Di teras depan, Ditya duduk menyendiri sambil menatap gemintang di langit sana. Laptop yang ada di sampingnya tak dilihat lagi. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 9
Padahal ada tugas kuliah yang harus diselesaikan. Segelas teh yang dari hangat, sampai dingin kembali. Berpangku tangan sambil menyandarkan punggung ke kursi.
Beberapa saat kemudian, spoi angin malam datang menghampiri. Menyapa wajahnya yang sedang kurang bersahabat. Ada sesuatu yang dipikirkan. Masalah berat.
Setelah mengantarkan Shahira pulang ke rumahnya tadi, dia nampak lesu. Tidak bersemangat. Padahal ketika mengajak jalan kekasihnya tadi, nampak bahagia. Namun kini, semua lenyap. Seiring dengan masalah baru yang sedang dialaminya.
“Lunasi semua hutang-hutang keluarga kamu, baru bisa menikah dengan Shahira. Kalau kamu tidak bisa melunasinya, aku yang akan menikahi dia. Hahaha…”
“Ya terserah kalian sih. Aku hanya mengingatkan saja. Apalagi dulu Vaela pernah menjodohkan aku dengan Shahira. Wajar kan kalau sekarang aku tagih?”
“Aku tahu apa yang ada dalam otak kamu Ditya. Shahira itu berasal dari keluarga kaya raya. Papinya seorang pengusaha, Maminya direktur perusahaan salah satu produk kecantikan. Dan dia sendiri dokter umum di rumah sakit. Usianya lebih tua lima tahun dari kamu. Janda pula. Apa yakin masih mau menerima dia apa adanya? Nonsense. Itu dusta. Pasti kamu Cuma mau numpang hidup sama dia? Numpang kaya. Sudah kebaca!”
Ya. Ditya masih teringat ucapan Karan tadi siang. Rupanya hal itu yang membuatnya murung, sedih dan juga tertekan. Tega sekali mantan suami kakaknya itu. Tidak mengerti perasaannya, padahal dia juga laki-laki.
Hutang yang masih banyak, belum tentu bisa dilunasi dalam waktu dekat. Tapi Ditya harus mencari cara. Tapi apa? Hingga saat ini dia belum bisa menemukan jalan keluar. Padahal hubungannya dengan Shahira tinggal selangkah lagi. Sampai sejauh ini semua berjalan baik-baik saja.
Namun ternyata, masalah datang tidak diduga. Uang Sembilan ratus juta, darimana bisa didapat dalam waktu singkat. Itu terlalu besar.
Namun ternyata, masalah datang tidak diduga. Uang Sembilan ratus juta, darimana bisa didapat dalam waktu singkat. Itu terlalu besar.
“Ditya…” Sedang asyik berpikir dan merenung, suara Ibu Hanny terdengar dari arah belakang. Kemudian duduk di samping putranya. Yang dipanggil, hanya menoleh sesaat. Setelah itu menatap hampa ke depan.
“Setelah pulang mengantarkan Shahira, kamu terlihat murung Nak. Ada apa, cerita sama Mama.”
“Sepertinya Ditya belum bisa menikah dengan Shahira Ma.” Seloroh Ditya datar.
“Lho kenapa? Buhkannya kalian sudah mantap ingin segera ke pelaminan setelah kamu lulus kuliah nanti. Kami sebagai orangtua sudah sama-sama merestui. Apa lagi?”
“Anu Ma…”
“Karena Shahira itu janda dan lebih tua dari kamu?”
“Bukan itu Ma.”
“Lalu apa?”
“Tadi siang ketika Ditya makan bersama Shahira di restoran, kami bertemu dengan Kang Karan tanpa sengaja.”
“Karan? Koq bisa?”
“Dia datang membawa masalah baru Ma. Dia bilang, Ditya boleh nikah sama Shahira, asalkan hutang-hutang kita dilunasi terlebih dahulu. Kalau tidak, dia yang akan menikahi Shahira.”
“Ya Allah… astagfirullahaladzim. Yang benar kamu, Nak?”
“Ditya bingung harus ngapain Ma. Hutang kita ke Kang Karan masih banyak.”
“Dia itu memang keterlaluan. Sengaja ingin membuat keluarga kita tersiksa dan menderita.”
“Ditya berhenti kuliah aja ya Ma. Daripada…”
“Jangan, kamu tidak boleh menyerah. Mama sama Papa akan terus berusaha untuk kamu. Soal hutang-hutang, biar kami yang cari. Kamu serius kuliah saja. Satu semester lagi. Kalau sampai berhenti, sayang sekali.”
“Kalau Mama sama Papa setuju, Ditya mau cari tambahan untuk uang kuliah. Boleh kan Ma?”
“Kerja apa?”
