Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 5

Semenjak Cakra menyarankan seperti itu, Karan mulai mempertimbangkannya. Ya, menikah lagi. Hal yang tak pernah terpikirkan setelah kematian istrinya. Dia tidak ingin mengalami hal yang sama. Rasa trauma begitu melekat. Seakan, semua itu sia-sia. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 5

Karan masih takut akan hal itu. Tak bisa terbayangkan bila terjadi untuk yang kedua kalinya dengan cerita serupa. Ahhh… tidak. Rasanya masih menyakitkan. Setelah semuanya dikorbankan, berakhir dengan kematian. Kalau ada anak, setidaknya tidak terlalu merasa sakit hati atau kesepian.

Namun saran itu sepertinya mulai dipikirkan. Dia harus mencari calon istri lagi. Bagaimanapun juga dia membutuhkan sosok perempuan sebagai pendamping hidup. Ada yang mengurus, juga mencintainya. Tapi siapa dan bagaimana caranya? Sampai saat ini, dia belum punya calon sama sekali. Terpikirkan saja tidak. Seorang pengangguran seperti dia, sulit sekali akan ada perempuan yang mau dijadikan istri.

“Elo memang nganggur, Fatir. Tapi wajah lo ganteng bro, khas Timur Tengah. Hidung mancung, badan atletis. Bercambang dan berkumis tipis. Perempuan pasti banyak yang mau. Ditambah lagi dengan rayuan gombal. Klepek-kelepek deh.”

“Gue nggak yakin Cakra. Gue sekarang, beda dengan yang dulu. Ganteng saja nggak cukup. Perempuan juga butuh materi.”

“Bukannya bokap lo nawarin kerja di kantornya. Kenapa nggak elo terima aja?”

“Gue gengsi.”

“Alllaaahhh pake gengsi segala. Hari gini masih mikirin gengsi, nggak maju lo bro.”

“Jadi… gue harus kerja di kantor bokap gue gitu?”

“Ya… untuk sementara saja. Setelah itu kita atur siasat baru. Ok?”

●●●

Obrolannya dengan Cakra tempo hari semakin melecut hatinya untuk memikirkan pernikahan lagi. Rasa trauma untuk sementara waktu disekampingkan terlebih dahulu. Tidak ada salahnya. Namun masalahnya saat ini, dia tidak punya calon sama sekali. Harus mencari kemana pun, dia belum punya bayangan. Di dalam kamarnya, Karan berkutat memikirkan hal itu. Pandangannya menerawang ke langit-langit. Dia memang tidak boleh hidup seperti ini terus, harus berubah. Dan untuk melakukan perubahan itu, harus memulai dari awal. Dengan syarat, dia harus memilih perempuan kaya. Atau setidaknya berasal dari keluarga yang berada.

Karena dengan begitu, dia akan hidup bahagia. Toh walaupun mandul dan penyakitan lagi, setidaknya dia akan mendapatkan harta warisan dari istrinya kelak. Seperti yang dikatakan Cakra, janda ataupun usianya lebih tua tidak mengapa. Yang penting kaya dan bisa memiliki hartanya secara perlahan-lahan. Jangan sampai kisah pernikahannya dengan Vaela, terulang kembali. Toh pada saat menjalani nanti, bukan berdasarkan atas rasa cinta. Tapi karena numpang kaya saja. Tidak lebih. Karena rasa cintanya sudah terkubur lama untuk Vaela yang sudah pergi meninggalkannya.

Setidaknya dia masih trauma, tidak semua perempuan memilih laki-laki berwajah ganteng untuk dijadikan pasangan. Materi juga perlu. Lagipula, dia bukan tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta. Bukan termasuk laki-laki yang mudah gonta-ganti pasangan. Kalau sudah satu, ya satu. Tidak mau mendua atau berkhianat. Karena rasanya sangat menyakitkan. Maka dari itu dulu ketika dia suka dengan Vaela, dia terus berusaha dan memperjuangkannya sampai ending yang diharapkan.

Beberapa kali mengalami penolakan dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Vaela, namun dia tidak menyerah. Berbagai cara dia lakukan untuk mendapatkan hati Vaela. Merubah dari status sahabat ke pacar itu, jalannya begitu berat. Tidak mudah. Berkaca dari pengalaman itu, dia tak mau mengalami hal serupa. Karena laki-laki ganteng dan kaya raya di luar sana begitu banyak. Sedangkan dengan dia, cuma modal tampang mirip Humood Alkhudher doang. Tentu saja tidak akan cukup.

Apalagi dia seorang duda, belum tentu semua perempuan mau menerimanya. Tentunya ingin sekali menikah dan mendapatkan laki-laki bujangan juga. Yang janda saja banyak yang ingin menikah dengan bujangan, apalagi yang masih gadis. Ditambah lagi, dia belum punya pekerjaan tetap. Sepertinya, kekurangan begitu banyak ada padanya. Masih berharap perempuan yang cantik dan kaya raya. Mimpi.

Memikirkan seorang perempuan, sejenak pikiran Karan menerawang ke masa lalu, bersama Vaela tentunya. Dia masih ingat bagaimana pertama kali bertemu dengan perempuan berkulit eksotik itu. Dari tatapan pertama ada denyar-denyar aneh berkeliaran dalam dadanya.

"Hai... karyawan baru ya."

"Iya Mas, saya pindahan dari kantor cabang."

"Semoga betah ya."

"Terima kasih. Oh iya, Masnya aku pikir Humood Alkudher artis penyanyi dari Kuwait itu. Abis mirip banget."

