karan menghela nafas panjang. Dia menenangkan dirinya sendiri. Ada selinap sesal melintas di hatinya karena telah menyakiti Ibunya dengan nada bicara seperti itu.
“Ayahmu kan sudah bilang, kamu bisa kerja di kantor sebagai apa saja. Semenjak kamu diangkat menjadi anak kami, Perusahaan Ayahmu welcome sekali. Silakan mau menjabat sebagai posisi apa. Jadi tidak usah merasa miskin seperti ini.” Ucap Ibu Garneta kemudian.
“Aku tidak mau ketergantungan sama ayah. Lebih enak hasil kerja sendiri.”
“Ya setidaknya hentikanlah perbuatan kamu yang suka menagih hutang sama keluarganya Pak Rasyid. Mereka tidak salah apa-apa, Fatir. Vaela sakit, bukan kemuan mereka. Tapi sudah kehendak Allah, Nak.” Ibu Garneta mencoba untuk menyadarkan, apa yang sudah dilakukannya kepada keluarga Pak Rasyid adalah salah.
“Ibu tidak usah ikut campur. Ini urusanku sama keluarga Pak Rasyid.”
Mendapat ucapan seperti itu, Ibu Garneta langsung diam. Dia tidak mau berdebat dengan putranya yang semakin hari semakin keras kepala. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 3
Apalagi dia menyadari, bahwa posisinya hanya ibu angkat. Tidak berhak atau bebas untuk mengomentari bahkan ikut campur lebih jauh lagi masalah Karan.
“Terus sekarang kamu mau kemana?”
“Memang kenapa sih Bu? Aku mau kemana ke, yang penting aku tetap pulang ke rumah ini.”
“Bukannya begitu, Fatir. Ibu kepengen, kamu cepat-cepat menikah lagi. Biar ada yang urus, tidak amburadul seperti sekarang."
Mendengar kata menikah, Karan langsung terbatuk. Ibu Garneta yang menyadari itu segera mengambil segelas air putih kemudian memberikannya kepada Karan.
“Mmm… maafkan Ibu, Nak. Ucpan Ibu salah ya.”
“Udah deh Bu. Nggak usah bahas-bahas soal nikah. Jangan usik terus kehidupan pribadi aku. Mau nikah kapan pun atau tidak nikah lagi sekalipun, itu urusan aku.” Nada bicara Karan mulai meninggi lagi. Keberadaan Ibu Garneta seperti tidak ada harganya.
Mendengar anaknya bicara seperti itu, Ibu Garneta kembali diam. Dia sedih, juga kasihan. Semenjak Vaela dan keluarganya meninggal, hidupnya putrnya jadi kacau.
Berbeda dengan cerita yang sering dia dengar dari Pak Rasyid dan Ibu Hanny, bahwa Karan adalah sosok lelaki yang hampir sempurna. Seolah tidak ada cela. Figur seorang suami sangat dicari oleh setiap wanita. Wajahnya ganteng ala-ala Timur Tengah, religius, berhati mulia, ramah dan sifat soisalnya yang tinggi. Tapi tidak dengan sekarang.
Ibu Garneta melihat, Karan yang dihadapinya saat ini adalah sosok yang menyebalkan, suka marah-marah, jahat dan kejam terhadap siapapun yang merugikan dirinya sendiri. Murah senyum yang dulu dimilikinya, kini entah kemana. Beliau menikmati sifat Karan seperti itu hanya sesaat saja. Bingung, apa yang menjadikan putranya berubah sedratstis itu. Adakah sesesorang yang sudah mempengaruhinya. Itu yang menjadi pertanyaan Ibu Garneta dan juga Pak Graha suaminya selama ini.
Tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Dan sepertinya beliau harus menyelidiki itu. Karena perubahan putranya amat sangat drastis. Dari baik menjadi jahat. Penampilannya saja sekarang tidak serapi dulu. Rambut sengaja dibikin gondrong, memakai celana levis yang sobek-sobek, rawis-rawis. Bahkan ganti baju bisa sampai seminggu sekali. Terbayang betapa jorok dan tidak teraturnya hidup Karan sekarang.
“Tadinya kalau memang kamu mau niat nikah lagi, Ibu punya kenalan…”
“Stop. Aku paling tidak suka yang namanya perjodohan. Lagipula, aku belum ada niat untuk nikah lagi saat ini, Bu. Bukannya apa-apa. Aku takut istri yang akan aku nikahi nanti penyakitan lagi seperti si Vaela itu. Aku tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Ibu mau ya kalau anaknya menderita dan bangkrut lagi?”
“Fatir… bilang sama Ibu? Kenapa sih kamu jadi berubah seperti ini? Dulu ketika ibu sama bapak ngangkat kamu menjadi anak... kamu baik, sopan, tidak pernah marah-marah seperti ini. Tapi sekarang…”
“Oh… jadi sekarang ibu sama Ayah menyesal karena sudah ngangkat aku sebagai anak kalian? Gitu?” Karan berdiri dari tempat duduk dan menghentikan aktivitas sarapannya.
“Bukan begitu maksudnya Nak. Ibu…”
“Alaaahhh… alasan aja. Ya udah, kalau memang ibu menyesal, aku pergi saja dari rumah ini. Selesai kan?”
“Jangan, Nak. Ibu sama bapak sudah tua. Jangan tinggalkan kami. Maaf, kalau ucapan ibu ada yang menyinggung perasaan kamu.”
“Udah ah. Nafsu makanku jadi hilang gara-gara Ibu. Aku mau pergi!”
“Pulangnya jangan malam-malam, Nak.”
Karan tidak mempedulikan suara ibunya. Setelah menyambar jaket yang ada di dekatnya, dia langsung melangkah pergi. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 3
Ibu Garneta menatap dengan perasaan sedih.
“Ya Allah… lindungilah anakku. Berikan dia hidayahmu. Aamiin.”
- Bersambung -