“Ditya punya kenalan, namanya Ratno. Dia itu suka ikut bapaknya jualan kue shubuh di daearah Blok M. kalau Ditya beli kuenya, yang ngantri banyak banget. Bahkan kadang-kadang sampai tidak terlayani. Kerepotan. Nah tadi sore Ditya whatsApp dia menawarkan diri, boleh nggak kalau bantuin bapaknya jualan kue. Eh… ternyata dia memang sedang butuh orang. Kebetulan banget Ma.”
“Bagi waktunya kamu bisa nggak? Bukannya jualan kue shubuh itu harus bangun jam empat pagi?”
“Ya nggak apa-apa Ma. Harus berkorban dong. Demi melunasi hutang-hutang kita. Biar Ditya cepat nikah juga sama Shahira.”
“Kalau memang kamu sanggup, ya silakan. Yang penting jangan sampai mengganggu jam kuliah kamu. Mama nggak mau itu.”
“Beres Ma, jangan khawatir.”
Pembicaraan Ditya dan Ibu Hanny didengar oleh Pak Rasyid dari depan pintu. Beliau hanya bisa menarik nafas panjang. Mengurut dada. Masalah baru muncul. Putranya itu terancam tidak bisa menikah bila hutang-hutang belum terluansi. Karan memang sampai hati. Sengaja ingin membuat keluarganya berantakan. Beliau tidak boleh tinggal diam. Harus mencari tahu, kenapa mantan menantunya itu bisa berubah jadi jahat. Harus mulai beraksi.
Soal warung makan, beliau bisa menyerahkan kepada asistennya untuk mengurus. Insya allah bisa. Karena dia penasaran, hal apa yang membuat karan berubah. Sangat yakin, pasti ada seseorang ada di balik semua ini. Tidak boleh tinggal diam terlalu lama. Agar semua ini bisa terpecahkan. Andaipun ada orang yang telah mempengaruhi pikirannya, tentu saja Pak Rasyid tidak akan tinggal diam. Dia harus melawan dan menghentikannya.
Beliau ingin mengembalikan Karan seperti dulu. Yang baik, punya hati mulia, sopan, ramah, murah senyum dan tidak pernah marah-marah seperti sekarang.
Beliau ingin mengembalikan Karan seperti dulu. Yang baik, punya hati mulia, sopan, ramah, murah senyum dan tidak pernah marah-marah seperti sekarang.
“Aku harus segera menyelidikinya. Tidak boleh berdiam diri terlalu lama. Ingin Karan yang dulu, rindu sekali.” Batin Pak Rasyid bergumam. Setelah itu dia kemabali masuk ke dalam rumah.
●●●
Pengunjung yang sedang makan di warung makannya Pak Rasyid hari ini cukup ramai. Datang dan pergi silih berganti. Ada yang sendirian, bersama keluarga. Yang membawa pasangannya pun juga ada. Usaha warung makan yang dirintisnya dari dulu, alhamdulillah hingga detik ini masih berjalan. Walaupun dulu sempat terputus karena peristiwa kebakaran yang menimpa rumahnya. Rumah makan yang menyatu dengan rumahnya, habis terbakar. Para pelayannya pun terpaksa diberhentikan dengan sendirinya.
Namun syukurlah saat itu ada Karan yang berbaik hati mau memberikannya modal. Membangun usaha warung makannya dari awal lagi. Ya. Dulu Karan memang sangat baik. Dengan mudahnya mau mengeluarkan sejumlah uang untuk usaha warung makannya. Tentu saja Pak Rasyid sangat berterima kasih. Tidak hanya baik, Karan juga tidak menganggap kalau semua itu sebuah pinjaman.
Padahal waktu itu beliau tidak pernah meminta, bahkan sempat tidak mau menerima bantuan tersebut karena merasa malu dan tidak enak. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 9
Modal yang tidak sedikit, bantuan yang tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Sampai-sampai bingung harus mengatakan apa dan bagaimana cara mengembalikannya. Tulus, tanpa pamrih dan ikhlas. Betapa beruntungnya beliau punya menantu seperti Karan, yang belum tentu dimiliki para mertua lainnya.
Tapi itu dulu, ketika Karan masih menikah dengan Vaela. Kalau sekarang justru sebaliknya, bahkan sangat parah. Seratus delapan puluh derajat berubah drastis. Apa yang dulu pernah diberikan dan dikorbankan, justru saat ini dianggap hutang dan harus dibayar sampai lunas. Dan untuk itu, Pak Rasyid harus rajin mengumpulkan uang untuk membayar semua hutang-hutangnya. Dan memang seharusnya dari dulu dia mengembalikan semua urang Karan yang pernah diberikan.