"Mbak adalah orang yang kesekian kali mengatakan itu. Memang mirip banget ya. Perasaan gantengan saya ke mana-mana deh. Uhuyyyy."

"Aduh, Masnya bisa aja."

"Kenalin, saya Karan Syah Alfatiry."

Saat itu tanpa ragu Karan mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan diri. Entahlah, begitu berani. Seperti tidak ada kesan malu. Vaela hanya tersipu sambil membalas uluran tangan Karan.

"Vaela Vaniasari."

Semenjak pertemuan di pantry kantor saat makan siang, Karan rajin datang ke kubikalnya Vaela. Tidak selalu soal pekerjaan. Tapi mengobrol lebih jauh lagi. Terlebih jarak tempat kubikalnya bekerja tidak terlalu jauh dengan tempat Vaela. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 5

"Masnya sering banget deh ngomong uhuy. Kenapa sih?"

"Jangan panggil Mas dong. Emang udah seperti Mas-Mas ya. Panggil saja Karan. Biar lebih akrab."

"Oh gitu ya. Baiklah... Karan."

"Uhuyyy. Terima kasih Vaela."

Tanpa sadar, kedua mata Karan sudah berkaca-kaca. Rasanya kejadian itu baru seminggu yang lalu. Begitu berkesan dan indah. Bagaimanapun dia tidak mungkin semudah itu akan lupa. Karena seperti pepatah mengatakan, kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya...

●●●

“Fatir, Ibu boleh masuk?” Ketika sedang asyik merenung, Karan dikejutkan oleh suara Ibunya dari luar.

“Masuk saja, nggak dikunci.”

Tak lama dari itu, muncul Ibu Garneta dan suaminya Pak Graha. Kemudian duduk di tepi tempat tidur.

“Karan… Mmm… maksud Ayah, Fatir. Ada yang ingin Ayah bicarakan sama kamu.” Pak Graha yang memulai pembicaraan.

“Ngomong aja, mumpung aku belum ngantuk.”

“Ayah mohon sama kamu Nak. Bantulah Ayah di kantor. Banyak posisi yang bisa kamu tempati. Daripada kamu nggak jelas seperti ini. Luntang-lantung, alangkah lebih baiknya terima tawaran Ayah. Biar kamu tidak merasa miskin. Bisa punya penghasilan sendiri."

"Sebenarnya aku malas kerja kantoran lagi. Aku maunya hidup enak. Tinggal ongkang-ongkang kaki di rumah. Makan tidur, makan tidur. Enak kan? Nggak mau seperti dulu. Pontang-panting kerja setiap hari mati-matian sampai malam ngumpulin duit, tapi akhirnya uangku habis semua hanya untuk mengobati penyakit yang menyebalkan itu. Mati."

"Ya kamu harus sabar, Nak. Namanya juga hidup, penuh dengan ujian."

"Ayah nggak usah soq ceramahin aku. Aku lebih tahu dari Ayah." Timpal Karan dengan nada sombong.

"Iya, iya. Maaf. Jadi tawaran Ayah diterima nggak?"

"Tapi dengan satu syarat ya, Yah."

"Syarat apa?"

"Aku terima tawaran Ayah, tapi nggak mau pulang malam seperti di kantorku dulu. Apalagi lembur. Aku maunya nyantai. Masuk jam sembilan atau sepuluh. Pulang jam empat atau lima sore. Bagaimana, Ayah setuju? Kalau tidak setuju, aku lebih baik di rumah saja seperti biasa."

"Oke, oke. Ayah setuju. Yang penting kamu bantu Ayah di kantor."

"Jadi mulai kapan aku mulai bisa kerja?"

"Besok juga udah mulai bisa."

"Oke. Besok aku datang."

●●●

Pak Graha dan ibu Garneta masih berbincang-bincang di kamar. Membicarakan anak angkat mereka yang semakin hari menguji keimanan dan kesabaran. Sikap dan bicaranya, cenderung kasar bahkan sering marah-marah. Padahal dulu awal-awal tinggal bersama mereka, sikapnya sangat baik. Seperti yang mereka kenal pertama kali.

"Ayah yakin mau mempekerjakan Karan di kantor dengan syarat-syarat itu?"

"Mau bagaimana lagi Bu, tidak ada pilihan lain."

"Ibu sayang sama Karan, makanya kita mengangkatnya sebagai anak. Karena dia baik dan mulia hatinya. Terlebih, Ibu Hanny dan Pak Rasyid sudah banyak bercerita, kalau Karan itu nyaris tanpa cacat. Tapi sekarang... Ayah lihat sendiri kan? Anak itu berubah drastis. Dan ibu merasa, seperti ada yang merubahnya."

"Ayah juga merasakan hal yang sama Bu. Karan itu dulu baik. Sholat dan ibadahnya saja rajin sekali. Tapi sekarang, disuruh bangun saja, malah kita yang disemprot. Sholat jumat ditinggalkan terus. Mengaji, sudah tidak pernah. Ayah sedih, Bu."

"Nanti ibu selidiki deh Yah. Biasanya insting ibu jarang meleset."

"Tapi hati-hati ya Bu. Jangan sampai ketahuan sama Karan. Bisa marah besar dia."

"Ayah tenang saja, ibu tahu caranya."

"Baguslah kalau begitu."

Setelah selesai berbicara, Pak Graha dan ibu Garneta pun segera tidur. Meninggalkan malam di luar sana yang semakin pekat. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 5

- Bersambung -