Walaupun sebenarnya, Pak Rasyid masih punya cara lain untuk membayar hutang-hutangnya. Yaitu meminta bantuan kepada Shafeea putrinya, kembarannya Vaela yang saat ini sudah hidup bahagia bersama ustadz Rohamat di Bogor. Ustadz Rohmat sang menantu adalah pemilik salah satu pondok pesantren yang ada di sana. Sedangkan Shafeea membuka usaha kue-kue di rumahnya karena putrinya itu ternya pandai memnbuat kue. Dan menurut informasi yang sering diterima, usaha kuenya itu lancar dan alhamdulillah selalu laku.
Terbersit dalam pikiran beliau untuk meminta bantuan kepada Shafeea. Namun tidak pernah punya keberanian. Pak Rasyid tidak mau merepotkan atau menambah beban pikiran putrinya. Apalagi hutang yang dia miliki terbilang besar. Belum tentu Shafeea dan ustadz Rohmat mau membantunya. Maka dari itu, beliau berusaha untuk mengatasinya sendiri.
Dan tentang perubahan sifat Karan, Shafeea dan ustadz Rohmat belum tahu sama sekali. Pak Rasyid tidak mau menceritakannya. Kalau sampai tahu, pasti mereka ikut memikirkan. Tidak mau hal itu terjadi. Biarlah putrinya itu berbahagia dengan suaminya, dengan kehidupannya yang baru.
Ketika sedang berpikir dan melamun seperti itu, tanpa sengaja Pak Rasyid mendengarkan pembicaraan pengunjung yang sedang makan. Dua orang laki-laki. Sepertiya mereka teman. Kebetulan posisi Pak Rasyid dengan mererka berdekatan jaraknya.
Ketika sedang berpikir dan melamun seperti itu, tanpa sengaja Pak Rasyid mendengarkan pembicaraan pengunjung yang sedang makan. Dua orang laki-laki. Sepertiya mereka teman. Kebetulan posisi Pak Rasyid dengan mererka berdekatan jaraknya.
“Jadi mangsa berikutnya laki-laki itu bro? nggak kapok ketahuan lagi.”
“Ya nggak boleh nyerah lah, namanya juga usaha. Yang penting gue bisa hidup enak. Kalau ngandelin dari bini gue terus, takutnya dia curiga. Salah-salah, gue emang dikira cuma numpang hidup doang.”
“Siapa nama mangsa elo yang baru itu?”
“Karan Syah Alfatiry. Panggilannya Fatir.”
“Wah kacau lu bro. Jangan bawa-bawa nama gue ya.”
“Tenang aja, elo cuma jadi pendengar aja. Nggak usah jadi pelaku.”
Mendengar nama Karan dan Fatir disebut-sebut, tentu saja Pak Rasyid kaget. Apa yang terjadi. Siapa laki-laki itu dan apa hubungannya. Sepertinya ada maksud tertentu, namun tidak tahu apa. Telinga Pak Rasyid semakin diruncingkan lagi, untuk mendengarkan obrolan berikutnya.
“Merubah karakter seseorang dari baik menjadi jahat memang sudah makanan gue. Dan gue ingin, kali ini berjalan mulus. Main cantik. Jangan sampai ketahuan seperti korban-korban sebelumnya. Uangnya belum gue nikmati, eh… udah ketahuan. Malu gue.”
“Hati-hati. Kalau elo sampai dilaporin ke polisi, bisa panjang urusan. Penjara taruhannya.”
“Tenang aja bro. Bini gue kan kaya raya, kalaupun gue dipenjara, dia pasti yang bayar dendanya. Hahaha.”
Sedikit demi sedikit, Pak Rasyid mulai bisa mencerna apa yang sedang dibicarakan laki-laki itu bersama temannya. Otaknya mulai berpikir secara rasional. Dan setelah mengumpulkan pemikiran, barulah Pak Rasyid menyimpulkan, bahwa laki-laki itu tidak baik. Punya rencana jahat kepada Karan. Jelas sudah perubahan sikap mantan menantunya, ada hubungannya dengan laki-laki itu.
“Jangan-jangan Karan…” Pak Rasyid bergumam sendiri di dalam hatinya.
Orang itu tentau saja Cakra Baskara, laki-laki yang belakangan ini memang sedang dekat dengan Karan dan telah menjadi teman. Dia juga yang selama ini mempengaruhi Karan. Tidak seperti karakter aslinya. Entah apa yang sedang direncakan laki-laki itu. Yang pasti punya niat tidak baik. Sudah sampai sejauh mana peran Cakra mengubah protagonis menjadi antagonis, itu yang harus Pak Rasyid selidiki. Dari kejadian ini, beliau jadi tahu akar permasalahannya. | Cerpen Kehidupan Karan Yang Ganteng Namun Sekarang Jahat Part 9
Bahwa mantan menantunya itu berubah bukan murni dari hati, melainkan ada yang membentuk.
“Aku harus menyelamatkan Karan, harus.”